Membatasi ”Si Manis” Masuk ke Dalam Tubuh
Nastar, putri salju, dan kastengel menjadi makanan wajib ketika Lebaran. Satu gigitan saja rasanya tidak cukup untuk memuaskan lidah. Namun, kandungan gula serta kalori yang tinggi perlu menjadi perhatian.
Lebaran sebentar lagi. Selain tidak sabar untuk segera bertemu dan bersilaturahmi bersama keluarga, makanan khas yang biasanya hanya dihidangkan saat hari raya Idul Fitri juga tidak kalah dirindukan. Salah satunya, kue lebaran.
Berjejer stoples berisi beraneka macam kue lebaran akan tersedia di meja ruang tamu. Ada kue putri salju, kastengel, lidah kucing, juga nastar. Mencicipi aneka kue lebaran tentu tidak dilarang. Namun, makanan manis sebaiknya tidak berlebihan dikonsumsi. Kandungan gula yang tinggi dalam kue-kue tersebut akan berbahaya bagi tubuh jika konsumsinya tidak dibatasi. Selain itu, kalori yang terkandung juga cukup tinggi.
Dalam satu kue putri salju, misalnya, setidaknya mengandung 23 kilokalori. Jumlah yang lebih besar ditemukan pada satu kue nastar yang kalorinya mencapai 75 kilokalori. Itu artinya, kalori dalam empat kue nastar sama dengan jumlah kalori pada satu piring nasi putih seberat 150 gram.
Rasa manis dapat menjadi candu dan biasanya kadar manis yang diinginkan semakin meningkat.
”Kue kering bukan cuma penyumbang kalori, tetapi juga di dalamnya tinggi gula dan lemak. Apalagi jika lemak yang dipakai adalah lemak trans yang tidak sehat yang biasanya didapatkan dari margarin,” kata ahli gizi masyarakat dari Dr Tan and Remanlay Institute, Tan Shot Yen, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/4/2023).
Itu sebabnya, masyarakat diharapkan bisa membatasi diri dalam mengonsumsi makanan manis ketika Lebaran. Ketika menyiapkan makanan untuk tamu atau keluarga saat Idul Fitri, sebaiknya diimbangi pula dengan penganan yang lebih sehat, seperti asinan betawi, rujak buah, salad buah, atau makanan sejenis lainnya.
Kebiasaan mengonsumsi makanan manis sebenarnya harus mulai dibatasi sejak bulan puasa. Ketika puasa, makanan manis pun banyak tersedia. Makanan manis itu sering dikonsumsi sebagai menu takjil. Hal ini patut jadi perhatian karena makanan yang dikonsumsi tidak dalam porsi yang kecil, tetapi sering dalam porsi yang besar.
Baca juga: Bulan Puasa, Bukan Saat untuk Menambah Asupan Gula
Tan mengatakan, asupan gula berlebih yang sudah dimulai sejak bulan puasa sebagai hidangan buka puasa dikhawatirkan menjadi kebiasaan. Rasa manis dapat menjadi candu dan biasanya kadar manis yang diinginkan semakin meningkat.
Ia pun menyarankan, apabila ada kue-kue kering yang berlebihan di rumah, sebaiknya segera dibagikan kembali kepada orang sekitar. ”Jadi, setiap hari ketika bangun tidur tidak menatap kue-kue tersebut. Biasanya akan terbiasa untuk mencicip satu-dua kue, sampai habis. Orang sangat mudah membangun kebiasaan, termasuk kebiasaan mengemil. Ini bisa bahaya,” tuturnya.
Pada saat Lebaran, selain kue-kue manis, berbagai makanan lain juga perlu dibatasi, seperti makanan bersantan, makanan yang dimasak dengan minyak, serta makanan dengan kalori tinggi lainnya. Perlu diperhatikan, satu porsi opor ayam mengandung sekitar 392 kilokalori, sementara satu porsi gulai kambing mengandung 252 kilokalori.
Kebiasaan mengonsumsi gula secara berlebihan serta makanan dengan tinggi garam dan lemak dalam jangka waktu pendek dapat menyebabkan kenaikan berat badan. Jika tidak terkontrol, seseorang pun akan berisiko mengalami obesitas yang akhirnya berujung pada berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes.
Diabetes
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, diabetes merupakan satu dari empat penyakit tidak menular utama yang dapat menjadi penyakit kronis. Pada pasien diabetes, ia tidak dapat memproduksi insulin yang cukup untuk mengatur kadar gula dalam darah. Akibatnya, jika kadar gula darah tidak terkontrol, sistem tubuh pun bisa terganggu. Pola hidup yang tidak sehat sangat berkaitan dengan penyakit diabetes melitus tipe 2.
