Tak Diinformasikan Perihal Izin Sawit, Masyarakat Suku Awyu Gugat Pemprov Papua
Masyarakat suku Awyu menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua ke PTUN Jayapura terkait pemberian izin untuk perkebunan sawit yang tanpa diketahui masyarakat setempat.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Perwakilan masyarakat suku Awyu asal Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Senin (13/3/2023). Gugatan ini menyangkut pemberian izin kelayakan lingkungan hidup seluas 39.190 hektar bagi perusahaan sawit, PT Indo Asiana Lestari, yang diduga tidak sesuai prosedur.
Dari pantauan Kompas, aktivis lingkungan dari suku Awyu, Franky Woro, bersama seorang warga bernama Kasimilus Awe mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada Senin siang. Mereka didukung para pemuda suku Awyu yang turut hadir di PTUN Jayapura.
Sejumlah lembaga hukum dan organisasi lingkungan turut mendampingi Franky di PTUN Jayapura. Lembaga ini antara lain Greenpeace, Walhi Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.
Franky, yang merupakan pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu, seusai mendaftarkan gugatan, mengatakan, pemberian izin bagi PT Indo Asiana Lestari (IAL) tanpa diketahui sama sekali oleh masyarakat setempat. Padahal, izin bagi PT IAL untuk perkebunan sawit seluas 39.190 hektar telah dikeluarkan sejak tahun 2017.
Franky mengungkapkan, pengurusan dokumen izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) juga tidak diketahui masyarakat Woro yang mendiami Kampung Yare, Distrik (kecamatan) Fofi, Boven Digoel. Ia berpendapat, seharusnya dilaksanakan sosialisasi kepada masyarakat dalam tahapan penyusunan dokumen amdal.
Adapun pihak perusahaan dikatakan sempat membuat dermaga dan jalur tradisional di Kampung Ampera yang termasuk wilayah konsesi perkebunan sawit. Namun, pembangunan tersebut dihentikan karena area tersebut diblokade oleh masyarakat adat dengan kayu.
”Kami mengajukan gugatan izin lingkungan ke PTUN Jayapura untuk menyelamatkan hutan yang merupakan masa depan suku Awyu. Selama ini masyarakat hanya menggantungkan hidupnya dari hasil hutan,” kata Franky.
Dia menuturkan, pihaknya telah berupaya meminta informasi terkait proses pemberian izin kepada PT IAL hingga Komisi Informasi Publik Provinsi Papua. Akan tetapi, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua sama sekali tidak memberikan informasi.
”Kami berharap majelis hakim bisa mengabulkan gugatan kami. Izin bagi perkebunan sawit bagi PT IAL harus dicabut demi keberlangsungan hidup masyarakat suku Awyu,” ujar Franky.
Tigor Hutapea, salah satu kuasa hukum masyarakat suku Awyu yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, menegaskan, penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL diduga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Amdal. Selain itu, izin ini diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi diperkirakan sebesar 23,08 juta ton CO 2.
”Pemberian izin untuk perusahaan sawit ini tak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim. Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030,” ujar Tigor.
Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat suku Awyu, menambahkan, izin lingkungan PT IAL diperkirakan memicu deforestasi di area yang mayoritas lahan hutan kering primer seluas 26.326 hektar. ”Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi diperkirakan sebesar 23,08 juta ton CO2. Ini akan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon pada 2030,” ucapnya.
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay menuturkan, pendaftaran gugatan masyarakat suku Awyu di PTUN Jayapura secara daring melalui sistem e-Court. Gugatan ini untuk menunjukkan pengakuan pemerintah akan eksistensi masyarakat adat dan hak untuk didengarkan pendapat mereka.
”Dalam penetapan surat keputusan kelayakan lingkungan (SKKL) seharusnya ada kegiatan sosialisasi yang melibatkan masyarakat. Dalam kegiatan sosialisasi ini, masyarakat bisa memberikan tanggapan setuju atau menolak,” kata Emanuel.
Wakil Ketua PTUN Jayapura Merna Cinthia mengatakan, pihaknya akan memproses gugatan masyarakat suku Awyu hingga persidangan dengan jangka waktu empat hingga lima bulan. ”Kami akan menginformasikan pihak tergugat tentang gugatan masyarakat Awyu,” ujarnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua Solaiyen Tabuni belum dapat dikonfirmasi via telepon. Kompas pun berupaya mendatangi Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua, tetapi tidak bisa menemui Solaiyen.