Masyarakat Adat Awyu Merasa Belum Dilibatkan dalam Pengelolaan Lahan
Masyarakat adat Awyu di Papua menuntut dilibatkan secara menyeluruh dalam penerbitan dokumen izin oleh pemerintah daerah di kawasan adat mereka.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sengketa hutan dan lahan milik masyarakat adat terus terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Papua. Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, misalnya, terus menuntut pemerintah daerah yang secara sepihak memberikan izin operasi kepada perusahaan di kawasan mereka. Selain itu, mereka meminta dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Sebelumnya, perwakilan masyarakat suku Awyu menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Maret 2023. Hendricus Franky Woro, perwakilan suku Awyu, menganggap pengurusan izin untuk perkebunan sawit seluas 39.190 hektar kurang melibatkan masyarakat adat.
”Sebenarnya kami tidak anti-pembangunan. Tetapi, selama ini, semua keputusan dari pemerintah dilakukan secara sepihak, tanpa pemberitahuan kepada masyarakat,” kata Hendricus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Tuntutan terus dilakukan Hendricus dan perwakilan masyarakat suku Awyu lainnya. Mereka juga mengajukan permohonan intervensi laporan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Selasa (9/5/2023). Hendricus merasa tuntutan mereka harus semakin digaungkan mengingat ketimpangan nasib antara masyarakat adat dan perusahaan. Saat masyarakat adat masih bergantung pada alam untuk kehidupan sehari-sehari, perusahaan justru mengeksplorasi hutan mereka sehingga masyarakat adat hidup sengsara.
Anggota tim advokasi Selamatkan Hutan Papua, Sekar Banjaran Aji, menyebut, penyerobotan tersebut diduga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Amdal. Selain itu, pemberian izin ini diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sekar menganggap, kebijakan pemberian izin sepihak kepada perusahaan yang tidak sesuai prosedur dikhawatirkan menjadi titik awal keserakahan lainnya. Hal tersebut juga tidak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim. Langkah ini justru berpotensi memicu deforestasi di area yang mayoritas berupa lahan hutan kering primer.
Kalau perlu, dokumen amdal diterjemahkan dalam bahasa daerah setempat sehingga semua elemen masyarakat paham dan keputusan akan diambil. Harus ada ruang-ruang diskusi, di mana musyawarah secara turun-temurun bisa dilakukan.
Sementara itu, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Franky Butar Butar, mengatakan, ada proses komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang tidak tuntas. Misalnya, penerbitan amdal yang seharusnya melibatkan partisipasi dan mempertimbangkan keputusan masyarakat setempat.
Menurut Franky, sering kali pembahasan amdal dilakukan di ruang tertutup yang hanya melibatkan perangkat desa tertentu. Seharusnya pembahasan dilakukan secara terbuka. ”Kalau perlu dokumen amdal diterjemahkan dalam bahasa daerah setempat sehingga semua elemen masyarakat paham dan keputusan akan diambil. Harus ada ruang-ruang diskusi, di mana musyawarah secara turun-temurun bisa dilakukan. Pemerintah menanyakan dan mendengarkan kemauan mereka,” ucap Franky.
Pegiat hak asasi manusia dan mantan anggota Komnas HAM, Sandra Moniaga, mengatakan, masyarakat adat seharusnya diberikan kewenangan sebesar-besarnya untuk mengelola lingkungannya. Selama ini regulasi yang ada tidak sejalan dengan keadaan di masyarakat.
Apalagi, RUU Masyarakat Adat yang sudah diajukan sejak 2012 tidak sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat. Sandra menyebut sejumlah poin belum memenuhi kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, menjamin, dan membela HAM, termasuk hak lingkungan masyarakat adat.
”RUU perlu dibuat komprehensif, yang mengakomodasi keadaan masyarakat, sehingga pihak yang punya kepentingan tidak bisa memanfaatkan aturan yang tidak jelas tadi,” ujar Sandra.