Ruang baca yang lebih inklusif diharapkan bisa meningkatkan minat baca orang Indonesia. Mengembangkan ruang baca yang inklusif ini membutuhkan peran banyak pihak.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang baca yang inklusif dipandang bisa menjadi upaya untuk meningkatkan literasi masyarakat. Taman baca seharusnya tidak hanya menjadi ruang kaku kumpulan buku-buku, tetapi harus didorong menjadi wadah literasi berbasis rekreasi.
Duta Baca Indonesia 2021-2025 Heri Hendryana mengungkapkan, pemerintah dan komunitas bisa saling berkolaborasi menghadirkan ruang baca yang inklusif. Pemerintah memastikan ketersediaan sarana di fasilitas publik, sedangkan komunitas bisa menjadi pengisi ruang publik tersebut.
”Selama ini, orang identik dengan perpustakan yang kaku. Penjaga perpustakaan orang dengan kacamata dan tidak boleh berkegiatan lain selain membaca. Sekarang kebiasaan itu diubah,” kata Heri saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Kehadiran ruang baca yang inklusif ini bisa dihadirkan dengan kolaborasi, seperti pemerintah dan komunitas pegiat literasi. Buku-buku dihadirkan di ruang publik yang mudah dijangkau masyarakat serta dengan daya tarik lain.
Selama ini, orang identik dengan perpustakaan yang kaku. Penjaga perpustakaan orang dengan kacamata dan tidak boleh berkegiatan lain selain membaca. Sekarang kebiasaan itu diubah.
Heri, penerima penghargaan Kick Andy Heroes 2023, mempunyai ruang baca, yakni Rumah Dunia di Serang, Banten. Di bangunan tersebut Heri tidak hanya menyediakan buku dan ruang membaca. Fasilitas lain, seperti teater terbuka, pendopo, dan gedung kesenian, juga disediakan.
”Di ruang baca publik ini, bukan cuma ada buku dan raknya, tapi kegiatan lain bisa dihadirkan seperti kesenian. Ini bisa menjadi pelecut orang untuk datang, kemudian berlanjut untuk membaca buku,” ujar Heri.
Selain Rumah Dunia dengan konsep perpaduan seninya, perpustakaan inklusif lainnya adalah Bookhive. Ruang baca yang mengusung konsep perpustakaan bersama ini didirikan oleh Farid Hamka pada April 2021. Pengunjung bisa mengambil dan meminjam buku di rak buku berbentuk trapesium tersebut. Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa meletakkan buku mereka di rak-rak buku milik Bookhive.
Bermula dari meletakkan kotak buku di depan rumahnya di Taman Situ Lembang, kini Bookhive telah menyebar di beberapa tempat di Jakarta, seperti Taman Menteng, Taman Suropati, Taman Literasi Blok M, Taman Cattleya, hingga kawasan Kota Tua.
Farid mengatakan, konsep berbagi sumber bacaan lewat perpustakaan bersama sudah banyak diterapkan di luar negeri. ”Ruang publik dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan literasi, seperti membaca buku,” ujarnya.
Keberadaan rak-rak buku Bookhive di ruang publik sekaligus menjadi wadah alternatif pengunjung. Rak buku Bookhive di Taman Menteng, misalnya, sering dimanfaatkan pengunjung taman yang didominasi remaja dan kunjungan keluarga.
Salah satu pengunjung Taman Menteng, Dody Cahyana (41), datang bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun. ”Tadi anak habis main langsung mendekat (ke rak buku Bookhive). Mungkin karena bentuk raknya unik, dia jadi tertarik ingin melihat,” kata Dody.
Sementara itu, rak buku Bookhive di Kota Tua Jakarta nyempil di antara museum-museum dan taman di kawasan Kota Tua. Di satu sisi orang-orang menikmati fasilitas hiburan dan sudut wisata di sana. Di sisi lain, sejumlah orang mencoba mengulik buku-buku di dalam rak Bookhive. ”Aktivitas selingan, nungguin yang lain lagi bermain, mumpung gratis, dinikmati bacaannya,” ucap Ratih (32), pengunjung Kota Tua Jakarta.
Kolaborasi
Perpustakaan Nasional (Perpusnas) terus meningkatkan literasi masyarakat dengan berbagai kolaborasi. Deputi Pengembangan Perpustakaan Perpusnas Adin Bondar Pasaribu mengatakan, pemerintah terus mendorong kolaborasi dengan pegiat literasi.
”Kami melihat komunitas pegiat literasi menjadi jembatan kami untuk menyentuh masyarakat yang lebih luas. Kami hadir dengan penyediaan bantuan sarana dan prasarana,” ujar Andi.
Menurut Andi, kehadiran taman-taman baca di ruang sosial bisa membantu mendekatkan budaya membaca di masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi penting di tengah stigma literasi masyarakat Indonesia yang rendah.
Merujuk riset Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2016, minat baca orang Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. UNESCO kemudian menganjurkan dalam setahun, satu orang Indonesia bisa membaca tiga buku.
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.