Dokter Terbatas, Diagnosis Talasemia di Wilayah Indonesia Timur Masih Rendah
Kasus talasemia di wilayah Indonesia bagian timur masih belum terdeteksi secara optimal karena jumlah dokter, teknologi, dan obat yang juga terbatas. Pemerintah terus berupaya mendeteksi lebih banyak kasus talasemia.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diagnosis kasus talasemia di wilayah Indonesia bagian timur masih rendah akibat sebaran dokter yang terbatas, khususnya dokter spesialis anak. Pemerintah terus menyiapkan dokter-dokter yang kompeten agar dapat dikirimkan ke sejumlah daerah pelosok.
Kasus talasemia yang terdeteksi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara, misalnya, hanya sekitar 11-16 kasus. Hal ini disebabkan jumlah dokter yang terbatas, baik dokter umum maupun spesialis anak, dan minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai untuk mendiagnosis talasemia.
Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Teny Tjitra Sari mengatakan, saat ini jumlah dokter di wilayah Indonesia bagian timur sangat sedikit. Contohnya, dokter spesialis anak di Papua hanya ada satu orang.
”Dari segi sebaran dokternya saja sudah sangat terbatas. Dokter-dokter anak banyak yang masih bersekolah dan sedang kami persiapkan saat ini agar dapat dikirim ke wilayah pelosok beberapa tahun ke depan,” kata Teny pada konferensi pers Hari Talasemia Sedunia secara daring, Jumat (5/5/2023).
Saat ini jumlah dokter di wilayah Indonesia bagian timur sangat sedikit. Contohnya, dokter spesialis anak di Papua hanya ada satu orang.
Lebih lanjut, Teny menuturkan, kasus talasemia di wilayah Indonesia bagian timur memang ditemukan, tetapi tidak ada data pasti yang lebih rinci. Selain itu, meskipun sejumlah kasus terdeteksi, tidak tersedia cukup dokter untuk menangani pasien talasemia, belum lagi keterbatasan teknologi dan obat.
”Dengan berbagai kendala itu, diagnosis atau deteksi kasus talasemia di wilayah Indonesia timur tidak ada perkembangan. Oleh karena itu, pemerintah dan para pemangku kepentingan, dalam hal ini bidang kesehatan, terus berupaya menyiapkan sumber daya manusia yang direncanakan akan kembali ke daerah pelosok nantinya dengan program-program yang sudah kami targetkan,” ujar Teny.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus talasemia di Indonesia terus meningkat. Pada 2012 terdapat 4.896 kasus talasemia mayor. Jumlah itu naik menjadi 10.555 kasus pada 2019, naik menjadi 10.955 kasus pada 2020, dan 10.973 kasus pada 2021.
Pada 2019-2020, Jawa Barat menjadi provinsi penyumbang terbesar kasus talasemia dengan 3.636 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.200 kasus, dan Jawa Tengah dengan 937 pasien.
Talasemia merupakan kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya hemoglobin dan jumlah sel darah merah dalam tubuh. Sumsum tulang tidak mampu membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sehingga penderita mengalami anemia atau kurang darah.
Talasemia terbagi ke dalam dua jenis, yaitu talasemia minor dan mayor. Keduanya memiliki pengobatan yang berbeda bedasarkan jenis talasemia yang diidap. Pasien talasemia minor tidak perlu perawatan khusus dan hanya mendapat sejumlah obat penambah hemoglobin. Sementara pasien talasemia mayor perlu melakukan transfusi darah rutin 2-4 kali dalam seminggu seumur hidup atau melakukan transplantasi sumsum tulang dan mengonsumsi obat kelasi besi.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, sebesar 3-10 persen populasi Indonesia membawa sifat talasemia. Selain itu, setiap tahun sebanyak 2.500 bayi lahir dengan talasemia mayor.
Maxi menambahkan, perlu lebih banyak dokter umum untuk membantu mendeteksi dan mendiagnosis gejala awal (skrining) talasemia, terlebih pada masyarakat di daerah pelosok. Setelah deteksi dilanjutkan dengan pengobatan yang dilakukan khusus oleh dokter anak.
Staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ede Surya Darmawan, berpandangan, pemerintah perlu membenahi pelayanan kesehatan primer di wilayah Indonesia bagian timur. Deteksi talasemia memerlukan tenaga kesehatan dan teknologi yang memadai, tidak hanya di kota, tetapi juga di desa.
Sebaran dokter merupakan persoalan laten yang masih dihadapi Kementerian Kesehatan hingga saat ini. Tenaga kesehatan bahkan harus dikirimkan secara khusus ke daerah-daerah pelosok. ”Kalau kita lihat, sampai hari ini belum pernah puskesmas kita 100 persen ada dokternya. Kalaupun ada, tidak selalu full. Pelayanan seperti ini yang perlu diperbaiki,” ujar Ede, Jumat (5/5).
Menurut Ede, pemerintah, dibantu para epidemiolog, perlu membuat pemodelan untuk dapat memperkirakan angka kasus talasemia di daerah-daerah pelosok sehingga kemampuan mendeteksi dan mendiagnosis kasus tersebut juga dapat dilakukan secara merata. Jika talasemia tidak dideteksi dan dicegah secara optimal dan sejalan, Indonesia akan sulit mencapai bebas talasemia pada 2030.
”Selain itu, pemerintah dapat membangun kebijakan pencegahan dengan konseling bagi pasangan talasemia yang akan menikah. Pilihannya tidak jadi menikah atau tidak memiliki anak,” ucap Ede.