Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinilai belum optimal karena peraturan pelaksana belum tersedia. Empat lembaga HAM bekerja sama untuk mengawal penyusunan peraturan pelaksana.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak disahkan pada Mei 2022, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS belum optimal. Selain pemahaman publik dan penyelenggara negara akan UU ini belum merata, peraturan pelaksana UU TPKS juga belum semuanya tersedia.
Semula ada 10 peraturan pelaksana yang menjadi turunan UU TPKS. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengatakan, ada tiga peraturan pemerintah yang kini sedang disusun.
Adapun jumlah peraturan pelaksana ini disederhanakan menjadi tujuh yang terdiri dari tiga peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (Perpres). Beberapa di antaranya adalah Rancangan PP (RPP) tentang Dana Bantuan Korban TPKS; RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; serta Rancangan Perpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.
”Prosesnya sedang berjalan. Kami harap (ketersediaan peraturan pelaksana) tidak sampai dua tahun. Tanggal 9 Mei 2024 mesti dipastikan peraturan pelaksanaan selesai,” ucap Nahar di Jakarta, Kamis (11/5/2023). ”Kami harap Juli sampai Desember (2023) bisa ada kabar baik,” tambahnya.
Penyusunan peraturan pelaksana ini pun mesti dikawal. Ini juga mesti dilakukan saat UU TPKS diharmonisasi dengan peraturan lain. Tujuannya untuk memastikan terobosan hukum di UU TPKS tetap termuat.
Beberapa terobosan tersebut ialah jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan; serta hukum acara khusus yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, mulai dari proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
Untuk itu, empat lembaga hak asasi manusia menandatangani nota kesepahaman tentang koordinasi dan pemantauan bersama pencegahan dan penanganan TPKS. Keempat lembaga itu adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
”MoU (memorandum of understanding) ini merupakan peneguhan komitmen kerja sama yang sudah berlangsung. Saat ini ada beberapa kasus yang sudah dalam koordinasi untuk memastikan pemenuhan hak korban, layanan yang seharusnya tersedia, dan layanan hukum yang berpihak terlaksana,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Tantangan
Selain soal peraturan pelaksana, implementasi UU TPKS juga terhambat karena belum semua aparat penegak hukum paham UU ini. Salah satu terdakwa di kasus TPKS yang ditangani Pengadilan Negeri Jombang, misalnya, dipidana lima bulan penjara karena menghalangi proses hukum. Putusan ini diberi hakim berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan UU TPKS.
”Artinya, ada perbedaan pemahaman (soal UU TPKS). Kepolisian sudah oke (menggunakan UU TPKS), jaksa sudah oke, tapi hakimnya tidak,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Hanya 30 persen kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki rumah aman bagi korban kekerasan seksual.
Tantangan lain penerapan UU TPKS termasuk terbatasnya sarana, prasarana, dan biaya operasional. Komnas Perempuan mencatat bahwa hanya 30 persen kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki rumah aman bagi korban kekerasan seksual.
Kualitas sumber daya manusia dan pelayanan daerah untuk menangani kasus TPKS pun belum sepenuhnya memadai. KPAI mencatat penanganan beberapa kasus TPKS di daerah akhirnya diambil alih organisasi masyarakat sipil.
”Mesti dipastikan pelayanan penanganan dan pemulihan (untuk korban) tersedia, bisa diakses dengan cepat, dan berkualitas. Lalu, pemenuhan dan perlindungan hak korban, saksi, keluarga korban, dan pelaku anak agar ditegakkan. Setelahnya, perlu dipastikan juga strategi pencegahan TPKS tepat sasaran,” Komisioner KPAI Diyah Puspitarini.
Menurut Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, UU TPKS penting tidak anya untuk memastikan pemenuhan HAM perempuan di Indonesia. UU ini juga memperluas pemahaman publik soal bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini sulit didefinisikan apalagi dibawa ke ranah hukum. Padahal, kekerasan seksual tersebut kerap dialami publik.
”Sebelum ada UU TPKS, mungkin hanya Komnas Perempuan yang menyebut kasus (karyawati diajak) staycation (oleh atasan) di Karawang sebagai kekerasan seksual. Dengan adanya UU TPKS, pemahaman publik otomatis ter-upgrade. Dugaan kuatnya ini adalah kekerasan seksual di tempat kerja,” kata Anis.
UU ini juga mendorong penguatan gerakan masyarakat untuk melawan TPKS. Dengan jaminan perlindungan dan pemulihan korban di UU ini, sebagian masyarakat jadi berani melaporkan kasus TPKS.
UU ini secara tak langsung mengungkap kasus-kasus TPKS yang selama ini tersembunyi. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan, ada lebih dari 2.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2022.
Ketua KND Dante Rigmalia menambahkan, UU TPKS membangun pemahaman masyarakat akan kekerasan seksual. ”Ketika pemahaman masyarakat, termasuk petugas yang menangani melakukan penanganan ke korban kekerasan seksual meningkat, ini berarti kita bisa memberi dukungan yang lebih baik ke korban,” katanya.