Kekerasan Remaja dan Maskulinitas Toksik
Kenapa remaja laki-laki berkelahi? Bagaimana menghentikan fenomena yang berakar dari budaya patriarki ini?
Mario: Partai ama gua aja, yuk.
David: Enggak, Dan.
Mario: Kenapa?
David: Enggak sepadanlah.
Mario: Lah, ini gua buncit nih.
David: Gua kan kurus kayak begini, Dan.
Cuplikan di atas merupakan percakapan antara Mario Dandy Satrio alias MDS (20) dengan korban David Ozora (17) sebelum terjadi kasus penganiayaan. Percakapan itu terungkap dalam olah TKP dari tersangka, Jumat (10/3/2023).
Ajakan Mario untuk berkelahi, atau yang disebutnya sebagai "partai", merupakan puncak gunung es dari fenomena kekerasan remaja yang umumnya dilakukan oleh laki-laki.
Situasi ini memunculkan pertanyaan: kenapa remaja laki-laki berkelahi? Apa kaitannya dengan maskulinitas toksik atau toxic masculinity? Serta bagaimana menghentikan fenomena yang berakar dari budaya patriarki ini?
Meskipun secara hukum Mario dinyatakan termasuk dewasa, merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ia masih dalam kategori remaja. Lembaga itu mendefinisikan 'Youth' sebagai individu 15-24 tahun yang masih melalui periode transisi dari anak menuju dewasa.
Menurut WHO, setiap tahunnya, sebanyak 200.000 pembunuhan terjadi pada kelompok remaja berusia 10–29 tahun. Sebanyak 84 persen korban pembunuhan remaja adalah laki-laki dan sebagian besar pelakunya juga laki-laki.
Baca juga : Pelajaran Mahal dari Kasus Mario Dandy
Di Indonesia, laki-laki lebih rentan menjadi pelaku dan korban kekerasan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat, hingga Desember 2022 terdapat 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan sebagai pelaku perundungan di sekolah. Korbannya, 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan.
Pandangan dogmatis yang menyebutkan ‘kalau tidak tawuran tidak jantan’ juga membuat angka tawuran dan pengeroyokan tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sepanjang 2021 ada 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antarpelajar atau mahasiswa. Lokasi kasus tawuran pelajar terbanyak ada di Jawa Barat (37 desa/kelurahan), diikuti Sumatera Utara dan Maluku (masing-masing 15 desa/kelurahan).
Streotipe jender
Penelitian Adam Stanaland dari Duke University menunjukkan, ada kaitan antara tekanan sosial, streotipe jender, dan perilaku agresif remaja laki-laki. Hasil penelitian itu diterbitkan dalam Personality and Social Psycology Bulletin (2021). Stanaland meneliti dua kelompok laki-laki dan perempuan, yaitu 195 peserta mahasiswa S1 dan 391 peserta berusia 18-56 tahun.
Tekanan laki-laki untuk membuktikan kejantanan memengaruhi kecenderungan kognisi agresif. Hal ini terutama terjadi pada kelompok remaja di mana mereka memiliki nilai-nilai maskulinitas rapuh.
Peserta diminta mendeskripsikan norma dan peran jender yang mereka pahami. Seorang peserta menjelaskan: “[Menjadi laki-laki berarti] tidak pernah menangis. Tidak pernah menunjukkan emosi. Membuat kekerasan fisik kepada yang mengganggu Anda.”
Setelah itu, peserta mengikuti penelitian kognisi agresif. Dalam riset ini, peserta diminta mengisi huruf yang kosong pada sejumlah kata. Terdapat kata seperti GU_ dan _IGHT. Peserta dengan kecenderungan sikap agresif akan melengkapinya menjadi GUN (senjata) dan FIGHT (berkelahi). Peserta dengan kecenderungan sikap netral akan menuliskan GUM (permen karet) atau RIGHT (benar).
Hasil penelitian itu menunjukkan, tekanan laki-laki untuk membuktikan kejantanan memengaruhi kecenderungan kognisi agresif. Hal ini terutama terjadi pada kelompok remaja di mana mereka memiliki nilai-nilai maskulinitas rapuh.
