Analisis Litbang ”Kompas”: Perundungan, Tantangan bagi Pengarusutamaan Pendidikan Karakter
Kesehatan mental siswa menjadi satu hal krusial yang perlu mendapat perhatian sejak dini untuk mengantisipasi dan mencegah kasus perundungan kembali terjadi.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Pengarusutamaan pendidikan karakter sebagai prioritas dalam Merdeka Belajar menghadapi tantangan dengan masih maraknya kasus perundungan di lingkungan pendidikan. Kesehatan mental siswa menjadi satu hal krusial yang perlu mendapat perhatian sejak dini untuk mengantisipasi dan mencegah kasus perundungan kembali terjadi.
Perundungan (bullying), satu dari tiga ”dosa besar” pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi, masih marak terjadi di kalangan anak dan remaja, bahkan terjadi di lingkungan pendidikan. Tak hanya menyebabkan gangguan kesehatan mental bagi korban, perundungan juga bisa menjadi penyebab nyawa melayang.
Belum hilang dari ingatan, peristiwa perundungan medio tahun 2022 yang menyebabkan kematian seorang siswa berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat. Korban mengalami depresi setelah mengalami kekerasan fisik dan dipaksa melakukan perbuatan ”tidak manusiawi” serta diviralkan di media sosial oleh pelaku yang adalah teman-temannya.
Kasus perundungan lainnya dialami oleh siswa yang masih duduk di bangku kelas dua SD di Malang, Jawa Timur. Perundungan dengan pemukulan yang sudah terjadi sejak korban kelas satu dan dilakukan oleh enam orang kakak kelasnya itu baru terungkap November tahun lalu.
Perundungan menjadi salah satu dari tiga ’dosa besar’ pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi
Dua kisah tersebut hanya sebagian dari kasus perundungan yang terungkap, yang mungkin tampak seperti fenomena gunung es. Miris! Di lingkungan sekolah, bahkan dalam kondisi pandemi pun, kasus perundungan masih terjadi.
Konsep perundungan pertama kali diperkenalkan oleh Olweus pada tahun 1973, yang diartikan sebagai suatu bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam suatu hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan dan kekuatan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 129 anak korban perundungan di sekolah selama pandemi yang dilaporkan, 76 korban di tahun 2020 dan 53 korban tahun 2021.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2018 mendapat temuan, dua dari tiga anak perempuan atau laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan selama hidupnya.
Sementara studi PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) pada tahun 2018 juga melaporkan, sebanyak 41 persen pelajar Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kelima tertinggi dari 78 negara.
Mengejek dan mengambil serta menghancurkan barang milik teman menjadi jenis perundungan yang paling banyak dialami, baik oleh pelajar laki-laki maupun perempuan. Terbaru, hasil Asesmen Nasional 2021 melaporkan, sebanyak 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan di satuan pendidikan.
Tak dapat dimungkiri, perkembangan teknologi di satu sisi justru menjadi sarana bagi terjadinya praktik-praktik perundungan. Banyak kasus terungkap dan diketahui publik karena viral di media sosial. Mirisnya, justru pelaku dengan sengaja merekam perbuatan perundungan tersebut dan memviralkan.
Jajak pendapat U-Report terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun menemukan, sebanyak 45 persen dari mereka pernah mengalami perundungan daring.
Tingkat pelaporan dari anak laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (49 persen dibandingkan dengan 41 persen). Jenis perundungan daring yang paling banyak terjadi adalah pelecehan melalui aplikasi chatting (45 persen), penyebaran foto/video pribadi tanpa izin (41 persen), dan jenis pelecehan lain (14 persen).
Selaras, pengaduan yang dilaporkan ke KPAI terkait perundungan di dunia maya juga banyak. Bahkan, laporan tahun 2021 saat masih pandemi tercatat terbanyak, yaitu 168 laporan, jika ditambah tahun 2020 menjadi 214 laporan korban perundungan daring.
Kasus perundungan yang masih marak terjadi berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan, pelaku perundungan berkaitan dengan karakteristik ataupun sisi afek negatif dalam dirinya, di antaranya adanya kecemasan, depresi, dan cenderung memiliki kepribadian antisosial.
KPAI mencatat, tak sedikit anak yang dilaporkan sebagai pelaku perundungan di lingkungan pendidikan. Selama periode 2016-2020, tercatat 437 anak yang dilaporkan.
Sementara dari sisi korban, luka mental yang sangat mendalam bisa berpotensi memunculkan gangguan psikologis yang sifatnya traumatis. Depresi dan kecemasan yang berlebihan, menjadi rendah diri dan tidak percaya diri, bahkan rasa putus asa bisa menimbulkan keinginan untuk melukai diri sendiri atau sampai bunuh diri.
Dampak negatif perundungan bagi kesehatan mental anak dan remaja yang sedang dalam proses pembentukan kepribadian tentu akan memengaruhi tumbuh kembang, pendidikan, interaksi sosial, bahkan dalam jangka panjang bisa memengaruhi masa depannya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Warga melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/8/2021). Pemaksaan yang berujung pada diskriminasi dan perundungan harus dihentikan karena tidak menghargai hak asasi manusia.
Masalah kesehatan mental, khususnya peserta didik, tampaknya perlu mendapat perhatian lebih serius karena bisa berimbas ke masalah yang lebih kompleks.
Apalagi hasil riset Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bekerja sama dengan UNESCO, Unicef, dan Bank Dunia menemukan, mayoritas atau 89 persen negara yang di survei menyatakan dampak pandemi terhadap pendidikan global yang paling krusial adalah masalah kesehatan mental siswa.
Hal ini menjadi tantangan dan ”pekerjaan rumah” bersama di tengah pengarusutamaan pendidikan karakter yang menjadi prioritas dalam Merdeka Belajar. Maraknya kasus perundungan di sekolah menunjukkan lingkungan pendidikan dinilai belum berhasil melakukan tindak pencegahan.
Apalagi perundungan yang merupakan gejala sosial dan mental tersebut acapkali masih dianggap sebagai candaan atau gurauan. Bisa jadi pelaku tidak mengetahui jika perilaku negatif atau agresif yang dilakukan dan dianggap bahan candaan semata tersebut adalah tindakan perundungan karena perundungan tidak harus dilakukan dengan kekerasan fisik. Perundungan dalam bentuk verbal dan sosial, seperti mengejek, menggoda, menyebarkan rumor atau kebohongan justru lebih sering terjadi.
Menanamkan budaya berbudi luhur kepada sesama, mau mencintai perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, menjadi fondasi bagi pendidikan karakter yang harus ditanamkan dan diaplikasikan, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.
Tidak hanya teori, guru dan orangtua juga harus menjadi role model dalam memberikan contoh praktik-praktik baik. Dengan demikian, lingkungan belajar akan merdeka dari tiga dosa pendidikan, khususnya perundungan, sehingga pendidikan yang diselenggarakan dapat membentuk sumber daya manusia yang seutuhnya dan berkarakter. Semoga. (LITBANG KOMPAS)