Kebiasaan mendongeng yang pernah menjadi teman setia anak-anak sebelum tidur perlu dihidupkan lagi. Dongeng sebagai penjaga peradaban masa lalu sekaligus investasi untuk masa depan anak agar lekat dengan nilai kebaikan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Gema teknologi membuat gaung budaya mendongeng semakin samar tergerus zaman. Dongeng yang dahulu menjadi pengantar tidur anak-anak di berbagai penjuru Nusantara kini mulai terpinggirkan. Padahal, melestarikan dongeng turut merawat peradaban karena menjadi media pewaris nilai-nilai kebaikan lintas generasi.
Beralaskan matras berwarna biru, belasan anak duduk berderet di halaman Kampung Dongeng Indonesia di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (20/3/2022), yang bertepatan dengan Hari Dongeng Sedunia. Sembari menunggu pendongeng menyiapkan musik pengiring cerita, mereka bersenda gurau yang membuat riuh suasana pagi itu.
Yadi Mulyadi (33), pendongeng, melangkah ke panggung. “Pada suatu hari…,“ ujarnya memulai cerita yang membuat suasana hening seketika karena anak-anak beralih fokus mendengarkan cerita.
Yadi menceritakan kisah raja tua yang mempunyai dua cucu, Sirin dan Cakara. Keduanya sama-sama ditugaskan mengantarkan masing-masing sepuluh kambing kepada paman mereka, Adiwilaga.
Sirin dan Cakara berjalan dari jalur berbeda. Saat menyusuri hutan, mereka bertemu dengan orang bertubuh besar. Orang tersebut menawarkan Cakara untuk menukar 10 kambing yang dibawanya dengan sepeda dan mainan. Cakara pun diminta berbohong kepada pamannya kalau kambing-kambing itu telah dimangsa serigala.
“Enggak boleh,“ ujar anak-anak dengan kompak yang mulai penasaran dengan cerita itu. Beberapa anak bahkan sampai berdiri untuk menyatakan penolakan.
Yadi melanjutkan cerita. Cakara akhirnya tergiur dengan tawaran tersebut. Ia menyerahkan kambing-kambing yang dibawanya dan menerima sepeda, uang, serta sejumlah mainan sebagai gantinya.
Kebiasaan mendongeng perlu terus digaungkan untuk mempertahankan budaya bertutur. Upaya ini sekaligus merawat peradaban melalui nilai-nilai kebaikan yang diwariskan turun-temurun.
Sirin juga bertemu dengan orang bertubuh besar itu dan mendapatkan tawaran serupa. Namun, Sirin menolak karena tidak ingin berbohong. Ia berdoa agar orang tersebut pergi dan tidak mengambil kambing-kambingnya. Orang itu pun pergi dengan menunggangi kuda.
Di tepi hutan, Sirin bertemu dengan pamannya. Ia menyerahkan 10 kambing yang dititipkan kakeknya tersebut. Sementara dari kejauhan Cakara berjalan dengan wajah lesu tanpa membawa kambing.
Cakara membohongi pamannya dengan mengatakan kambing yang dibawanya telah dimakan segerombolan serigala. Adiwilaga sudah mengetahui kebohongan tersebut. Sebab, orang bertubuh besar di tengah hutan adalah orang suruhannya untuk menguji kejujuran kedua keponakannya tersebut.
Di akhir cerita, Yadi melemparkan pertanyaan kepada anak-anak yang antusias menyimak ceritanya. “Jadi, kita harus mengikuti Sirin atau Cakara,“ ujarnya.
“Sirin. Soalnya, Cakara tukang bohong,“ ujar Habibi (6), peserta yang duduk paling depan dan sangat bersemangat.
Selain didongengkan, anak-anak juga diajak bermain dan senam. Hal ini dilakukan agar mereka tidak mudah bosan dan tetap bergairah mendengarkan cerita selanjutnya.
Yadi mengatakan, kekayaan cerita Nusantara menjadi modal kuat untuk melestarikan budaya bertutur melalui dongeng. Sayangnya, budaya ini mulai luntur karena tidak dikenalkan sejak dini.
“Sekarang banyak anak dibiarkan sibuk sendiri dengan gadget, tetapi tidak diawasi. Tradisi lama yang lebih positif, seperti permainan tradisional dan mendongeng, justru ditinggalkan,“ ujarnya.
Menanamkan nilai kebaikan
Yadi menuturkan, dongeng sangat efektif sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, salah satunya kejujuran. Dengan mendongeng, seseorang bisa menjadi guru, tanpa menggurui.
Dengan bercerita, anak-anak lebih mudah menerima nasihat yang diberikan. Selain itu, mereka bisa belajar dengan interaktif karena dapat bertanya langsung dengan orang yang bercerita.
“Bibit kejujuran harus ditanamkan ke anak-anak agar kelak tidak terbiasa berbohong. Itu bisa disampaikan lewat dongeng. Dengan begitu, kita ikut mencegah generasi korup di masa depan,“ katanya.
Pendiri komunitas Kampung Dongeng Indonesia, Awam Prakoso, mengatakan, kebiasaan mendongeng perlu terus digaungkan untuk mempertahankan budaya bertutur. Upaya ini sekaligus merawat peradaban melalui nilai-nilai kebaikan yang diwariskan turun-temurun.
“Mendongeng juga membangun keakraban dan kedekatan dengan anak. Jadi, saat beranjak remaja, anak lebih terbuka untuk menceritakan apa yang dialaminya. Hal ini harus dibiasakan sejak kecil,“ ucapnya.
Tidak hanya secara luring (luar jaringan), mendongeng juga dapat dilakukan secara daring (dalam jaringan), seperti yang diterapkan komunitas Ayo Dongeng Indonesia. Komunitas ini menggelar sejumlah kegiatan daring, salah satunya “Dongeng Kejutan Hari Dongeng Sedunia“, Minggu.
Kegiatan ini menampilkan sejumlah pendongeng cilik, salah satunya Sandrica dengan cerita berjudul Kelinci Kecil dan Angsa Putih. Ceritanya mengisahkan pertemanan kelinci bernama Cici dan angsa bernama Sasha.
Cici merasa tidak bisa menari sebaik Sasha yang mempunyai bulu-bulu indah. Namun, Sasha mengingatkan sahabatnya itu tidak berkecil hati karena punya keunggulan lain sebagai kelinci yang lincah dan pelari hebat.
“Cici kehilangan mimpinya menjadi penari seperti Sasha. Tetapi, dia punya sesuatu yang lebih berharga dengan menemukan jati dirinya. Ayo temukan dan jadi versi terbaik dari diri kita,“ ujar Sandrica menutup ceritanya.
Ayo Dongeng Indonesia juga menggelar dongeng penutur bahasa-bahasa Nusantara. Salah satu tujuannya mencegah punahnya bahasa daerah karena terancam jumlah penuturnya yang terus menyusut.
Saat budaya bertutur mulai luntur, kebiasaan mendongeng yang pernah menjadi teman setia anak-anak di setiap rumah perlu dihidupkan kembali. Dongeng sebagai penjaga kisah peradaban masa lalu sekaligus investasi untuk masa depan anak agar lekat dengan nilai-nilai kebaikan.