Pembahasan RUU Kesehatan Harus Berfokus pada Kepentingan Masyarakat
Rancangan Undang-Undang Kesehatan diharapkan bisa dibahas secara terbuka serta memastikan semua pemangku kepentingan terlibat secara bermakna. Pembahasan pun harus berfokus pada kepentingan masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Ratusan tenaga kesehatan melakukan demo tolak RUU Kesehatan Omnibus Law di depan Gedung DPR, Jakarta, akhir November 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Audiensi publik dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Undang-Undang Kesehatan berlangsung secara terbuka. Proses penyusunan tersebut diharapkan mampu melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang kesehatan secara bermakna. Dalam pembahasan pun diharapkan selalu mengedepankan kepentingan masyarakat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, pemerintah telah mendorong program transformasi kesehatan nasional demi perbaikan sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, terutama seusai pandemi Covid-19. Hal tersebut pula yang menjadi dasar dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
”Jadi, apa pun yang kita ubah dan kita tulis dalam perubahan undang-undang (kesehatan) ini harus untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat. Saya garis bawahi di tataran masyarakat, bukan untuk menteri, bukan untuk organisasi profesi, bukan buat dokter, bukan buat rumah sakit, bukan buat apoteker, melainkan buat masyarakat,” katanya dalam acara Audiensi Publik Rancangan Undang-Undang Kesehatan bersama Menteri Kesehatan, di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Dalam pertemuan tersebut hadir perwakilan dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB), Forum Dokter Susah Praktik dan Diaspora, serta Farmasis Indonesia Bersatu. Hadir pula sejumlah pemerhati pendidikan kedokteran, baik secara daring maupun luring.
Itu sebabnya, Budi menuturkan, masukan yang diberikan oleh pemangku kepentingan terkait dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan harus berfokus pada peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam kebijakan yang akan disusun juga akan didorong untuk lebih banyak pada penguatan upaya promotif dan preventif.
Jadi apa pun yang kita ubah dan kita tulis dalam perubahan undang-undang (kesehatan) ini harus untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat. Saya garis bawahi di tataran masyarakat, bukan untuk menteri, bukan untuk organisasi profesi, bukan buat dokter, bukan buat rumah sakit, bukan buat apoteker, melainkan buat masyarakat.
Peningkatan wewenang pemerintah
Ia menambahkan, hal lain yang tidak kalah penting dalam pembahasan RUU Kesehatan ialah penguatan pada peran dan wewenang pemerintah dalam memastikan pelayanan kesehatan di masyarakat. Pemerintah dapat memiliki wewenang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemangku kepentingan lain atas dasar legitimasi yang diakui. Dengan begitu, peran pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pelayanan kesehatan di masyarakat bisa lebih baik.
”Negara harus hadir untuk layanan kesehatan di masyarakat. Misalnya, bagaimana caranya agar jumlah dokter bisa banyak jika surat izin praktik susah didapatkan. Bagaimana juga distribusi dokter bisa merata. Negara harus hadir untuk menyelesaikan itu. Itu sebabnya, negara harus punya kemampuan untuk merespons,” kata Budi.
Pembahasan RUU Kesehatan akan dilakukan dengan pendekatan Omnibus law. Setidaknya ada sembilan undang-undang yang akan dicabut dengan adanya RUU tersebut, antara lain UU No 4/1984 tentang Wabah, UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan UU No 4/2019 tentang Kebidanan.
DOKUMENTASI IDI SUMBAR
IDI Sumatera Barat dan sejumlah IDI cabang menyampaikan pernyataan sikap menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di Kota Padang, Sumbar, akhir November 2022.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDSI Erfen Gustiawan Suwangto menyampaikan sejumlah masukan dalam pembahasan RUU Kesehatan. Masukan tersebut meliputi perlunya penghapusan Pasal 249 Ayat (1) poin C yang tertuang dalam draf RUU Kesehatan. Penghapusan tersebut terkait dengan rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan surat izin praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Selain itu, penghapusan juga diusulkan pada Pasal 324 Ayat (2) yang berbunyi, setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Nama organisasi profesi pun diminta untuk tidak dituliskan.
”Saran kami, jika mau tegakkan etika kedokteran cukup di bawah konsil (Konsil Kedokteran Indonesia) saja. Jadi, tidak perlu mempertahankan organisasi profesi tunggal. Kementerian Kesehatan dan konsil yang akan bertanggung jawab, baik terkait kompetensi dan standar kurikulum (kedokteran),” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mahesa Paranadipa menuturkan, aturan di tingkat global telah menunjukkan adanya standar profesi yang bersifat universal, termasuk terkait kode etik dalam profesi kedokteran. Dokter harus tunduk dan patuh pada satu kode etik. Itu sebabnya, jika ada lebih dari satu organisasi profesi di suatu negara, potensi adanya lebih dari satu kode etik bisa terjadi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melewati spanduk penolakan RUU Kesehatan di Tebet, Jakarta Selatan, akhir November 2022.
”Kalau ada lebih dari satu organisasi profesi bisa saja jika ada dokter yang melakukan pelanggaran etik, ia akan pindah ke organisasi profesi lain untuk menyelamatkan diri agar tidak jatuh pada sanksi etik. Siapa yang akhirnya jadi korban? Ya, masyarakat,” katanya.
Mahesa menyampaikan, asosiasi kedokteran dunia (WMA) pun telah menyatakan bahwa di setiap negara hanya ada satu asosiasi kedokteran nasional. Sejumlah negara lain juga ada yang memiliki lebih dari satu organisasi kedokteran, tetapi itu bukan sebagai organisasi profesi. ”Organisasi kedokteran ini hanya perkumpulan saja dan tidak mengeluarkan kode etik. Keputusan tersebut jangan sampai merugikan masyarakat,” ujarnya.