Indonesia merupakan surga bagi perokok dan perusahaan rokok. Hingga kini aturan pengendalian tembakau relatif longgar. Hal ini membawa konsekuensi berat berupa kerugian ekonomi dan ancaman bonus demografi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok dewasa Indonesia bertambah 8,8 juta dalam 10 tahun. Tahun 2021, ada 69,1 juta perokok dewasa, mayoritas laki-laki.
Penggunaan tembakau di Indonesia menjadi salah satu yang paling serius di dunia. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 menunjukkan, prevalensi pernah merokok pria dewasa tahun 2019 mencapai 64,5 persen. Prevalensi pernah merokok di antara anak-anak berusia 10–18 tahun meningkat dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Masyarakat miskin dan berpendidikan rendah merupakan kelompok terbesar pengonsumsi rokok. Hasil GATS 2021 menyebut, rokok merupakan pengeluaran belanja terbesar kedua pada orang miskin. Rata-rata Rp 382.000 per bulan. Jumlah itu lebih tinggi daripada pengeluaran untuk makanan bergizi.
Bisa dikatakan, belanja rokok mengorbankan kesehatan anak dan keluarga. Jika ini terus berlangsung, jumlah anak kurang gizi di Indonesia bisa bertambah dan bonus demografi 2030 terancam tidak terjadi.
Rokok menjadi faktor risiko enam dari delapan penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia. Yakni, penyakit jantung, stroke, gangguan pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis, serta kanker paru-paru. Konsumsi rokok menimbulkan kerugian ekonomi besar, meliputi kerugian langsung membeli rokok, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas, dan kematian prematur, serta biaya perawatan penyakit terkait tembakau.
Konsumsi rokok menimbulkan kerugian ekonomi besar, meliputi kerugian langsung membeli rokok, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas, dan kematian prematur, serta biaya perawatan penyakit terkait tembakau.
Penelitian Yurdhina Meilissa dan kolega dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, yang dipublikasi di Tobacco Control dari BMJ, 2022, mendapatkan, kerugian akibat konsumsi rokok 2019 berkisar Rp 184,36 triliun hingga Rp 410,76 triliun. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengalokasikan Rp 10,4 triliun hingga Rp 15,6 triliun untuk menutupi biaya kesehatan akibat merokok.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024 mengakui merokok sebagai ancaman bagi agenda pembangunan nasional. Hal itu menurunkan efektivitas program perlindungan sosial dan membebani sistem kesehatan. Jumlah kerugian akibat konsumsi rokok jauh lebih besar dibanding cukai rokok yang diperoleh negara.
Saat ini ada 324 dari 514 pemerintah kabupaten/kota telah menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR) di wilayah masing-masing. Pemerintah pusat menargetkan, tahun 2024 seluruh kabupaten/kota menerapkan KTR.
Komitmen pemerintah daerah sangat berperan dalam mengendalikan dampak buruk produk tembakau. Namun, pemerintah pusat perlu tegas agar upaya pengendalian tembakau berjalan optimal di seluruh daerah. Ada sejumlah intervensi untuk pengendalian tembakau. Antara lain perluasan KTR untuk melindungi orang dari asap rokok, menaikkan cukai rokok, melarang iklan, promosi dan sponsor perusahaan rokok.
Pemerintah juga perlu membantu petani untuk beralih ke tanaman lain yang lebih sehat dan menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian tujuan pengendalian rokok bisa segera tercapai, serta kerugian ekonomi dan ancaman bonus demografi teratasi.