Pendidikan kebinekaan di Indonesia yang majemuk perlu terus diupayakan lewat satuan pendidikan, termasuk di antaranya sekolah. Hal ini sebagai bagian dari menghapus intoleransi yang hingga kini masih terjadi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Membangun iklim kebinekaan di satuan pendidikan di wilayah Indonesia yang majemuk harus terus diupayakan. Untuk dapat mencapai hal itu, diperlukan kolaborasi dan kerja sama serta metode yang tepat agar peserta didik mudah memahami dan mempelajari tentang kebinekaan dengan cara yang menyenangkan.
Salah satu konsep dan nilai kebinekaan atau keragaman ini perlu diajarkan kepada peserta didik agar terbiasa hidup dalam masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa dan budaya. Penting bagi setiap individu untuk memahami dan memaknai perbedaan nilai-nilai kedaerahan di Tanah Air.
Penghargaan pada kebinekaan atau keberagaman guna mencegah intoleransi menjadi komitmen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait program pencegahan tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
Implementasi pencegahan tiga besar dosa pendidikan salah satunya dilakukan lewat proyek Profil Pelajar Pancasila. Dalam kaitan memperkuat penghargaan pada keberagaman untuk membangun iklim inklusivitas dan kebinekaan pada ekosistem pendidikan, pelatihan diberikan kepada sekolah dan guru.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, Selasa (25/4/2023), menjelaskan, kebinekaan tidak akan tumbuh jika tidak ada rasa saling percaya (trust). Hal ini dapat terbangun karena adanya hubungan atau relasi.
”Di sinilah pendekatan literasi keagamaan lintas budaya atau LKLB menjadi penting karena pada prinsipnya sesuai dengan pepatah ’tak kenal maka tak sayang’ sehingga perlu mulai membangun hubungan untuk memperkuat pluralisme kovenantal,” kata Matius.
LKLB pada intinya adalah kerangka untuk menolong semua pihak mengembangkan kompetensi dan keterampilan guna membangun hubungan dan bekerja sama dengan orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan lewat LKLB, yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi.
”Saling mengenal saja tidak cukup. Kita harus melangkah menjadi saling bekerja sama karena dalam kerja sama itulah dibangun rasa saling percaya satu sama lain,” ujar Matius.
Para guru sekolah dan madrasah di sejumlah daerah dikuatkan tentang konsep LKLB. Konsep LKLB dinilai mampu mendukung penerapan Profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan dari Kurikulum Merdeka. Profil Pelajar Pancasila memuat enam ciri utama, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Saling mengenal saja tidak cukup. Kita harus melangkah menjadi saling bekerja sama karena dalam kerja sama itulah dibangun rasa saling percaya satu sama lain.
”Untuk membekali peserta didik menghadapi perbedaan-perbedaan itu, saya terdorong mengimplementasikan konsep LKLB. Tujuannya, menyiapkan mereka agar tidak gagap dalam menyikapi perbedaan,” ujar Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Al-Achyar Banyuwangi, Jawa Timur, sekaligus alumnus LKLB angkatan 6, Muhamad Zulfar.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami mengatakan, untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, Puspeka telah menyusun Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan melakukan uji coba di 10 provinsi yang melibatkan 110 fasilitator guru dan 450 peserta didik pada 77 satuan pendidikan. Terkait pencegahan intoleransi, Puspeka telah memproduksi dan menyebarluaskan sejumlah konten video pembelajaran dan infografik.
Sejak tahun 2021, Puspeka telah menyusun Modul Wawasan Kebinekaan Global dan melatih 45 master trainers yang kemudian mengimbaskan kepada 1.502 guru. Selain itu, Puspeka juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek dalam program pengimbasan dan hingga saat ini sudah terlatih sebanyak 28.254 peserta pendidikan profesi guru (PPG), 1.576 guru pada program sekolah penggerak, dan 5.211 peserta guru penggerak.
Bercerita
Dalam upaya memperkuat iklim kebinekaan di sekolah, salah satu media komunikasi yang dinilai cukup efektif untuk membantu siswa dalam belajar adalah metode bertutur melalui cerita. Terlebih, di era teknologi digital, bertutur melalui cerita semakin mudah dilakukan, di antaranya lewat media sosial yang dapat diakses oleh khalayak luas.
Rusprita mengatakan, bertutur melalui cerita dapat memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih menyenangkan, interaktif, dan bermakna bagi siswa.
”Dengan memadukan bertutur melalui cerita dalam pendidikan, siswa dapat terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan memperoleh pemahaman yang lebih tentang konsep dan nilai yang diajarkan. Dengan demikian, metode ini bisa jauh lebih efektif,” ujar Rusprita saat webinar Penguatan Karakter Forum Belajar Kebinekaan dengan tema ”Bertutur melalui Cerita untuk Generasi Merdeka Beragam Setara” yang digelar secara virtual pada pertengahan April lalu
Siti Nurjanah, Guru SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah, menjelaskan, salah satu metode mengenalkan kebinekaan kepada para siswanya ialah dengan melakukan unjuk performa Nusantara dan melalui Festival Film Pendek. Para siswa diajak untuk bertutur, bercerita tentang keragaman Nusantara agar mengenal dan mampu melestarikan keragaman Nusantara, mulai dari makanan dan minuman tradisional, seni tari, hingga mampu mengimplementasikan keragaman bahasa.
”Untuk film pendek, harapannya mereka mampu mencintai dan melestarikan bahasa kelahiran mereka guna melestarikan kearifan lokal dan meningkatkan keterampilan abad ke-21, yaitu kreatif, berpikir kritis, kolaboratif, dan komunikatif,” kata Siti.
Sementara itu, Cicilia Ana Mukti R, Guru Pendidikan Anak Usia Dini YPJ Kuala Kencana Timika, Papua Tengah, mengatakan, dirinya senantiasa mengajak para siswa untuk bercerita dengan cara yang menyenangkan. Salah satunya adalah membuat lingkaran konsentrik berisi cerita anak-anak tentang Papua, dunia, dan diri mereka sendiri.
”Kita (para guru) juga memotivasi anak dengan bercerita, membiasakan cerita setiap hari dengan membuka sudut cerita atau membuat area cerita yang menarik bagi anak-anak. Kita membuat tenda, ada bantal-bantalnya, ada puppet-nya, anak-anak senang sekali ketika mereka bercerita dan mengekspresikan ceritanya dengan bahasa-bahasa mereka,” ujar Cicilia.