Saat ini, diabetes melitus menjadi penyakit pembunuh nomor tiga terbesar setelah jantung dan stroke. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada usia 15 tahun ke atas sebesar 2 persen. Angka ini meningkat dibandingkan pada 2013 yang dilaporkan sebesar 1,5 persen.
Dalam Mediakom Edisi 148 Tahun 2022 disebutkan, penderita diabetes pada responden yang tinggal di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan, yaitu 1,89 persen berbanding 1,01 persen pada 2013. Pada 2019, penderita diabetes di perkotaan sebesar 2 persen dan di perdesaan sebesar 1 persen.
Tingginya jumlah responden penderita diabetes di perkotaan tidak berarti jumlah penderita diabetes di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Jumlah tersebut justru bisa menunjukkan akses terhadap deteksi kasus di pelayanan kesehatan lebih baik pada wilayah perkotaan dibandingkan perdesaan.
Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Esti Widiastuti menyebutkan, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah dan mengendalikan penyakit diabetes di masyarakat. Upaya tersebut, antara lain, melalui promosi dan edukasi untuk modifikasi gaya hidup sehat serta membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak. Masyarakat juga diharapkan bisa meningkatkan aktivitas fisik harian. Pemeriksaan rutin sebaiknya dilakukan pula sebagai upaya deteksi dini.
Baca juga: Diabetes Bukan Hanya Soal Gula
Selain itu, masyarakat juga diajak untuk membiasakan diri membaca label pada setiap makanan siap saji. Di lain sisi, produsen makanan siap saji diwajibkan untuk mencantumkan informasi nilai gizi pada setiap pangan siap saji.
”Tidak hanya makanan kemasan, tetapi juga makanan di kantin harus sudah diberi label perkiraan setiap satu sajian kurang lebih berapa kalori sehingga setiap orang yang mengonsumsinya lebih mawas diri mengenai apa yang sudah masuk ke dalam tubuhnya dan sudah berapa kalori yang dikonsumsi pada hari itu,” tutur Esti.
Baca juga: Batasi Gula Maksimal Enam Sendok Teh Sehari untuk Kesehatan
Pemerintah telah mengatur batasan konsumsi gula harian melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Aturan ini diperuntukkan bagi pelaku usaha produksi pangan siap saji.
Label kemasan
Dalam aturan tersebut juga disebutkan batasan konsumsi gula harian bagi masyarakat. Setiap orang dianjurkan untuk mengonsumsi gula kurang dari empat sendok makan per hari atau sekitar 50 gram per orang per hari yang setara dengan 200 kilokalori. Langkah paling mudah untuk membatasi konsumsi gula harian adalah pada penambahan gula pada makanan dan minuman.
Selain itu, batasan konsumsi gula juga bisa diatur pada konsumsi makanan atau minuman dalam kemasan. Setiap kemasan produk memiliki keterangan label informasi nilai gizi yang bisa menjadi panduan mengukur gula yang akan dikonsumsi. Ada empat keterangan yang perlu dicermati, yakni takaran saji, kalori total, angka kecukupan gizi, dan informasi lain.
Takaran saji merupakan jumlah produk makanan yang dikonsumsi dalam satu kali makan. Jika tertulis empat sajian per kemasan, jumlah asupan kalori ataupun semua nutrisi yang tertulis perlu dikalikan empat menyesuaikan dengan takaran saji yang tertulis.
Selain itu, cermati pula kalori total yang tertulis. Dalam keterangan biasanya tertulis energi total dan energi dari lemak. Jumlah energi dari lemak dipisahkan karena tidak terkandung dalam energi total sehingga untuk mengetahui jumlah energi setiap sajian perlu dijumlah antara energi total dan energi dari lemak.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah angka kecukupan gizi. Angka ini merupakan jumlah nutrisi yang ada di dalam satu porsi makanan. Umumnya, angka tersebut dihitung dari total kalori yang dibutuhkan dalam sehari sebesar 2.000 kilokalori. Jadi, jika angka kecukupan gizi (AKG) pada lemak total di kemasan tertulis 4 persen, berarti kebutuhan akan lemak total telah terpenuhi 4 persen ketika dikonsumsi sesuai takaran saji.
Adapun informasi lain yang harus diamati ialah kandungan lemak total, gula, dan natrium. Besaran berat dari kandungan tersebut harus dikalikan dengan jumlah takaran saji per kemasan. Kandungan yang tercantum belum tentu untuk satu kali penyajian.
Baca juga: Cermat Membaca Label Gizi pada Kemasan
Kesadaran untuk bisa membaca label kemasan produk makanan sajian dalam kemasan dengan baik harus ditingkatkan. Alangkah lebih baik lagi jika konsumsi makanan dalam kemasan bisa dibatasi. Pastikan pula konsumsi gula, garam, dan lemak pada makanan yang dikonsumsi setiap hari juga tidak berlebihan. Itu termasuk saat Lebaran seperti saat ini.