Masyarakat perlu lebih memerhatikan kandungan gizi pada produk pangan kemasan yang akan dikonsumsi. Itu bisa dilakukan dengan cermat membaca label gizi yang tertera pada kemasan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk pangan dalam kemasan mudah dan praktis untuk dikonsumsi. Namun, masyarakat sebaiknya bijak memilih pangan dalam kemasan, terutama terkait kandungan gizi pada produk tersebut. Sebagai pertimbangan, label gizi pada kemasan bisa menjadi panduan dalam pemilihan.
Direktur Standardisasi Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Anisyah dalam acara festival #BeatObesity 2022 yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Senin (7/3/2022), mengatakan, pelabelan dalam produk pangan kemasan menjadi salah satu strategi untuk mengedukasi masyarakat dalam pemilihan makanan ataupun minuman yang dikonsumsi. Informasi yang terdapat di label pangan dalam kemasan bisa menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih produk yang akan dikonsumsi.
”Label gizi pada kemasan pangan olahan penting untuk memudahkan konsumen untuk membaca nilai gizi yang terkandung di produk tersebut. Setidaknya masyarakat tahu kandungan gula, garam, lemak, dan kalori pada produk pangan yang akan dipilih,” katanya.
Informasi nilai gizi yang tercantum dalam kemasan antara lain, takaran saji tiap kemasan, jumlah sajian per kemasan, zat gizi, persentase angka kecukupan gizi (AKG), dan catatan kaki terkait persentase AKG berdasarkan kebutuhan energi total. Dalam hal ini masyarakat diharapkan bisa cermat membaca informasi yang tercantum tersebut.
Anisyah memaparkan, hal pertama yang bisa diketahui dari nilai gizi pada produk kemasan adalah jumlah kalori total yang terkandung dari satu kemasan pangan. Untuk melihat total kalori, konsumen perlu melihat jumlah takaran saji dan energi total per sajian. Jika tertulis jumlah takaran sajian per kemasan sebanyak lima sajian per kemasan dan energi total per sajian sebesar 100 kilokalori (kkal), artinya dalam satu kemasan mengandung 500 kkal.
Selain itu, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah zat gizi yang terkandung dalam produk pangan kemasan, seperti kandungan lemak, gula, dan garam (natrium). Perlu diperhatikan bahwa konsumsi lemak, gula, dan garam yang berlebihan dapat memicu terjadinya penyakit tidak menular, seperti obesitas.
Label gizi pada kemasan pangan olahan penting untuk memudahkan konsumen untuk membaca nilai gizi yang terkandung di produk tersebut.
Anisyah menyampaikan, masyarakat harus membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak dalam jumlah yang tepat. Idealnya, seseorang dapat mengonsumsi gula maksimal 50 gram atau empat sendok makan dalam sehari. Sementara konsumsi garam sebaiknya dibatasi maksimal 5 gram atau setara dengan satu sendok teh dalam sehari. Konsumsi lemak pun dibatasi maksimal 67 gram atau lima sendok makan dalam sehari.
”Dengan selalu cermat membaca label kemasan, termasuk informasi nilai gizi yang kemudian menjadikan itu sebagai kebiasaan, masyarakat akan lebih cerdas memilah zat gizi apa yang harus dipenuhi dan dibatasi. Dengan begitu, risiko berbagai penyakit bisa dihindari, salah satunya obesitas,” ujarnya.
Obesitas
Dokter spesialis gizi klinis Marya Haryono mengatakan, obesitas harus dicegah sejak dini. Jika tidak segera diatasi, obesitas dapat berisiko menyebabkan penyakit lain yang lebih berbahaya, seperti diabetes, hipertensi, dan jantung. Seseorang dengan obesitas berisiko delapan kali lebih tinggi mengalami diabetes daripada yang tidak mengalami obesitas.
Risiko tersebut juga tinggi pada penyakit hipertensi yang meningkat lima kali lipat dan jantung yang mencapai dua kali lipat. Itu perlu diwaspadai karena prevalensi obesitas di Indonesia terus meningkat.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi obesitas untuk usia 18 tahun ke atas pada 2013 sebesar 14,8 persen. Jumlah itu meningkat signifikan menjadi 21,8 persen pada 2018. Kondisi ini semakin dikhawatirkan dengan gaya hidup masyarakat selama masa pandemi yang tidak banyak bergerak serta mengonsumsi makanan yang tidak sehat.
”Tingginya frekuensi kegiatan online selama pandemi ini membuat anak muda memiliki kebiasaan ngemil (mengudap/mencamil) makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak sambil belajar atau bekerja. Itu diikuti dengan kurangnya aktivitas fisik selama mereka di rumah. Akibatnya, lemak semakin menumpuk dan berisiko obesitas,” ucap Marya.
Ia mengatakan, obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebih akibat ketidakseimbangan asupan energi dengan energi yang digunakan yang terjadi dalam waktu yang lama. Obesitas tidak hanya sekadar berlebihan berat badan, tetapi sudah masuk dalam kategori penyakit.
Obesitas seharusnya bisa dicegah dengan mengatur keseimbangan energi dalam tubuh. Caranya antara lain dengan mengatur pola tidur atau istirahat yang cukup, pola aktivitas fisik yang berkelanjutan dengan intensitas rendah sampai sedang, serta mengatur pola makan yang baik.
Pola makan ini tidak hanya terkait kandungan yang dikonsumsi, tetapi juga jumlah, jenis, jadwal, serta cara pengolahan makanan. Untuk konsumsi harian, jumlah sayur yang dikonsumsi sebaiknya dua kali lebih banyak dari jumlah sumber karbohidrat dan protein. Selain itu, perlu juga membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak.
”Masyarakat perlu melakukan pengelolaan ini sedini mungkin untuk bisa mencegah obesitas,” ucap Marya.
Koordinator Substansi Pengendalian Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik Kementerian Kesehatan Esti Widiastuti mengatakan, sejumlah aturan telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan penyakit tidak menular, termasuk obesitas. Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, intervensi yang dilakukan meliputi promosi kesehatan, deteksi dini, dan penanganan kasus.
Secara khusus, strategi pencegahan dan pengelolaan obesitas di masyarakat juga telah disusun dengan sasaran populasi sehat ataupun populasi dengan obesitas. Pada sasaran populasi sehat akan difokuskan pada promosi kesehatan dan pencegahan, sedangkan pada populasi dengan obesitas akan difokuskan pada upaya pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular terintegrasi.
”Kita perlu terus mendorong agar seluruh masyarakat bisa berperan mengatasi masalah obesitas, termasuk dari sektor swasta yang juga bisa turut meningkatkan kesadaran dan pemahaman untuk mengatasi obesitas,” kata Esti.
Head of Strategic Marketing Nutrifood Susana menyampaikan, edukasi mengenai pencegahan dan penangan obesitas telah dilakukan melalui berbagai program yang ditujukan bagi karyawan di Nutrifood. Bahkan, karyawan bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program hidup sehat dan penurunan berat badan untuk menangani kelebihan berat badan dan obesitas.