Benang kusut krisis literasi menjadi alarm pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang akan menentukan masa depan bangsa. Beragam persoalan telah terpetakan, tetapi tak kunjung teratasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, membaca buku yang disediakan komunitas perpustakaan jalanan Komunitas One Week One Book, Minggu (20/1/2019).
Krisis literasi di Tanah Air menjadi masalah serius yang berlarut-larut. Hasil riset World’s Most Literate Nations Ranked pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Beragam persoalan, seperti minimnya sumber bacaan, kurangnya pustakawan, buruknya fasilitas perpustakaan, dan belum optimalnya budaya membaca, menjadi benang kusut yang harus segera diurai.
Sejumlah statistik menggambarkan potret buram tingkat literasi tersebut. Menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Berarti, cuma 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 juga menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 10 besar terbawah dari 77 negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).
Sementara hasil Asesmen Nasional 2021 menyebutkan satu dari dua peserta didik di Tanah Air belum mencapai standar kompetensi minimum literasi. Rendahnya tingkat literasi menjadi alarm pembangunan sumber daya manusia yang menentukan masa depan bangsa.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando (depan, kedua kiri) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Perpusnas di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Problem literasi itu menjadi salah satu pembahasan utama dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Rapat ini menyoroti sejumlah hal, di antaranya kebutuhan bahan bacaan di perpustakaan sekolah, alokasi anggaran belanja operasional sekolah untuk perpustakaan, minimnya jumlah pustakawan, dan penguatan koordinasi Perpusnas dengan sejumlah lembaga dalam mempercepat penyusunan peta jalan pembudayaan literasi nasional.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando memaparkan beragam kendala dalam meningkatkan literasi. Kendala itu meliputi berbagai sektor, mulai dari budaya membaca kurang kondusif, minimnya sumber daya manusia, hingga belum aktifnya keterlibatan orangtua untuk mendukung penguatan literasi.
”Kalau mau mengembangkan perpustakaan yang diberi tugas membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan rendahnya literasi, tidak ada cara lain kecuali kebijakan afirmasi di bidang penganggaran, penambahan perpustakaan, dan juga m”enambah kegiatan yang melibatkan semua pemangku kepentingan, ujarnya.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, bupati atau wali kota, gubernur, dan pimpinan lembaga didorong memprioritaskan pustakawan dalam perekrutan pegawai. Sebab, selama ini, kebutuhan pustakawan sering diabaikan. Bahkan, tak jarang peran mereka dialihkan kepada tenaga kependidikan lainnya.
Syarif menyebutkan, Indonesia kekurangan 439.680 pustakawan. Kekurangan itu terjadi di semua jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum dan khusus, sekolah negeri maupun swasta, serta perguruan tinggi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pustakawan melakukan penataan bahan pustaka (shelving) di Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Selatan, Gandaria, Jakarta, Rabu (27/10/2021). Perpustakaan umum di Ibu Kota mulai melayani baca di tempat sejak Senin (25/10/2021).
Kondisi perpustakaan di Indonesia juga belum memadai. Dari 164.610 perpustakaan, hanya 5,7 persen yang sudah terakreditasi A, B, dan C. Sementara 94,3 persen perpustakaan belum terakreditasi. ”Literasi masyarakat meningkat apabila perpustakaan terakreditasi A karena itu sudah sampai digitalisasi, internet serta hampir semua fasilitas memadai, daya tampung memenuhi syarat, dan lainnya,” jelasnya.
Menurut Syarif, anggaran untuk akreditasi perpustakaan sudah tersedia karena dijamin dalam 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Persoalannya, apakah kebijakan penganggaran memprioritaskan literasi atau tidak.
”Permasalahan lainnya, pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orangtua kurang menyadari betapa pentingnya mendukung peningkatan kualitas SDM melalui penguatan literasi,” katanya.
Kekurangan hampir setengah juta pustakawan menjadi sorotan sejumlah anggota Komisi X DPR dari berbagai fraksi. Mereka mendorong Perpusnas memetakan jumlah lulusan program studi ilmu perpustakaan dengan daya serap kebutuhan pustakawan.
