RUU Kesehatan menyisakan banyak kekhawatiran bagi penyandang disabilitas. DPR dan pemerintah didesak membuka ruang partisipasi bagi publik dan penyandang disabilitas.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah anggota gerakan Penyandang Disabilitas dan Lanjut Usia Indonesia melintas di trotoar Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, saat memperingati Hari Kursi Roda Internasional 2023, Rabu (1/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan dinilai sangat diskriminatif dan berpotensi memiskinkan penyandang disabilitas. DPR dan pemerintah diminta membuka ruang partisipasi seluas mungkin bagi organisasi penyandang disabilitas serta organisasi penyakit kronis dan langka untuk memberikan masukan terhadap RUU tersebut.
Pasal-pasal yang bersifat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan orang dengan penyakit kronis dan langka dari RUU Kesehatan harus dihilangkan.
Demikian pernyataan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas serta Organisasi Penyakit Kronis dan Langka, Minggu (19/3/2023), menyikapi RUU Kesehatan yang baru ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada pekan lalu. Koalisi tersebut antara lain Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) pusat dan beberapa daerah, SIGAB Indonesia, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, SAPDA, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Gerkatin, dan OHANA.
Bagi kami yang baru membaca drafnya, waktu saat ini tidak cukup menelaah 400 pasal. Seharusnya ruang partisipasi dibuka.
”Pemerintah harus membuka kembali ruang untuk masyarakat berpartisipasi. Seharusnya pemerintah mempublikasikan pasal-pasal apa saja yang akan diatur dengan bahasa yang sederhana, tidak hanya membiarkan publik membaca draf RUU yang mencapai 400 lebih pasal,” ujar Fatum Ade, mewakili Koalisi Penyandang Disabilitas RUU Kesehatan saat membacakan pernyataan pers.
Koalisi Penyandang Disabilitas menemukan ada sejumlah pasal dalam draf RUU Kesehatan per 7 Februari 2023, yang perlu dikoreksi karena sangat diskriminatif bagi penyandang disabilitas. Misalnya, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 135 Ayat (2), dan Pasal 245 Ayat (3) Huruf c, Pasal 104 Ayat (5), dan Pasal 109 Ayat (1).
Pasal 4 Ayat (3) yang mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya.
Pasal 135 Ayat (2) yang mengatur bahwa hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi. ”Pasal itu memosisikan seseorang dengan gangguan jiwa atau kesehatan berpeluang kecil mendapatkan pekerjaan,” ujar Fajri Nursyamsi dari PSHK.
Pasal ini dinilai sangat diskriminatif bagi penyandang disabilitas karena merugikan bahkan berpotensi memiskinkan penyandang disabilitas. Sebab, bukannya mendapatkan akomodasi yang layak dalam lingkup kerja, pasal ini justru akan menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas dalam bekerja.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti pelatihan seni musikalisasi puisi di Gedung Aki Tirem, Pusat Pelatihan Seni Budaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023).
Jika pasal tersebut diterapkan, berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai, bersifat diskriminatif karena melanggar hak atas pekerjaan dan hak atas akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, Pasal 135 juga kontraporiduktif dengan upaya pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan UU lainnya. Bahkan, menegasikan peran negara sebagai pengemban kewajiban dalam memberikan pelindungan hak terhadap warga negara.
Pada bagian lain, Koalisi Penyandang Disabilitas juga menyoroti Pasal 109 Ayat (1) yang mengatur seseorang yang diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa. ”Dalam pasal itu tidak dijelaskan apa fungsi dari pemeriksaan yang dilakukan. Karena jika dilakukan untuk dasar menjadikan seseorang di bawah pengampuan, maka itu adalah praktik pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Fatum.
Fajri mengungkapkan secara prosedur masih memungkinkan rapat dengar pendapat umum di DPR, untuk membuka dialog dengan kelompok disabilitas. ”Bagi kami yang baru membaca drafnya, waktu saat ini tidak cukup menelaah 400 pasal. Seharusnya ruang partisipasi dibuka,” katanya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak berkebutuhan khusus dengan latar belakang papan yang berisi pesan dan kesan di Rumah Terapi Disabilitas Anak, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah, Februari 2022.
Ia juga menambahkan, hal yang paling mengkhawatirkan dalam RUU Kesehatan, ada pencabutan hak dalam Pasal 104 dan persyaratan sehat fisik dan mental, yang mencabut hak pekerja, bagi setiap warga negara. Termasuk yang menentukan kecakapan hukum seorang dengan pemeriksaan kesehatan.
Pada kesempatan tersebut, Salma Paramita dari PJS menyampaikan pengalamannya yang pernah kesulitan mendapatkan pekerjaan karena persyaratan keterangan sehat jasmani dan rohani. Ketika melamar kerja dia tidak lolos tes kerja. Penyebabnya, ia tidak bisa mendapatkan keterangan sehat jasmani dan rohani karena dia penyandang bipolar disorder.
Sangat merisaukan
Ketua Umum PJS Yenny Rosa Damayanti menyoroti sejumlah pasal di RUU Kesehatan yang dinilainya sangat merisaukan penyandang disabilitas, misalnya persyaratan sehat jasmani dan rohani untuk diterima bekerja tidak pernah berada atau diatur di tingkat UU.
”Syarat ini tidak pernah dilegalkan dalam UU. Karena itu, menurut saya ini sesuatu yang mengerikan karena secara legal orang dengan disabilitas mental tidak bisa bekerja,” kata Yenny.
Yenny juga menyatakan soal penilaian kejiwaan seseorang dalam RUU tersebut, terutama terhadap seseorang disabilitas mental juga sangat mengkhawatirkan karena seolah-olah penyandang disabilitas mental yang dinilai tidak mampu melakukan perbuatan hukum bersifat permanen. Padahal, kondisi penyandang disabilitas mental sifatnya episodik.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Penonton disabilitas tuli menikmati konser inklusif harmoni vokal pria Ariera bertema I Want It This Way di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Sabtu (11/3/2023).
Joni Yulianto dari Formasi Disabilitas SIGAP menegaskan, Indonesia memiliki UU No 8/2016 Penyandang Disabilitas. Namun, ada sejumlah hal spesifik terkait dengan kesehatan yang belum cukup diatur dalam RUU Kesehatan tersebut. Padahal, mandat dari UU Penyandang Disabilitas adalah harmonisasi dalam UU Kesehatan, terutama yang terkait layanan kesehatan.
”Namun, itu belum terwakili dalam RUU Kesehatan saat ini. Secara umum, PD (penyandang disabilitas) dalam RUU Kesehatan hanya diatur dalam Pasal 59. Itu pun hanya satu pasal, padahal bagiannya layanan kesehatan bagi PD dan hanya bicara aksesibilitas layanan kesehatan. Ini tentu sangat tidak proporsional dengan harmonisasi tersebut,” kata Joni.
Belum lagi yang terkait isu spesifik terkait kebutuhan deteksi dini, terutama intervensi dini pada anak disabilitas. Faktanya orangtua dengan anak disabilitas yang harus mengupayakan. Dalam RUU ini, sama sekali tidak terbaca.
Sylvia Sumargi dari Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, mewakili komunitas penyakit langka, menyebutkan, diperkirakan 10 persen penduduk suatu negara memiliki penyakit langka. Di Indonesia, diperkirakan 27 juta orang dengan penyakit langka, sebagian besar disebabkan penyakit genetik, sifatnya menahun, dan progresif.
”Karena itu, kami mengusulkan Bab V RUU Kesehatan tersebut memuat ketentuan terkait orang-orang dengan penyakit langka, termasuk uji coba obat baru,” kata Sylvia.