Perpustakaan jalanan memang tidak menjamin dapat mengatrol tingkat literasi bangsa dalam sekejap mata. Namun, gerakan ini bisa menjadi solusi mengatasi keterbatasan akses dan semakin mahalnya sumber bacaan di Tanah Air.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Menumbuhkan budaya literasi tidak cukup dengan mengunjungi gedung-gedung perpustakaan. Masyarakat harus dipermudah mengakses buku. Gerakan ”perpustakaan jalanan” dengan menyediakan berbagai sumber bacaan di ruang publik dapat memantik minat baca untuk mendongkrak literasi warga yang masih rendah.
Beragam aktivitas warga menghidupkan suasana akhir pekan di Taman Suropati, Menteng, DKI Jakarta, Minggu (17/7/2022). Rimbun pepohonan membuat udara terasa sejuk. Suasana pagi di taman seluas 1,6 hektar itu menjadi anomali kondisi Ibu Kota yang selalu sibuk dan penuh kebisingan di hari kerja.
Di bawah burung-burung merpati yang terbang lalu lalang, Irani (7) berjalan cepat menuju lemari berbentuk trapesium di tengah taman. Lemari itu menyimpan ratusan buku yang dikelola oleh Bookhive, perpustakaan bersama yang tersebar di sejumlah taman di Jakarta.
Siswa kelas II sekolah dasar tersebut mengambil buku lagu berbahasa Inggris. Saat hendak menutup lemari itu, dua adiknya, Bulan (6) dan Fahri (4), juga tertarik membaca buku. Irani pun mengambilkan dua buku cerita bergambar untuk kedua adiknya.
Mereka kemudian duduk di kursi taman sambil membaca buku masing-masing. Ayah mereka, Rahmat (49), sudah lebih dulu duduk di kursi itu. Mereka datang dari Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat.
Rahmat mengatakan, hampir setiap bulan ia mengajak ketiga buah hatinya mengunjungi Taman Suropati. ”Awalnya ke sini untuk jalan-jalan. Namun, karena ada lemari buku, anak-anak jadi betah. Kalau lagi asyik (membaca), bisa dua jam,” ujarnya.
Menurut Rahmat, kehadiran lemari buku di ruang publik akan menumbuhkan minat baca. Sebab, masyarakat tidak perlu harus pergi ke gedung perpustakaan dan toko buku untuk mengakses sumber bacaan.
Ia berharap gerakan serupa juga diterapkan di kota-kota lainnya, tidak hanya berpusat di Jakarta. Dengan begitu, tingkat literasi masyarakat akan meningkat sehingga pengetahuannya bertambah dan tidak gampang terhasut informasi bohong atau hoaks.
”Peningkatan literasi tidak akan tercapai kalau minat membaca tidak ditumbuhkan sejak dini. Keberadaan buku-buku di taman menjadi salah satu cara membentuk minat itu. Anak-anak membaca, tetapi suasananya menyenangkan,” ujarnya.
Buku-buku di lemari Bookhive tidak hanya memikat anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Salah satunya Jumadi (28), warga Lenteng Agung, Jakarta, yang mengambil novel berjudul Pendekar Pemetik Harpa.
Tujuannya datang ke taman itu untuk berolahraga lari bersama teman-temannya. Namun, ketika rekan-rekannya pulang, ia memilih bertahan karena penasaran dengan pengunjung yang antre mengambil buku di lemari Bookhive.
Pegawai bank swasta di Jakarta itu pun ikut-ikutan membaca buku. ”Ternyata baca buku setelah berolahraga itu sangat menyenangkan. Badan bugar, pikiran pun segar,” katanya.
Berbagi sumber bacaan
Jumadi menilai, Bookhive mengusung konsep perpustakaan yang tergolong baru di Indonesia. Sebab, selain bisa membaca dan membawa pulang buku, pengunjung juga dapat menitipkan bukunya di lemari tersebut agar dibaca orang lain.
”Ini konsep perpustakaan jalanan yang unik. Jadi, pengunjung bukan cuma mendapatkan manfaat, tetapi juga memberikan manfaat,” ucapnya.
Lemari buku seperti di taman itu diharapkan terus menjamur di ruang-ruang publik lain. Hal ini diyakini sebagai salah satu cara mengatasi ketertinggalan literasi karena sulitnya mengakses buku yang lebih banyak mengendap di ruang perpustakaan kantoran.
Bookhive didirikan oleh Farid Hamka (28) pada April 2021. Bermula dari meletakkan kotak buku di depan rumahnya di Taman Situ Lembang, kini Bookhive telah menyebar di beberapa tempat di Jakarta, seperti Taman Banteng, kawasan Kota Tua, Taman Jogging di Kelapa Gading, dan Taman Spathodea di Jagakarsa.
Farid mengatakan, konsep berbagi sumber bacaan lewat perpustakaan bersama sudah banyak diterapkan di luar negeri. ”Ruang publik dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan literasi, seperti membaca buku,” ujarnya.
Lulusan The London School of Economics and Political Science itu tergerak untuk menjalankan konsep serupa di Jakarta. Ia berharap gerakan itu bukan sebatas menumbuhkan minat baca, tetapi menambah daya baca masyarakat.
”Buku yang sama dibaca lima orang akan memunculkan interpretasi berbeda. Hal ini bisa melahirkan diskusi yang menarik sehingga baik untuk literasi bangsa kita,” katanya.
Tujuan meningkatkan literasi itu bukan tanpa alasan. Sebab, di tengah gempuran informasi yang semakin mudah lewat platform digital, literasi masyarakat Indonesia masih rendah.
Berdasarkan data Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2019 yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 55,85 persen siswa menunjukkan kemampuan membaca kurang, 38,01 persen kategori cukup, dan 6,14 persen baik. Di Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di urutan ke-71 dari 76 negara (Kompas, 4/8/2021).
Membaca bersama
Kebiasaan membaca di ruang publik mempertemukan Opat (34), Dita (36), dan Yayang (29). Mereka sebelumnya tidak saling kenal. Mereka datang ke Taman Suropati untuk membaca bersama yang diinisiasi oleh gerakan Baca Bareng.
Pagi itu, mereka membawa buku masing-masing. Namun, ketiganya juga pernah mengambil buku dari lemari Bookhive untuk dibaca di rumah.
”Bukunya masih di rumah karena belum selesai dibaca. Ada juga buku saya yang dititipkan di lemari itu. Intinya, saling berbagi sumber bacaan untuk sama-sama memperkaya wawasan,” ujar Yayang.
Dita berharap lemari buku seperti di taman itu terus menjamur di ruang-ruang publik lain. Hal ini diyakini sebagai salah satu cara mengatasi ketertinggalan literasi karena sulitnya mengakses buku yang lebih banyak mengendap di ruang perpustakaan kantoran.
”Perpustakaan jalanan” di akar rumput memang tidak menjamin dapat mengatrol tingkat literasi bangsa dalam sekejap mata. Namun, gerakan ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan akses dan semakin mahalnya sumber bacaan di Tanah Air.