”Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” mengangkat beragam isu sosial, terutama soal maskulinitas toksik dan dampak buruknya. Maskulinitas toksik menonjolkan aspek sifat maskulin secara berlebih.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Ternyata menjadi lelaki di dunia yang berpihak pada laki-laki bisa melelahkan. Rasa frustrasi atas kegagalan lelaki memenuhi konstruksi sosial tentang identitas diri itu tergambarkan dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Sudah saatnya pemahaman kuno tentang jender direkonstruksi.
“Namanya Ajo Kawir. Ia mungkin tak perlu duitmu. Tapi dia pasti akan senang memiliki alasan untuk berkelahi”
—Iwan Angsa, ayah si Tokek
Berlatar tahun 1980-an hingga 1990-an, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) mengisahkan Ajo Kawir (diperankan Marthino Lio), jagoan kampung yang gemar berkelahi. Kegemaran itu bukan tanpa sebab. Ajo Kawir ternyata impoten akibat trauma masa lalu.
Namun, hidup Ajo Kawir yang penuh petualangan menjadi jungkir balik setelah bertemu Iteung (Ladya Cheryl). Iteung, seorang petarung andal, berhasil merebut hatinya. Sayang, pemuda ini ragu menikahi gadis itu karena masalah impotensi itu.
Di sisi lain, Ajo Kawir juga harus bergulat dengan masalah balas dendam pada Si Macan atas permintaan Paman Gembul (Piet Pagau) dan bersitegang dengan Budi Baik (Reza Rahadian). Ditemani sang sahabat Tokek (Sal Priadi), Ajo Kawir menjalani dinamika hidup.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah film karya sutradara Edwin. Edwin telah memiliki jejak mumpuni dalam perfilman Indonesia. Terakhir, ia memenangkan Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia untuk Posesif, 2017.
Cerita film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Eka Kurniawan, tahun 2014. Dengan cerita yang menarik, film ini melaju ke Locarno Film Festival di Swiss dengan judul bahasa Inggris, Vengeance is Mine, All Others Pay Cash, Agustus lalu. Penghargaan tertinggi, Golden Leopard, berhasil dibawa pulang.
Ini merupakan kali pertama Indonesia meraih Golden Leopard setelah beberapa kali berkompetisi. Negara Asia Tenggara lainnya yang pernah meraih kemenangan di sana baru Filipina dan Singapura. Beberapa sutradara kenamaan lain yang telah membawa pulang trofi ini, antara lain Jafar Panahi, Kon Ichikawa, dan Stanley Kubrick.
Film ini juga telah berkeliling ke lebih dari 30 festival film di berbagai belahan dunia, antara lain Kanada, Jerman, Korea Selatan, Spanyol, dan Inggris. Terakhir, film ini menjadi pembuka dalam Singapore International Film Festival, November lalu.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengangkat beragam isu sosial, terutama soal maskulinitas toksik dan dampak buruknya. Maskulinitas toksik mencakup pemahaman yang menonjolkan aspek sifat maskulin secara berlebihan.
Harga diri laki-laki diukur dalam beberapa aspek, antara lain kekuatan, tidak mengekspresikan emosi, dan kejantanan secara seksual. Dalam masyarakat yang masih menerapkan budaya patriarki, laki-laki yang tidak mampu memenuhi ekspektasi konstruksi sosial tentang maskulinitas itu dianggap ”gagal”.
Ajo Kawir jatuh dalam kategori itu, sayangnya. Alhasil, ia berusaha membuktikan kejantanan sekaligus menyalurkan rasa frustrasinya dengan cara destruktif, yaitu melalui perkelahian. Lewat perkelahian, setidaknya pemuda ini bisa sedikit mendapat kemenangan kecil dalam hidup yang tertekan.
Di sisi lain, Iteung juga harus bergelut dengan masalahnya sendiri sebagai perempuan di dunia laki-laki. Iteung, sebagai korban kekerasan seksual, memilih menjadi petarung agar bisa membela diri.
Bobroknya maskulinitas toksik tergambarkan dari kehadiran Budi Baik. Tidak seperti namanya, karakter ini kerap mengejek saat Ajo Kawir tidak bisa memenuhi tuntutan sosial atau berusaha mendominasi Iteung.
Kisah dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tersaji secara ringan dan seru, bahkan terkadang satire. Koreografi perkelahian diperhitungkan, umpatan terdengar tanpa sensor, dan adegan balap truk di jalur pantura membuat deg-degan. Ajo Kawir, malahan, sering berusaha berkomunikasi dengan ”burung”-nya agar mau bangun.
Agar cerita Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas lebih tersampaikan, pengambilan gambar menggunakan kamera analog dan film seluloid 16 mm, sesuai dengan teknologi era 1980-an. Proses shooting berlangsung 28 hari di Rembang, Jawa Tengah, tahun lalu. Edwin berkolaborasi dengan menggandeng sinematografer Jepang, Akiko Ashizawa.
Normalisasi kekerasan
Impotensi dan perilaku Ajo Kawir berkaitan dengan trauma masa kecil. Oleh dua aparat, dia dipaksa untuk menonton dan berpartisipasi memerkosa Rona Merah di rumahnya sendiri. Rona Merah adalah seorang perempuan kampung yang terganggu secara mental.
Pengalaman itu membuat Ajo Kawir terpukul. Alhasil, dirinya menggunakan kekerasan sebagai langkah alternatif demi menunjukkan kejantanan sekaligus menyalurkan rasa frustrasi. Warga desa, termasuk orang terdekat Ajo Kawir, pun ikut memaklumi kelakuannya.
Kerapuhan Ajo Kawir itu ternyata dimanfaatkan oleh pihak lain. Hal itu terlihat dari kejadian Paman Gembul meminta Ajo Kawir membunuh Si Macan.
Paman Gembul adalah lelaki tua misterius dengan perawakan khas orang berkuasa; mengenakan baju mahal, mengisap cerutu, dan bermobil mewah. Dalam salah satu percakapan, Ajo Kawir sengaja menyapanya dengan sebutan Jenderal yang mengundang reaksi tak nyaman dari Paman Gembul.
Namun, kekerasan Ajo Kawir adalah alegori fenomena yang lebih besar. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas turut menyentil isu kekerasan aparat rezim Orde Baru. Pola perilaku Ajo Kawir, berdasarkan prinsip kausalitas atau sebab-akibat, menunjukkan ia mengalami disfungsi ereksi sehingga melakukan kekerasan.
Apakah konsep itu bisa digunakan jika dikaitkan dengan kekerasan aparat? Bisa saja. Dengan demikian, perilaku kekerasan aparat itu sendiri merupakan hasil dari ketidakmampuan pemegang kekuasaan dalam memerintah.
Sutradara Edwin, di Jakarta, Rabu (17/11/2021), mengatakan, dirinya familiar dengan cerita tentang heroisme dan kejantanan lelaki selama masa kejayaan rezim militer era 1980 hingga 1990-an. Namun, budaya maskulinitas toksik ini ternyata masih terpampang di Indonesia hari ini, di mana masyarakat seharusnya berpikiran lebih terbuka dan demokratis.
”Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi,” kata Edwin, dikutip dari rilis pers.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas fokus mengulik realitas pahit yang masih terjadi di sekitar kita; yakni maskulinitas toksik dan normalisasi kekerasan. Film ini sudah bisa disaksikan di bioskop sejak 2 Desember 2021. Untuk penonton usia 18 tahun ke atas, silakan.