Kita kerap disuguhi perilaku anggota masyarakat yang ’merasa diri berhak’ sehingga berperilaku sewenang-wenang. Padahal, hal itu merugikan, bahkan membahayakan orang lain.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Memprihatinkan sekali bahwa belakangan ini kita sering disuguhi perilaku anggota masyarakat yang ’merasa diri berhak’. Ketika merasa tidak suka pada sesuatu hal, atau terhalangi untuk memperoleh yang diinginkan, mereka melakukan apa pun yang mereka mau tanpa rasa kasihan dan rasa bersalah. Padahal, hal itu merugikan, bahkan sangat membahayakan orang lain, dan tergolong sebagai perilaku kriminal berat.
Belakangan hal yang ramai dibicarakan adalah kasus anak mantan pejabat (MDS) yang menganiaya D sampai mengalami cedera amat serius dan hingga sekarang masih terbaring di rumah sakit. Ada pula perilaku pengendara motor yang marah karena motornya disalip, lalu menendang motor penyalipnya dan juga mengakibatkan orang lain cedera serius.
Sesungguhnya dalam intensitas yang tidak separah di atas, kita juga dapat menemukan cukup banyak perilaku semena-mena yang ditampilkan anggota masyarakat. Misalnya, orang yang bersengketa soal kepemilikan tanah lalu menutup jalan yang jadi akses satu-satunya bagi masyarakat umum.
Contoh lain, orang marah besar karena diminta menunggu di fasilitas layanan kesehatan. Di media sosial kita juga dapat membaca orang mengeluarkan sumpah serapah berkomentar terhadap apa yang terjadi atau dilakukan oleh orang lain.
Kita bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi, dan mengingat yang sedang kita diskusikan merupakan hal yang sangat kompleks, diperlukan berbagai sudut pandang untuk dapat menghadirkan penjelasan yang komprehensif. Dari perspektif psikologi saja sudah dapat dikembangkan penjelasan yang amat kaya dan bervariasi.
Sebagai contoh, apakah pengalaman masa kanak dari orang itu sebegitu buruknya sehingga ia tumbuh menjadi individu yang penuh kemarahan dan merasa hidup tidak adil? Apakah ia tidak memiliki contoh figur dewasa yang berperilaku welas asih dalam kehidupannya?
Bisa juga sebaliknya, ia terlalu dimanjakan dan permintaannya selalu dituruti sehingga ia tumbuh menjadi orang yang sibuk dengan kepentingan diri sendiri dan tak mampu berempati atas kesulitan hidup orang lain? Lebih lanjut, apakah ia sebenarnya merasa diri kecil yang dikompensasikan dalam perilaku agresif?
Kita belum lagi menggabungkan dengan penjelasan yang lebih besar daripada penjelasan psikologis individual. Misalnya, orang juga berspekulasi bahwa kehidupan yang diperantarai internet telah menghasilkan manusia yang superfisial dan material. Sibuk membanggakan diri melalui capaian bersifat fisik yang terlihat keren dan megah. Misalnya merekam diri mengendarai moge (motor gede) atau naik pesawat kelas bisnis menenteng tas berharga puluhan juta rupiah.
Peran orangtua
Pola asuh dari orangtua mungkin bukan satu-satunya penjelasan. Namun, dalam cukup banyak kasus, bagaimana orangtua membesarkan anak berperan signifikan terhadap karakteristik anak di masa dewasa. Memperlakukan anak sangat keras, mengabaikan, atau sebaliknya, selalu mengiyakan permintaan anak dan membenarkan anak, hanya akan berdampak buruk bagi anak.
Saya menemukan tulisan Monica Foley (2022) yang mungkin bermanfaat bagi orangtua. Ia mengusulkan beberapa strategi. Pertama, dari awal telah menetapkan batas-batas. Anak perlu mendengar kata ’tidak’ bila permintaannya berlebihan atau ketika ia melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Anak perlu belajar bekerja sama dengan orang lain dan berkompromi mengingat orang-orang lain yang ditemui anak juga memiliki kebutuhan dan kepentingan yang harus dihormati.
Kedua, menjelaskan kepada anak mengenai harapan dan konsekuensi. Anak memerlukan arahan sehingga perlu diberi tahu tentang harapan orangtua dan konsekuensinya. Sebagai contoh, ia harus belajar dengan baik dan memperlakukan orang lain dengan baik. Hanya dengan demikian, ia dapat memperoleh barang yang diinginkan di akhir semester.
Memperlakukan anak sangat keras, mengabaikan, atau sebaliknya, selalu mengiyakan permintaan anak dan membenarkan anak, hanya akan berdampak buruk bagi anak.
Ketiga, membagikan tugas rumah bagi anak-anak. Hal ini penting untuk mengajarkan kepedulian, tanggung jawab, kerja sama, dan sikap yang tidak menggampangkan orang lain. Meski ada pekerja rumah tangga, anak seyogianya tetap dibiasakan untuk tidak berperilaku sembarangan, memiliki tanggung jawab, dan juga menghormati orang lain.
Keempat, orangtua secara khusus perlu mengajarkan anak mengenai rasa syukur. Daripada selalu membelikan barang mewah atau mengiyakan setiap permintaan anak, lebih baik membagikan pesan syukur dari orangtua atas hidup dan mengajak anak menemukan rasa syukur atas hal-hal sederhana yang telah dijalani oleh keluarga.
Kelima, mengajarkan nilai penting dari ketekunan dan kerja keras serta tanggung jawab keuangan. Orangtua yang sibuk pamer kemewahan sesungguhnya hanya membuat anaknya jadi menggampangkan segala sesuatu, serta merasa berhak untuk memperoleh yang diinginkan tanpa kerja keras. Anak perlu memahami pentingnya menabung, baik untuk menjaga hidup di masa depan maupun untuk bisa membantu orang lain.
Terakhir, di era teknologi tinggi ini, orangtua mungkin tergoda untuk membelikan saja anak-anaknya berbagai peralatan teknologi tercanggih dan membiarkan mereka sibuk dengan itu (Ini karena orangtua mungkin sudah merasa kelelahan dengan aktivitasnya). Orangtua perlu mengingat bahwa pertemuan tatap muka, kegiatan bersama anak, dan mengobrol dari hati ke hati jauh lebih bernilai. Dari situlah orangtua dan anak dapat lebih saling mengenal dan mengomunikasikan saling kepedulian.
Pada akhirnya, orangtua perlu memberikan teladan. Bila yang dilakukan orangtua adalah sibuk pamer kekayaan, yang (apalagi) ternyata diperoleh secara tidak halal atau melanggar aturan, dan juga mempertontonkan perilaku yang tidak menghormati orang lain, bagaimana kita dapat berharap sang anak mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab?