Perdagangan Karbon Masih Beri Celah Perusahaan Terus Melepas Emisi
Perdagangan karbon dinilai masih akan tetap memberikan kelonggaran bagi perusahaan penghasil emisi gas rumah kaca.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme perdagangan karbon saat ini dinilai masih tetap memberikan celah bagi perusahaan untuk terus memproduksi emisi. Padahal, setiap pihak, terutama perusahaan penghasil emisi gas rumah kaca, perlu berupaya bersama untuk menurunkan emisinya untuk mengerem laju perubahan iklim. Penerapan pajak karbon dinilai lebih baik untuk mencapai tujuan tersebut.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan regulasi bursa karbon pada Juni 2023. Sementara itu, perdagangan karbon akan dimulai pada September 2023 setelah penetapan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Hal ini terkait target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia yang disampaikan dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen nol emisi pada 2060. Bahkan, dalam dokumen peningkatan/enhanced NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi 31,89-43,2 persen pada 2030.
Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia menilai, perdagangan karbon hanya solusi palsu dalam membantu Indonesia untuk mencapai target nol emisi pada tahun 2060. Ia berpendapat, perdagangan karbon hanya memberikan hak berpolusi kepada perusahaan. Setelah itu, perusahaan pengemisi juga bisa membeli ”pulsa karbon” dari perusahaan yang masih memiliki cadangan karbon untuk bisa dijual.
”Perdagangan karbon tidak menyelesaikan persoalan, tetapi justru menimbulkan persoalan baru,” kata Iqbal, Kamis (11/5/2023).
Iqbal bahkan menolak model perdagangan karbon karena dianggap tetap memberikan celah bagi polluter untuk memproduksi emisi. Menurut dia, penurunan produksi atau transisi dari energi kotor menjadi energi bersih lebih diperlukan saat ini. Hal tersebut dinilai lebih baik daripada memperdagangkan karbon antar-PLTU yang justru akan memungkinkan menambah beban kepada pengguna listrik.
”Logikanya, perusahaan tersebut membeli karbon dan akan menaikkan biaya produksinya. Ketika biaya produksinya naik, maka daya beli konsumen akan naik terhadap barang tersebut. Daripada menaikkan beban itu, lebih baik bertransisi saja,” ucap Iqbal.
Seluruh calon penyelenggara idealnya memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi sehingga penyelenggara bursa efek tidak otomatis bisa menjadi penyelenggara bursa karbon.
Lebih lanjut, Iqbal mendorong penerapan pajak karbon untuk menekan emisi. Menurut dia, pemerintah dapat menekan polusi perusahaan dengan membangun batas maksimal emisinya dan menentukan pajak karbon.
Disiapkan dua opsi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini OJK sudah menyiapkan dua opsi penyelenggara bursa karbon. Pertama, melalui pasar modal PT Bursa Efek Indonesia (BEI) atau IDX yang sudah membentuk pasar baru khusus perdagangan karbon. Pajak karbon akan menjadi ranah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, ia menilai, bursa karbon seharusnya dipisahkan dari BEI.
”Regulasi bursa karbon sebaiknya memberikan ruang kompetisi yang ideal antara seluruh calon penyelenggara, tidak ada preferensi khusus ke pemain di Bursa Efek karena secara ekosistem sangat jauh berbeda dengan bursa karbon,” kata Bhima.
Bhima menyarankan penyelenggara bursa karbon seharusnya berada di luar entitas bursa efek, seperti perusahaan teknologi. Menurut dia, hal itu akan menimbulkan inovasi dan pengembangan layanan seperti yang terjadi di beberapa negara yang memperdalam bursa karbon dengan teknologi.
”Pemerintah juga bisa melakukan sosialisasi terhadap pelaku bursa karbon terkait penyelenggaraan bursa tersebut. Dengan begitu, perusahaan penghasil emisi dapat terlibat aktif dalam perdagangan karbon,” tutur Bhima.
Sementara itu, hal yang dikritik anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menjelang perdagangan bursa karbon adalah mengenai penyelenggara, regulator, hingga pengawas, diserahkan kepada BEI. Padahal, bursa efek dan bursa karbon adalah entitas yang berbeda.
Menurut dia, seluruh calon penyelenggara idealnya memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi sehingga penyelenggara bursa efek tidak otomatis bisa menjadi penyelenggara bursa karbon.
Misbakhun berharap, ada tiga hal yang dapat menjadi perhatian pemerintah dalam menjalankan regulasi bursa karbon. Pertama, regulator harus menjaga jarak dengan penyelenggara bursa karbon.
Untuk mencapai hal itu, perlunya melakukan lelang. Misalnya, hanya seseorang yang memiliki keahlian dan entitas Indonesia saja yang boleh menjadi penyelenggara. Hal tersebut dinilai penting untuk mewujudkan kepercayaan pelaku pasar karbon.
Kedua, penyelenggara bursa karbon harus independen karena dinilai akan menarik minat pelaku pasar karbon di seluruh dunia untuk turut meramaikan perdagangan karbon di Indonesia. Terakhir, penilai emisi gas rumah kaca harus kredibel dan dapat menjadi referensi harga karbon.
Anggota DPR Komisi X, Kamrussamad, mengatakan, potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan hujan tropis seluas 125,8 juta hektar yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Sementara itu, luas mangrove Indonesia mencapai 3.31 juta hektar dan mampu menyerap 33 miliar karbon atau 950 hektar ton karbon/hektar.