RUU Kesehatan mencakup berbagai isu terkait dengan kesehatan di masyarakat, termasuk pengendalian produk tembakau. Masyarakat agar mengawal aturan tersebut secara ketat dan berkelanjutan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan perlu dikawal secara ketat. Setiap pasal yang ditetapkan harus dipastikan sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. Hal tersebut termasuk terkait perlindungan masyarakat dari dampak produk tembakau.
Dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang diserahkan Kementerian Kesehatan pada DPR, topik terkait produk tembakau diatur dalam bagian ke-25 mengenai pengamanan zat adiktif. Aturan tersebut tertulis pada Pasal 154 sampai dengan Pasal 158.
Tidak banyak pasal yang diubah. Sebagian perubahan dalam bentuk redaksional, seperti pada Pasal 154 Ayat 3d diubah dari sebelumnya tertulis hasil tembakau menjadi produk tembakau. Selain itu, pada Ayat 6d juga diubah dari yang sebelumnya tertulis sigaret menjadi rokok. Sementara penambahan substansi baru ditambah pada Pasal 155 Ayat 2 yang berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi kemasan dan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan peraturan menteri.
Advokat senior yang juga pendiri Lubis Santosa & Maramis Law Firm, Todung Mulya Lubis, dalam diskusi publik bertajuk ”Membahas Penyusunan Omnibus Law Sektor Kesehatan” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Kamis (13/4/2023), berpendapat, aturan-aturan yang diusulkan dalam DIM dari pemerintah ke DPR terkait pengendalian tembakau sudah cukup bagus. Dari usulan yang disampaikan pun sudah cukup teknis.
”Dari yang sebelumnya ditulis hasil tembakau, pada usulan DIM pemerintah diganti menjadi produk tembakau. Ada pula tambahan redaksional yang menegaskan adanya kewajiban pemerintah daerah untuk menerapkan dan mengimplementasikan kawasan tanpa tembakau,” katanya.
Meski begitu, Todung menyampaikan, upaya pengendalian tembakau bisa benar-benar terwujud dengan baik apabila topik dalam RUU Kesehatan tersebut terus dikawal secara ketat dan berkelanjutan. Sekalipun kebijakan yang dihasilkan sudah bagus, itu tidak akan bisa terimplementasi dengan baik jika tidak dikawal oleh masyarakat luas. Hal tersebut termasuk pada peraturan turunannya.
Upaya pengendalian tembakau bisa benar-benar terwujud dengan baik apabila topik dalam RUU Kesehatan tersebut terus dikawal secara ketat dan berkelanjutan.
RUU Kesehatan yang disusun dengan metode omnibus law tersebut juga bisa berdampak pada aturan yang saat ini tengah disusun. Itu artinya, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan juga akan terhambat. Perubahan akan peraturan tersebut akan dilakukan setelah undang-undang yang baru diterbitkan.
”Mungkin pembahasan revisi peraturan (PP Nomor 109 Tahun 2012) tidak dimulai dari awal. Namun, untuk membahas kembali revisi tersebut tetap harus menunggu undang-undang yang baru,” kata Todung.
Ekonom senior Indef, Faisal Basri, mengatakan, aturan terkait pengendalian tembakau dalam RUU Kesehatan harus menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, penguatan pada upaya promotif dan preventif yang ingin ditekankan pemerintah tidak akan tercapai jika upaya pengendalian tembakau di masyarakat tidak berjalan optimal.
Menurut dia, persoalan pengendalian rokok amat penting dalam penguatan kesehatan masyarakat. Selama ini, rokok telah terbukti menjadi penyebab utama dari berbagai penyakit yang berbiaya tinggi.
”Jika rokok tidak kita address (amanatkan) pada RUU ini, bagaimana kita ingin menyehatkan masyarakat sementara salah satu sumber penyakit itu tidak kita contain (muat),” tutur Faisal.
Perlindungan anak
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani menyampaikan, KPPPA terus terlibat dalam pembahasan RUU Kesehatan. Ia pun memastikan jika pembahasan RUU Kesehatan tetap mengutamakan aspek perlindungan anak yang terkait pula dengan perlindungan dari ancaman produk tembakau.
Setidaknya kebijakan yang diatur tidak boleh bertentangan dengan strategi perlindungan anak dari bahaya produk tembakau. Strategi tersebut meliputi program untuk mengurangi paparan iklan rokok pada anak, adanya layanan berhenti merokok, penggunaan media sosial sebagai edukasi bahaya rokok, peningkatan jumlah aturan kawasan tanpa rokok, dan penguatan pengawasan pengendalian produk tembakau.
”Upaya-upaya tersebut bertujuan agar kita bisa mencapai target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dengan penurunan angka merokok penduduk usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024,” ujar Rini.