Pentingnya inklusivitas ruang kerja bagi penyandang disabilitas telah lama disadari. Pemerintah dan negara-negara G20 dapat bercermin kepada Jepang yang memberikan ruang yang inklusif kepada penyandag disabilitas.
Oleh
WIDI WIJANARKO
·5 menit baca
Presidensi G20 Indonesia bidang ketenagakerjaan telah menyelesaikan G20 Labour and Employment Ministers Meeting (LEMM) pada 14 September 2022 di Bali. Salah satu dari lima dokumen penting yang dihasilkan pada pertemuan itu adalah Action Plan on Accelerating and Monitoring the G20 Principles for the Labour Market Integration of Persons with Disabilities.
Dokumen tersebut berisi kesepakatan para anggota dalam mengakselerasi kelompok penyandang disabilitas untuk masuk ke pasar kerja yang inklusif. Pemantauan implementasi dan integrasi penyandang disabilitas ke dalam pasar tenaga kerja harus didasarkan kepada indikator yang akan dianalisis dan diajukan oleh International Labour Organization (ILO) dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dilaporkan setiap empat tahun sekali.
Dokumen tersebut selaras dengan salah satu isu prioritas yang dirumuskan oleh Presidensi G20 2022 pada pertemuan KTT G20 di Bali pada 15–16 November 2022, yakni memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Pentingnya inklusivitas ruang kerja bagi penyandang disabilitas memang telah disadari pemerintah jauh-jauh hari.
Kebijakan perlindungan bagi pekerja disabilitas tercantum dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun UU itu masih menggunakan istilah “penyandang cacat”, tetapi istilah ini tidak lagi digunakan sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Orang dengan Disabilitas atau Convention on the Rights People with Disabilities (CRPD) yang disahkan melalui UU No 19/2011.
Lebih lanjut, hak pekerja dengan disabilitas diatur secara terperinci dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 11 UU No 8/2016, yakni bahwa mereka berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, BUMN, atau swasta tanpa diskriminasi; memperoleh upah yang sama dengan pekerja non-disabilitas; memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; mendapatkan program kembali bekerja; penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; memperoleh kesempatan mengembangkan jejaring karier serta hak normatif yang melekat di dalamnya; dan, memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.
Akan tetapi, berdasarkan data BPS 2022, hingga Februari 2022, dari jumlah 17 juta difabel usia produktif, yang bekerja, baik di sektor formal maupun non-formal, baru 7,6 juta orang. Data ini dapat dibandingkan dengan data tahun 2021, bahwa hanya 5.825 penyandang disabilitas yang bekerja di BUMN (1.271 orang) dan perusahaan swasta (4.554 orang). Angka yang sangat kecil dibandingkan dengan persentase luas wilayah negeri ini dan terus meningkatnya jumlah kaum difabel setiap tahun.
Dalam perspektif Jaleswari Pramodhawardani (2022), paradoks ini terjadi karena—sesuai pengaduan masyarakat—banyak berbagai persyaratan dalam seleksi karyawan yang merintangi difabel untuk bekerja dan mencapai jenjang karier tertentu. Ini sejalan dengan pandangan Ida Fauziyah (2021) yang mengasumsikan bahwa rendahnya partisipasi penyandang disabilitas baik di sektor formal maupun informal dipengaruhi oleh beberapa permasalahan, antara lain tidak tersedianya aksesibilitas di lingkungan kerja, kesenjangan sosial, dan pelatihan pendidikan yang tidak inklusif.
Pemerintah Indonesia dan negara-negara G20 perlu mengambil pemantik dari salah satu negara yang paling ramah dalam memberikan ruang yang inklusif dan setara kepada para penyandang disabilitas, yakni Jepang.
Problem-problem ini mesti segera diatasi agar Action Plan on Accelerating and Monitoring the G20 Principles for the Labour Market Integration of Persons with Disabilities dapat terlaksana sesuai harapan. Pemerintah Indonesia dan negara-negara G20 perlu mengambil pemantik dari salah satu negara yang paling ramah dalam memberikan ruang yang inklusif dan setara kepada para penyandang disabilitas, yakni Jepang. Pemerintah Jepang mengatur pemberdayaan disabilitas dalam Shougaisha Koyou no Sokushin nado ni Kansuru Houritsu yang berisi tiga hal penting.
Pertama, setiap perusahaan wajib memenuhi sistem kuota dengan ketentuan (per April 2013) perusahaan swasta 2 persen; kantor-kantor pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, serta perusahaan milik pemerintah 2,3 persen; dan, lembaga pendidikan tingkat perfektur dan kota 2,2 persen. Kedua, bagi perusahaan yang gagal memenuhi sistem kuota tersebut maka dikenai denda sebesar 50.000 yen per bulan per kekurangan (berlaku untuk perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 200 orang).
Ketiga, reward bagi perusahaan yang telah mempekerjakan penyandang disabilitas melebihi kuota sebesar 27.000 yen per bulan per jumlah orang yang melebihi kuota (berlaku untuk perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 200 orang). Sedangkan untuk perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 200 orang mendapatkan 21.000 yen per bulan per jumlah orang yang melebihi kuota. Dana reward ini didapat dari denda pajak perusahaan yang tidak dapat memenuhi sistem kuota disabilitas.
Selain reward, perusahaan yang mampu melebihi kuota tersebut diberi suntikan dana untuk memfasilitasi pekerja difabel. Dana tersebut antara lain untuk pembangunan fasilitas tempat kerja untuk penyandang disabilitas, pembangunan fasilitas kesejahteraan, penempatan asisten untuk pekerja dengan disabilitas (pembaca dokumen, penerjemah bahasa isyarat, dan lain-lain), penempatan job coach, biaya transportasi penyandang disabilitas, biaya pembangunan fasilitas untuk perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas dalam jumlah besar, dan pengembangan keterampilan bagi pekerja penyandang disabilitas.
Alasan pemerintah Jepang menggalakkan pemberdayaan penyandang disabilitas—tidak hanya di lingkungan kerja—tidak lain agar mereka dapat hidup mandiri. Dengan memiliki penghasilan sendiri, mereka dapat hidup sejahtera dengan taraf hidup yang meningkat dan bermartabat. Bahkan pemerintah Jepang menfasilitasi akses di berbagai aspek kehidupan, terutama di ruang-ruang publik. Jepang berhasil mengeluarkan kebijakan yang sangat ketat dan terperinci mengenai khazanah perihal perlindungan dan penghargaan bagi mereka.
Di titik ini, rekomendasi G20 Labour and Employment Ministers Meeting perihal pekerja disabilitas patut mendapat tempat yang khusus dalam forum KTT G20. Agar pandangan masyarakat dunia terhadap kaum difabel tidak lagi diskriminatif, mereka punya hak sama dalam konteks posisi, kerja, dan karya.
Widi Wijanarko, Koordinator Bidang Peningkatan Jejaring dan Uji Coba Model Perluasan Kesempatan Kerja, Balai Besar Perluasan Kesempatan Kerja Bandung Barat, Kemnaker