Baca juga : Kekerasan oleh Remaja dan Gagalnya Pendidikan Keluarga
“Pria yang melakukannya karena alasan eksternal benar-benar ingin menunjukkan kepada Anda, 'Hei, saya maskulin. Lihat saya meninju tembok.' Atau, 'Lihat saya merendahkan kelompok minoritas,” kata Stanaland. Keterbatasan penelitian ini adalah belum memasukkan unsur agama dan isu urban.
Jauh sebelum penelitian Stanaland, peneliti konsep seksualitas dan jender Simone de Beauvoir telah menjelaskan teori seksualitas. Pada awal abad ke-20 ia menjelaskan seksualitas sebagai karakter biologis yang melekat pada manusia, sementara jender merupakan konstruksi sosial. Ketika laki-laki dilekatkan dengan karakter ‘maskulin’, perempuan dilekatkan dengan karakter ‘feminin'.
Serena Suen melalui tulisan ilmiahnya di Hydra: Interdiciplinary Journal of Social Sciences (2013) menyebutkan, dalam konstruksi sosial ini perempuan dengan karakter feminin dipandang sebagai individu lunak dan bergantung pada laki-laki. Sementara laki-laki merupakan individu kuat dan kompetitif. Individu yang tidak memenuhi konstruksi sosial patriarki ini kerap dianggap tidak normal.
Baca juga : Jadilah "Laki-laki Baru", Jangan Takut Tinggalkan Budaya Patriarki
Konstruksi sosial ini membawa dampak buruk seperti adanya maskulinitas toksik (toxic masculinity). Istilah itu diperkenalkan oleh psikolog Shepherd Bliss pada 1990. Komponen inti dalam toxic masculinity adalah seorang laki-laki harus kuat secara fisik, tidak memakai perasaan, dan punya perilaku agresif.
Maskulinitas beracun ini berbahaya karena merugikan tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Misalnya, ini menghambat upaya laki-laki merawat kesehatan fisik dan psikologis. Laki-laki cenderung menyembunyikan perasaan saat memiliki masalah emosi, serta bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri, penggunaan narkotika, dan ketergantungan pada minuman beralkohol.
Stigma maskulinitas ini juga sering didukung budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi istimewa. Laki-laki yang memiliki karakter maskulinitas toksik akan menggunakan keistimewaannya untuk melakukan apa saja termasuk tindakan kekerasan. Dari kasus Mario Dandy, korbannya adalah laki-laki yang berusia lebih muda dan tidak punya kemewahan sebesar pelaku.
Psikolog di Wiloka Workshop Yogyakarta, Lucia Peppy Novianti, menuturkan, faktor pendorong remaja melakukan kekerasan ada beberapa hal, seperti perubahan emosi dan sosial, tuntutan sosial, dan kebutuhan untuk bisa seperti komunitasnya. “Nilai-nilai patriarki yang meminta laki-laki harus tegas dan bersikap jantan itu diinternalisasi remaja dan termasuk dalam proses pembentukan identitas,” kata Lucia di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Baca juga : Siswa dan Mahasiswa Perlu Dibekali Kecakapan Sosial Emosional
Untuk menghentikan kekerasan remaja, menurut Lucia, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengajak remaja untuk berpikir kritis dalam memahami makna maskulinitas. “Misalnya, memahami bahwa bersikap tegas bukan berarti keras,” jelasnya.
Kedua, mengajak anak dan remaja memahami dan menyalurkan emosi, seperti marah, sedih, dan kecewa. Perasaan marah bisa disalurkan dengan cara berteriak atau mencoret-coret kertas. Setelah emosi keluar, ajak anak berbicara mengenai apa yang terjadi. “Proses dialog itu membantu anak memproses emosinya. Bukannya ketika anak marah malah diberitahu agar jangan marah, nanti emosi itu tidak tersalurkan,” katanya.
Maskulinitas rapuh dan beracun mengarah pada agresi dan tindakan kekerasan. Namun, maskulinitas merupakan hasil dari konstruksi sosial. Mengingat ini adalah proses internalisasi nilai-nilai di masyarakat, manusia dapat mempertahankan atau mengubahnya dalam proses interaksi.