Kongres Masyarakat Adat di Papua Dorong Pengakuan Wilayah Adat
Berbagai perwakilan komunitas adat berkumpul di Wilayah Adat Tabi, Jayapura, Papua, untuk mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara keenam. Salah satu fokus kongres ini, yaitu mendorong adanya pengakuan wilayah adat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kongres Masyarakat Adat Nusantara akan mendorong pengakuan 20 juta hektar wilayah adat yang usulannya sudah diserahkan kepada pemerintah. Pengakuan ini penting karena masyarakat adat juga bagian dari Indonesia dan menjadi salah satu solusi bagi krisis iklim.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat memberikan sambutan dalam pembukaan dan kirab budaya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Wilayah Adat Tabi, Jayapura, Papua, Senin (24/10/2022). Kongres yang berlangsung sejak 24-30 Oktober ini juga disiarkan secara virtual.
Rukka menyampaikan, sampai sekarang masyarakat adat di seluruh wilayah di Indonesia telah memiliki lebih dari 20 juta hektar peta wilayah adat dan hampir seluruh usulannya sudah diserahkan ke pemerintah untuk diakui atau disahkan. Akan tetapi, sebagian besar peta wilayah adat tersebut belum mendapat pengakuan yang sah.
Perlindungan ini diperlukan agar masyarakat adat bisa melindungi 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa dan melipatgandakannya.
”Kita membuktikan bahwa wilayah adat yang masih berdaulat dan mandiri menjadi wilayah yang paling aman selama pandemi. Masyarakat adat menanam, memanen, dan memproduksi obat-obatan yang cukup untuk orang-orang di sekitar kita,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Rukka, telah membuktikan bahwa ketangguhan masyarakat adat sangat ditentukan oleh keutuhan wilayahnya. Sebaliknya, wilayah adat yang beralih fungsi menjadi pertambangan atau perkebunan mayoritas tidak bisa bertahanan dari berbagai krisis.
Selain itu, kata Rukka, pengakuan dan perlindungan ini penting dilakukan karena 80 persen keanekaragaman hayati terdapat di wilayah adat. Di sisi lain, masyarakat adat juga dianggap sebagai salah satu solusi untuk menghadapi krisis iklim yang tengah dihadapai dunia saat ini.
“Bila ingin membawa dunia ini keluar dari bencana iklim, investasi atau menanam modal terbaik yaitu dengan melindungi hak-hak masyarakat adat, bukan justru investasi pada tambang atau sawit. Perlindungan ini diperlukan agar masyarakat adat bisa melindungi 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa dan melipatgandakannya,” tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa segala perjuangan untuk mengakui masyarakat adat dan wilayahnya akan menjadi salah satu fokus dalam KMAN VI. Sebab, negara juga telah menjanjikan pengakuan sepanjang masyarakat adat tetap ada dan sesuai dengan perubahan zaman.
Bupati Jayapura Mathius Woitauw mengatakan, khusus di wilayah Jayapura, pemerintah daerah (pemda) terus berupaya memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Sampai saat ini, pemerintah bahkan telah memberikan kodefikasi terhadap 14 kampung adat di Jayapura dan 38 kampung lainnya juga tengah dalam persiapan.
”Sejak tahun 2018, pemerintah daerah sudah membentuk suatu gugus tugas masyarakat adat. Kabupaten Jayapura sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Masyarakat Adat,” kata Mathius yang juga Ketua Umum KMAN VI.
Melalui gugus tugas ini, Mathius menyebut jutaan hektar wilayah adat telah dipetakan dan 6 kawasan hutan sudah mendapat pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pemerintah pun akan memberikan salinan dokumen pengakuan tersebut kepada masyarakat adat dalam KMAN VI.
Sekolah adat
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, pihaknya memiliki direktorat khusus dan telah membuat satu mekanisme advokasi yang bekerja sama dengan AMAN. Namun, ia mengakui bahwa hal ini tidak bisa menyelesaikan semua persoalan terkait masyarakat adat.
Selain itu, Hilmar juga menekankan bahwa penguatan masyarakat adat sangat ditentukan di dalam aspek pendidikan. Sampai saat ini, Kemendikbudristek sudah melaksanakan 90 sekolah adat yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
”Komitmen dari semua pihak dapat meningkatkan usaha pendidikan ini. Dalam kongres masyarakat adat mendatang, diharapkan capaian ini sudan berlipat ganda. Kami juga berkomitmen untuk bersama-sama membangun sekolah adat,” ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan, Komnas HAM juga terus berupaya dalam membantu menyelesaikan berbagai konflik yang masih dihadapi masyarakat adat, khususnya di wilayah Papua. Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan menginisiasi dialog damai.
”Dialog damai merupakan cara yang paling bermartabat untuk menyelesaikan segala macam kekerasan yang terjadi di Papua. Upaya pembangunan akan sulit dilakukan di Papua maupun daerah lainnya jika kita tidak mencegah dan menghentikan kekerasan,” ungkapnya.