Kondisi perpustakaan di Indonesia juga belum memadai. Dari 164.610 perpustakaan, hanya 5,7 persen yang sudah terakreditasi A, B, dan C. Sementara 94,3 persen perpustakaan belum terakreditasi.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rano Karno, mengatakan, pemerintah mesti menunjukkan keberpihakan dengan membuka formasi tenaga pustakawan dalam perekrutan pegawai. Hal ini salah satunya dapat diwujudkan lewat penerimaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. ”Jadi, bagaimana bisa meningkatkan literasi kalau perpustakaan tidak dikelola oleh pustakawan,” katanya.
Jauh dari ideal
Anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Gerindra, Nuroji, menuturkan, kemajuan teknologi menjadi tantangan berat dalam meningkatkan minat baca. Menurut dia, teknologi telah mengubah budaya membaca masyarakat menjadi kebiasaan mendengar dan menonton karena dianggap lebih efektif.
Tantangan lainnya yang tak kalah berat adalah perhatian terhadap aspek-aspek pendorong literasi tak banyak berubah. Jumlah pustakawan masih minim dan fasilitas perpustakaan banyak terbengkalai.
”Minat menjadi pustakawan juga sangat kecil. Akreditasi perpustakaan baru 5,7 persen. Kondisinya jauh sekali untuk mencapai ideal,” ujarnya.
Suasana Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Perpusnas di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Nuroji pun mempertanyakan sejauh mana harapan kebijakan afirmasi penganggaran dan pemenuhan kebutuhan pustakawan dapat dipenuhi. Tanpa perubahan paradigma dalam memandang fungsi penting perpustakaan untuk mendongkrak literasi, ia khawatir kondisi itu sulit diperjuangkan.
Ketua Umum Asosiasi Tenaga Perpustakaan Seluruh Indonesia (Atpusi) Rachmawati menuturkan, agar berfungsi maksimal mendukung pembelajaran, perpustakaan sekolah membutuhkan pustakawan berkompeten.
Dimensi kompetensi itu meliputi manajerial, pengelolaan informasi, kependidikan, kepribadian, sosial, dan pengembangan profesi. Untuk meningkatkan kompetensi itu, Atpusi menggelar pelatihan bimbingan teknis untuk pustakawan (Kompas, 28/1/2023).
Sementara kajian LabSosio Departemen Sosiologi Universitas Indonesia menemukan sejumlah persoalan kegiatan literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kajian ini diperoleh melalui diskusi fokus terarah (FGD) secara tatap muka di Sumatera Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Kajian itu menyebutkan sumber bacaan di masyarakat masih terbatas, baik dalam mengakses, membeli, maupun memperbarui buku. Selain itu, jumlah sukarelawan pegiat literasi di daerah menurun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim memberikan sambutan dalam HUT Ke-6 Kompas.id di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Minimnya buku sesuai minat siswa pernah diutarakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Untuk mengatasi hal itu, Kemendikbudristek telah mendistribusikan sekitar 15 juta eksemplar dari 716 judul buku disertai pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20.000 pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar.
Distribusi buku difokuskan pada sekolah-sekolah yang literasinya paling rendah, salah satunya di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T). ”Penyebab rendahnya kebiasaan membaca adalah masih kurang atau belum tersedianya buku bacaan yang menarik minat peserta didik,” ujarnya saat meluncurkan program Merdeka Belajar episode ke-23 bertajuk ”Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia”.
Namun, distribusi buku tersebut belum bisa menjangkau seluruh sekolah di Nusantara. Oleh sebab itu, program ini diharapkan menjadi gerakan kolaborasi sehingga perlu didukung berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, sekolah, komunitas, dan keluarga.
Segudang persoalan rendahnya tingkat literasi sudah terpetakan, tetapi tak kunjung menemukan jalan keluar. Jika terus diabaikan, krisis literasi berpeluang menjadi batu sandungan dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 yang sudah lama digaungkan.