Jajak pendapat Litbang ”Kompas” menunjukkan 72,6 persen responden menilai masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Namun, tantangan untuk menjaganya juga dinilai tak ringan.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap 16 November menawarkan momen refleksi bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, rasa tenggang rasa di tengah masyarakat telah terbina dengan baik. Namun, di sisi lain, trauma kontestasi politik masih menyimpan kekhawatiran di benak publik.
Potret toleransi di Indonesia terekam melalui jajak pendapat Litbang Kompas 8-10 November 2022. Hasil survei menunjukkan, tiga perempat responden menilai masyarakat Indonesia sudah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Pandangan ini semakin mengental di tingkat lebih mikro di mana mayoritas responden menyatakan selama ini ia tinggal di lingkungan yang toleran.
Tak hanya itu, nilai toleransi ini juga sudah mampu ditanamkan kepada generasi muda. Jika dibandingkan, persepsi positif atas toleransi cenderung lebih tinggi di kelompok responden berusia di bawah 40 tahun, yaitu di angka 74 persen. Angka ini lebih besar 4 persen dibanding golongan usia di atasnya. Bahkan, di kelompok usia kurang dari 24 tahun, persepsi ini lebih tinggi, yaitu di angka 78 persen.
Tingginya persepsi atas toleransi ini bisa dilihat sebagai fondasi yang kuat atas kohesi sosial bangsa. Studi Schiefer & van der Noll (2017) menunjukkan bagaimana toleransi antarkelompok sosial menjadi prasyarat yang harus terpenuhi untuk mewujudkan kerekatan masyarakat. Hal ini termasuk di antaranya soal bagaimana kelompok minoritas dan mayoritas bisa bergandengan tangan sebagai satu entitas bangsa.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya ditemui di Jalan Ciledug Raya, Petukangan, Jakarta Selatan, Jumat (3/4/2020). Mural itu menggambarkan ragam tempat beribadah umat beragama berpadu dengan tulisan tolerance.
Di tengah bangunan toleransi yang tetap kukuh ini, bukan berarti potensi ancaman penggerus kohesi kebangsaan nihil. Setidaknya jajak pendapat juga menangkap ada dua ganjalan besar dalam menjaga nilai-nilai toleransi. Persoalan pertama ialah terkait isu toleransi beragama yang dinilai perlu ditingkatkan kembali sikap tenggang rasa dan toleransinya. Hal ini disampaikan oleh 47,6 persen responden.
Tak dapat dimungkiri, beberapa insiden mencerminkan bagaimana toleransi antarumat beragama harus terus dirawat dan diperkuat. Isu ketegangan agama ini juga terekam dari data Setara Institute yang mencatat, sepanjang 2021 ada 20 kejadian penolakan pendirian rumah ibadah, 27 tindakan ujaran kebencian, 12 kasus penyerangan, hingga 10 kasus perusakan tempat ibadah.
Hal ini tentu menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Di tengah kohesi kebangsaan yang kuat yang dilandasi sikap saling tenggang rasa dan toleransi, ancaman perpecahan semestinya mudah dihindari. Apalagi sebagai negara hukum, Indonesia sudah menjamin kebebasan beragama dan beribadah seperti tercantum di Pasal 29 UUD 1945 serta Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ekspresi politik
Selain soal toleransi beragama, persoalan kedua adalah terkait kebebasan berekspresi politik yang juga menjadi pekerjaan rumah. Hasil jajak pendapat menunjukkan, hampir sepertiga bagian responden merasa toleransi antarpendukung kubu politik perlu jadi perhatian karena cenderung mengganggu ikatan kebangsaan.
Meruncingnya kontestasi pada Pemilihan Presiden 2019 turut berperan menjadi preseden buruk yang memancing persepsi intoleransi pada aspek kebebasan politik di Indonesia. Hingga saat ini, riak ketegangan antarmasyarakat masih dapat dirasakan. Sisa-sisa persaingan antarpendukung capres kemudian mengkristal dalam bentuk ujaran atau diksi ”cebong” dan ”kadrun” yang masih menggema terutama di ruang virtual.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto bergandengan tangan usai membacakan ikrar deklarasi pemilu damai di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018).
Di mata publik, ada faktor yang menyebabkan pengalaman traumatis di Pemilu 2019. Salah satunya disebutkan oleh lebih dari 37,6 persen responden yang menyatakan hal itu disebabkan oleh maraknya penyebaran hoaks di internet dan media sosial. Pendapat ini selaras dengan hasil temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menunjukkan ada ribuan konten hoaks yang tersebar di ruang digital Indonesia selama masa Pemilu 2019.
Tentu, fenomena banjir disinformasi dan kabar bohong ini tidak lepas dari ruang media sosial yang terbuka, interaktif, dan cenderung tidak terkontrol yang menjadikan kontestasi politik lebih riuh. Apalagi jika kemudian keriuhan tersebut dipicu oleh latar belakang identitas yang membuat iklim politik kian panas. Hal ini diperparah oleh kehadiran pendengung (buzzer) politik yang terus memperkeruh hubungan pendukung antarkubu.
Tidak hanya itu, sekitar seperlima dari responden juga menyadari perilaku masyarakat di akar rumput juga perlu diperbaiki. Mereka merasa intoleransi politik ini bisa terjadi salah satunya karena warga masih minim pendidikan politik. Imbasnya, perilaku warga dalam berpartisipasi di pesta demokrasi juga belum menunjukkan kedewasaan dalam berkontestasi politik.
Pemilu 2024
Tak heran, pandangan publik terhadap toleransi politik di 2024 cukup pesimistis. Hasil jajak pendapat menunjukkan, kurang lebih tiga perempat bagian responden (77,8 persen) mengaku khawatir jika sikap tenggang rasa akan memudar di pemilu nanti. Bahkan, ketika Pemilu 2024 saat ini masih berada di fase awal, sekitar seperempat bagian responden mengaku sangat khawatir.
Kecemasan ini dipicu oleh beberapa hal. Setidaknya 22 persen responden merasa intoleransi dapat dipicu oleh para politisi yang kerap berdebat dengan tidak sehat di media massa dan media digital. Kekhawatiran ini diperkuat dengan munculnya gejala yang mirip dengan Pemilu 2019, yakni maraknya penggunaan pendengung politik yang dibumbui kentalnya isu identitas yang dijadikan sebagai obyek politik.
Tingginya kekhawatiran publik ini harus dijadikan lonceng peringatan. Butuh upaya keras dan serius dari semua kalangan untuk bisa menjaga toleransi, khususnya di ajang kontestasi Pemilu 2024. Sebagai langkah mitigasi, bagian terbesar responden mengungkapkan perlunya terus mengingatkan masyarakat untuk berpolitik secara sehat.
Bagi pemerintah, sekitar sepertiga responden berharap, pihak-pihak yang memancing perselisihan dan intoleransi dapat ditindak tegas dan keras. Sementara itu, bagi para elite politik, publik menitipkan harapan agar tidak menggunakan isu politik identitas sebagai bahan kampanye politik.
Pada akhirnya menciptakan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermartabat disertai penegakan hukum yang lugas menjadi kunci menjaga daya tahan toleransi bangsa ini. Jangan sampai modal sosial ini terkoyak hanya disebabkan oleh kontestasi politik.