Dongkrak Literasi Warga untuk Tingkatkan Daya Saing Bangsa
Rendahnya minat baca masyarakat menjadi potret literasi di Tanah Air yang mengkhawatirkan. Literasi mesti didongkrak untuk meningkatkan kualitas SDM di masa mendatang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya minat baca memicu rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Literasi generasi muda perlu didongkrak melalui peran keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat demi meningkatkan daya saing bangsa di masa depan.
Riset dari Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada 2016, menyebutkan, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 warga, cuma seorang yang rajin membaca.
Sementara dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 disebutkan, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di urutan ke-71 dari 76 negara. Data itu menggambarkan potret literasi di Tanah Air yang mengkhawatirkan.
Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Adin Bondar menyebutkan dua pokok masalah literasi di Indonesia. Pertama, jumlah buku yang beredar belum ideal untuk memenuhi kebutuhan informasi dan pengetahuan masyarakat.
Kedua, rendahnya inovasi mengakibatkan minimnya angka produksi. Padahal, literasi yang baik sangat diperlukan untuk melahirkan sumber daya manusia unggul.
”Budaya literasi yang kuat menjadi solusi dalam menghadapi persaingan global yang sangat kompetitif,” ujarnya dalam sambutan pada acara Sosialisasi Kegemaran Membaca: Literasi Bukan Hanya Diksi, namun Perlu Eksekusi, Selasa (6/9/2022).
Menurut Adin, peningkatan budaya literasi mencakup kegemaran membaca di masyarakat, perbukuan dan konten literasi, serta akses layanan dan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Malas membaca dan menulis dapat menjadi bom waktu yang membuat suatu negara terjebak dalam negara dunia ketiga.
”Kita perlu mencari solusi konkret, bukan hanya mengutuk keadaan,” katanya.
Oleh sebab itu, perpustakaan harus memperluas aksesnya. Salah satunya dengan memaksimalkan teknologi agar sumber bacaan bisa dijangkau lebih banyak orang.
Penguasaan literasi yang mumpuni akan membantu manusia secara personal dan komunal dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini mendukung meningkatkan kualitas SDM sehingga mendorong kreativitas dan produktivitas.
”Pendidikan formal sudah mengupayakan kegemaran membaca dengan menyediakan perpustakaan ditambah berbagai program lainnya. Hanya saja, ini belum optimal. Kita butuh pengingat diri agar budaya literasi ini berkembang dengan berbagai aktivitas nyata,” jelasnya.
Duta baca Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Ilham Bahari, mengatakan, literasi merupakan kemampuan dan keterampilan dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Literasi juga dibutuhkan untuk menghindari paparan kabar bohong atau hoaks.
”Ketika melihat berita, jangan langsung mudah percaya dan disebarkan. Pakai logika berpikir secara jernih, baru disimpulkan. Bandingkan dengan berbagai data. Mari menggunakan malu sebagai pengendali diri,” katanya.
Riset dari Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada 2016, menyebutkan minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 warga, cuma seorang yang rajin membaca
Menurut Ilham, media sosial yang kerap menjadi medium menyebarkan hoaks juga bisa dijadikan sarana literasi. Caranya dengan memproduksi konten positif untuk melawan masifnya konten negatif yang berseliweran.
Peningkatan literasi menjadi tantangan dalam menghadapi bonus demografi di Indonesia. Di satu sisi, mayoritas penduduk berusia produktif menjadi momentum untuk menjadi negara maju dengan memacu produktivitas.
”Akan tetapi, jika tidak melakukan pendekatan aplikatif untuk meningkatkan kualitas SDM, justru menjadi blunder. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga negara,” ucapnya.
Guru yang juga penulis, Akhmad Cahyo Setio, mengatakan, perkembangan pada abad ke-21 memerlukan beragam kecakapan, seperti berpikir kritis dalam merespons keadaan, berkomunikasi menyampaikan gagasan dan sanggahan, berkolaborasi dengan keterampilan, serta berkreasi untuk berpikir kreatif dan berinovasi.
”Empat kecakapan ini supaya kita tidak tergilas roda waktu. Literasi menjadi kunci mengembangkan kecakapan hidup agar siap menghadapi tantangan,” ucapnya.
Menurut Akhmad, meningkatkan literasi tidak hanya dapat digerakkan di satuan pendidikan, tetapi juga di keluarga dan masyarakat. Gerakan ini di antaranya dengan melatih kemampuan membaca, menulis, numerasi, sains, digital, dan budaya.
”Intinya, literasi harus digerakkan agar menjadi nyata. Tanpa hal itu, (peningkatan literasi) tidak akan terealisasi,” kata Akhmad.
Upaya mendongkrak literasi di tengah masyarakat sudah muncul di sejumlah daerah melalui komunitas membaca. Mereka membangun taman bacaan, pustaka bergerak, dan pojok baca untuk mendekatkan akses bacaan ke masyarakat.
Pustakawan Perpusnas, Hikmah Nurida, mengatakan, selain membaca dan menulis, literasi juga mesti mengajak orang, bergerak, dan memberdayakannya. Aksi ini dapat dimulai dari rumah yang berdampak pada anggota keluarga.
”Rumah adalah tempat paling strategis menumbuhkembangkan rasa ingin tahu dan minat baca. Bisa dimulai lewat orangtua membacakan buku untuk anak atau mendongeng sebelum tidur,” katanya.
Minat baca dipupuk dengan mengajak anak mengunjungi perpustakaan dan toko buku. Cara lainnya adalah menghadiahkan buku dan membuat pojok baca di rumah.
Sementara gerakan literasi di sekolah dibangun dengan mengaktifkan majalah dinding dan mewajibkan kunjungan ke perpustakaan. ”Sudah saatnya untuk bergerak, (melakukan) aksi, baik di keluarga, satuan pendidikan, maupun masyarakat,” ucapnya.