Kondisi kesehatan mental orangtua dapat berdampak besar pada anak-anak yang diasuhnya dan memengaruhi perilaku anak. Kualitas layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial bagi orangtua perlu ditingkatkan.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi psikologis orangtua yang rentan dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak atau bahkan mengakibatkan pembunuhan anak. Oleh sebab itu, layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial untuk orangtua guna memastikan kesejahteraan anak perlu ditingkatkan.
Penasihat Perlindungan Anak Save the Children Indonesia Anak, Yanti Kusumawardhani, mengatakan, ada banyak hal yang memicu orangtua melakukan kekerasan atau membunuh anak dalam pengasuhan. Hal itu antara lain tekanan ekonomi, tekanan lingkungan, dan rendahnya pengetahuan serta keterampilan orangtua dalam pengasuhan. Selain itu, adanya pengalaman diasuh dengan kekerasan dan anggapan orangtua membunuh untuk menyelamatkan anak. Selain itu, berbagai faktor juga bisa berpengaruh, yakni faktor biologis, psikologi, dan sosial.
”Hal tersebut dapat memengaruhi bagaimana orangtua mengambil keputusan terhadap anaknya, termasuk dalam pengasuhan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan fisik dan mental orangtua juga berperan besar dalam pengasuhan,” tutur Yanti, Senin (8/5/2023).
Ia menambahkan, intervensi terhadap masalah kesehatan mental tidak bisa dari satu aspek saja, tetapi perlu menyeluruh.
Save the Children Indonesia mendorong orangtua agar dapat merawat dan memperhatikan dirinya sebelum merawat anak-anak dan pasangannya. Apabila diperlukan, orangtua yang tengah menghadapi masalah dapat mencari pertolongan dari tenaga profesional sehingga mereka tidak sampai mengambil keputusan yang membahayakan anak.
”Kami juga mendorong agar anak mau dan mampu melaporkan kepada orang dewasa apabila mereka merasa tidak aman,” kata Yanti.
Yanti menambahkan, layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial di Indonesia masih rendah. Pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental juga rendah. Apalagi, banyak masyarakat yang tidak mau dianggap memiliki masalah psikologis.
Berdasarkan data Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) tahun 2021, Indonesia hanya memiliki 11.500 psikolog untuk 270 juta penduduk Indonesia dan 1 psikiater untuk 300.000 penduduk. Ini masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1:30.000 psikiater.
”Idealnya, layanan psikolog ada di level terendah, di setiap kelurahan atau RW. Psikolog dan psikiater yang ada kebanyakan juga berada di kota besar, terutama di Pulau Jawa. Jadi, masih ada kabupaten yang belum punya psikolog atau psikiater,” kata Yanti.
Yanti menilai bagaimana negara-negara di Eropa menangani kesehatan mental dapat ditiru Indonesia. Contohnya, Perancis mengalokasikan 15 persen anggarannya untuk menangani kasus kesehatan mental. Orangtua juga harus dapat menerapkan work life balance, yaitu bekerja 35 jam seminggu dan memperbanyak akses ke ruang terbuka hijau untuk melepas stres.
Ketua Bidang Advokasi, Kampanye, Komunikasi, dan Media Save the Children Indonesia Troy Pantouw mengatakan, kasus pembunuhan anak yang belakangan sering terjadi menunjukkan betapa pentingnya semua pihak memberikan perhatian pada isu kesehatan mental orangtua. Kondisi kesehatan mental orangtua dapat berdampak besar pada anak-anak yang diasuhnya dan memengaruhi perilaku anak.
Berdasarkan data WHO tahun 2021, 10-20 persen anak dan remaja di seluruh dunia mengalami masalah kesehatan mental. Sebanyak 50 persen di antaranya mengalaminya sejak usia 14 tahun dan 75 persen mengalaminya di usia pertengahan 20 tahunan.
Selain itu, satu dari empat anak saat ini tinggal bersama orangtua yang memiliki kondisi mental yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan kesehatan mental dan psikososial (MHPSS) masih kurang.
”Kami mendesak pemerintah agar memprioritaskan isu kesehatan mental orangtua dalam berbagai bentuk kegiatan secara nyata. Pemerintah harus meningkatkan akses ataupun kualitas layanan kesehatan mental bagi masyarakat, khususnya orangtua,” ujar Tory.
Sebelum berkembang biak, orangtua harus berkembang dengan baik dulu, baik secara psikologis maupun finansial, untuk mencegah hal buruk terjadi.
Pernikahan dini
Secara terpisah, psikolog anak dan keluarga, Novita Tandry, mengatakan, orangtua yang membunuh anaknya merupakan bentuk gangguan mental yang disebut filisida altruistik, yakni menganggap membunuh anak demi kebaikan sang anak. Mereka mengira, dengan tindakan tersebut, mereka menyelamatkan seseorang.
”Penyebabnya biasanya karena kelahiran anak tidak diinginkan atau adanya balas dendam kepada pasangan,” kata Novita.
Menurut Novita, salah satu cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah menekan angka pernikahan dini. Aturan batas menikah harus dijalankan, yaitu minimal 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki. Meskipun begitu, keduanya harus sudah benar-benar siap dan memiliki ilmu untuk mengasuh anak.
”Sebelum berkembang biak, orangtua harus berkembang dengan baik dulu, baik secara psikologis maupun finansial, untuk mencegah hal buruk terjadi,” kata Novita.
Edukasi terhadap calon orangtua mengenai tanggung jawab pernikahan juga harus selalu dijalankan. Kejadian kecil, seperti kurang tidur saat memiliki bayi, pun dapat mengakibatkan otak tidak fokus dan banyak bermunculan pikiran negatif. Saat hal itu terjadi, banyak orangtua yang tidak sadar dan tidak mau bercerita.
”Di Indonesia, bicara mengenai masalah keluarga dianggap menyebarkan aib atau bahkan dijadikan gosip. Hal itu membuat pelaku atau korban malu dan tidak mau bercerita. Jadi, mereka terus memendamnya sendiri dan berujung pada depresi atau cemas,” ujar Novita.
Menurut Novita, tidak mudah menyiapkan tenaga profesional yang merata di daerah. Untuk itu, pemerintah dapat menyediakan saluran siaga atau hotline untuk menjawab atau mendengar keluhan masyarakat.
Kewajiban negara dalam memelihara anak telantar dan fakir miskin juga perlu dimaksimalkan. Mengacu sejumlah negara maju, anak telantar dapat diurus dinas sosial hingga adanya proses adopsi.
Yanti mengatakan, untuk mencegah kekerasan pada anak, Save the Children Indonesia bekerja sama dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga mitra di daerah dalam Program Pengasuhan Positif dan Pengasuhan Tanpa Kekerasan. Program tersebut meningkatkan kesadaran anak, orang tua, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan sosialisasi dan pelatihan.
Sementara untuk dukungan psikososial, Save the Children Indonesia membuat program MHPSS yang menyasar siswa dan guru di sekolah. Program tersebut guna meningkatkan kesadaran terkait isu-isu kesehatan mental kepada orangtua pada beberapa sekolah di Jakarta dan Bandung.
Save the Children Indonesia juga meminta masyarakat menghentikan stigma pada masalah kesehatan mental. Kesehatan mental bukan hal yang harus diabaikan, melainkan perlu ditangani agar mereka yang mengalaminya bisa pulih. Orangtua yang mengalami kesehatan mental akan merasa lebih terbuka untuk mencari dan menerima bantuan jika masyarakat juga terbuka.