Umur dan Masa Depan Anak yang Hilang dalam Polusi Udara Jakarta
Polusi udara telah menyebabkan lebih dari 10.000 kematian dan 5.000 pasien rawat inap di Jakarta setiap tahun. Anak-anak termasuk yang paling menderita.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Polusi udara menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 pasien rawat inap, dan 7.000 anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahun di Jakarta, dengan biaya yang harus ditanggung triliunan rupiah. Kesakitan, kematian, beban biaya, hingga dampak jangka panjang pada anak-anak ini bisa dihindari jika pemerintah memenuhi tuntutan warga yang telah menang gugatan terkait polusi udara di tingkat banding.
Besarnya dampak kesehatan dan ekonomi dari polusi udara di Jakarta ini dilaporkan Ginanjar Syuhada dari Environmental, Climate, and Urban Health Division Vital Strategies Singapura dan tim di jurnal Environmental Research and Public Health edisi Februari 2023. Turut menulis kajian ini sejumlah peneliti dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, serta Institut Teknologi Bandung.
Dalam kajian ini, para peneliti menghitung beban kesehatan dan ekonomi dari partikel 2,5 mikron(PM 2,5) dan ozon permukaan tanah (O3), yang melebihi standar kualitas udara ambien lokal dan global. Mereka menggunakan metode penilaian risiko komparatif untuk memperkirakan beban kesehatan yang disebabkan oleh PM 2,5 dan O3. Beban ekonomi dihitung dengan menggunakan biaya penyakit dan nilai dari pendekatan statistik tahun hidup.
Polusi udara tidak hanya memangkas harapan hidup, tetapi juga masa depan anak-anak.
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 10.000 kematian dan lebih dari 5.000 pasien rawat inap yang dapat dikaitkan dengan polusi udara setiap tahun di Jakarta. Selain itu, polusi udara juga menyebabkan lebih dari 7.000 dampak kesehatan yang merugikan pada anak-anak, meliputi 6.100 kasus tengkes, 330 kematian bayi, dan 700 bayi dengan kelahiran yang merugikan setiap tahun.
”Total biaya tahunan dampak kesehatan dari polusi udara mencapai sekitar 2.943,42 juta dollar Amerika Serikat,” tulis Syuhada dan tim.
Hasil penelitian ini memberikan bukti saintifik bahwa polusi udara merupakan ancaman utama bagi kesehatan lebih dari 10,5 juta orang di Jakarta. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, konsentrasi PM 2,5 ambien tahunan di Jakarta merupakan yang tertinggi di antara semua pusat perkotaan di Indonesia.
Laporan polusi udara selama 2022 yang dirilis IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss, pada Selasa (14/3/2023) juga menunjukkan buruknya kualitas udara di Jakarta. Pencemaran PM 2,5 harian di Jakarta disebut mencapai 36,2 µgram/m3 dan menempati peringkat ke-20 terburuk di dunia.
Tak hanya Jakarta, jika dirata-rata, menurut IQAir, tingkat konsentrasi PM 2,5 harian Indonesia pada 2022 mencapai 30,4 µgram/m3 dan menempati peringkat tertinggi ke-26. Tingkat polusi udara ini merupakan yang terburuk di Asia Tenggara.
Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara telah menjadi masalah besar bagi Indonesia, terutama di kota-kota besar. Selain Jakarta, kota besar dengan tingkat polusi udara tinggi di Indonesia adalah Surabaya (34,4 µgram/m3), Bandung (26,1 µgram/m3), dan Semarang (24,3 µgram/m3).
Penyakit pernapasan
Besarnya dampak buruk kesehatan akibat polusi udara di Indonesia juga dilaporkan oleh Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Bicara Udara, organisasi yang berfokus pada isu polusi udara di Indonesia. Laporan yang dirilis Selasa (28/3/2023) ini menyebutkan, penyakit respirasi seperti pneumonia, tuberkulosis, asma, kanker paru, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menjadi penyakit dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia.
Faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi ini pun cukup tinggi. Risiko tertinggi adalah PPOK yang mencapai 36,6 persen, pneumonia 32 persen, asma 27,95 persen, kanker paru 12,5 persen, dan tuberkulosis 12,2 persen.
Menurut data BPJS Kesehatan, selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi sangat besar dengan tren meningkat. Perawatan pneumonia menelan biaya Rp 8,7 triliun, tuberkulosis Rp 5,2 triliun, PPOK Rp 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp 766 miliar.
Ketua PDPI yang juga Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto menekankan pentingnya pencegahan dalam upaya mengatasi permasalahan polusi udara. ”Polusi udara terbukti menimbulkan masalah respirasi/paru dan pernapasan,” katanya.
Sebaliknya, tambah Agus Dwi, kualitas udara yang baik adalah kunci bagi kesehatan paru yang lebih baik. ”Upaya pencegahan dengan menurunkan polusi udara harus dilakukan semua pihak sehingga kasus respirasi dapat dikurangi,” ujarnya.
Risiko bagi anak
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 menyatakan bahwa polusi udara adalah salah satu risiko lingkungan utama bagi kesehatan, menyebabkan morbiditas dan mortalitas, termasuk kanker, penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernapasan.
Secara spesifik, laporan WHO pada 2018, ”Air Pollution and Child Health: Prescribing Clean Air”, menyebut polusi udara sebagai ”darurat kesehatan yang diabaikan untuk anak-anak di seluruh dunia”.
Mengacu American Lung Association Children and Air Pollution, anak-anak memiliki risiko khusus dari polusi udara karena organ tubuh mereka, misalnya jantung dan paru-paru serta sistem pernapasan dan kardiovaskular, masih dalam tahap perkembangan. Selain itu, mereka menghirup lebih banyak udara per kilogram massa tubuh karena memiliki tingkat pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa.
Beberapa penelitian menghubungkan polusi udara dengan tengkes (stunting), berat badan lahir rendah, dan kelahiran prematur. Hal ini, misalnya, dilaporkan Vivian C Pun dan tim di jurnal Environmental Science and Pollution Research International pada 2021.
Meta-analisis terhadap 45 studi yang dilakukan di 29 negara menemukan hubungan positif yang signifikan antara bayi kecil untuk masa kehamilan (small for gestational age/SGA)untuk usia kehamilan dan peningkatan paparan PM 2,5 sebesar 10 μg/m3 selama seluruh kehamilan, dengan dampak SGA selama trimester kedua dan ketiga, dan dari kuartil paparan tinggi paparan PM 2,5 selama seluruh kehamilan. Peningkatan risiko stunting pasca-kelahiran sebesar 19 persenjuga dikaitkan dengan pajanan polusi udara rumah tangga pasca-kelahiran.
”Analisis kami menunjukkan bukti yang konsisten, signifikan, dan patut diperhatikan tentang peningkatan risiko hasil kesehatan terkait stunting dengan paparan PM 2,5 ambien dan paparan polusi udara rumah tangga. Bukti ini memperkuat pentingnya mempromosikan udara bersih sebagai bagian dari pendekatan terpadu untuk mencegah stunting,” papar Vivian.
Jelas bahwa polusi udara tidak hanya memangkas harapan hidup, tetapi juga masa depan anak-anak.
Penduduk Jakarta sebenarnya patut berharap adanya perbaikan akibat buruknya kualitas udara dengan dimenangkannya gugatan warga terkait polusi udara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada September 2021, yang kemudian dikuatkan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Oktober 2022.
Lima pejabat negara divonis bersalah atas pencemaran udara di Ibu Kota, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur DKI Jakarta. Dalam putusannya, majelis hakim menghukum kelima tergugat agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan banding (Kompas.id, 16 September 2021). ”Namun, Presiden RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan malah mengajukan upaya kasasi setelah banding mereka ditolak pengadilan tinggi pada November 2022. Itu mengindikasikan arogansi dan sikap abai pemerintah terhadap hak rakyat atas udara bersih,” kata Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.