Disabilitas dan Akses Lapangan Kerja
Penyandang disabilitas adalah subyek yang berdaya dan bukan obyek yang dianggap menjadi beban sosial masyarakat yang perlu dikasihani. Akses lapangan kerja yang setara bagi mereka akan membuat mereka dapat berkembang.
Pada dasarnya tidak ada orang di dunia ini yang tidak mempunyai keterbatasan, pun tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kelebihan. Penyandang disabilitas juga memiliki kedua hal tersebut. Keterbatasan akan membuat seseorang berkembang secara penuh sebagai manusia yang bermartabat jika diri dan lingkungan sosialnya memberikan ruang untuk berkembang.
Tema Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2022 ini adalah ”Solusi Transformatif untuk Pembangunan yang Inklusif: Peran Inovasi dalam Mendorong Dunia yang Adil dan Mudah Diakses”. Kehidupan masyarakat yang inklusif bagi penyandang disabilitas adalah cita-cita dan harapan yang terus-menerus perlu diupayakan bersama.
Di tengah-tengah krisis ekonomi global ini, persoalan akses untuk mendapatkan pekerjaan menjadi tantangan berat bagi angkatan kerja, khususnya para penyandang disabilitas. Pekerjaan yang layak merupakan hak setiap orang agar dapat mengembangkan diri sebagai manusia yang bermartabat.
Baca juga: KTT G20 dan Peruntungan Pasar Kerja Disabilitas
Akses lapangan kerja bagi penyandang disabilitas didasarkan kepada hak kesetaraan mereka dengan warga masyarakat pada umumnya. Ini merupakan jalan menuju inklusi sosial yang bersumber dari konsep martabat (dignity), kesetaraan (equality), dan hak-hak asasi manusia. Pendekatan kesetaraan memberikan dukungan kuat terhadap pemenuhan hak untuk bekerja bagi penyandang disabilitas.
Disabilitas dan pendekatan berbasis hak
Pentingnya inklusivitas sosial tersebut didasarkan kepada pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah subyek yang berdaya dan bukan obyek yang dianggap menjadi beban sosial masyarakat yang perlu dikasihani. Tindakan belas-kasihan (charity) terhadap penyandang disabilitas sering kali hanya tindakan belas-kasihan sukarela seseorang, tidak dipahami sebagai tanggung jawab dan kewajiban. Meski ini bukan hal yang jelek, bahkan ini bisa menjadi tindakan moral, namun belum cukup untuk memahami dan memperlakukan penyandang disabilitas sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan yang lain.
Sering kali penyandang disabilitas dipahami dengan model pendekatan medis (medical model). Pemahaman ini berfokus kepada penemuan masalah daripada pencarian solusi atau jalan keluar untuk mengatasi hambatan penyandang disabilitas. Model pendekatan medis melihat penyandang disabilitas sebagai masalah kesehatan individu yang secara langsung disebabkan oleh penyakit, trauma, atau gangguan kesehatan lainnya yang memerlukan perawatan medis terus-menerus.
Pandangan seperti itu dikritik sebagai pandangan yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai obyek, termasuk obyek belas-kasihan yang tidak memberdayakan. Maka, diusulkan cara pandang baru dalam memahami penyandang disabilitas. Sekarang pemahaman tentang penyandang disabilitas menggunakan pendekatan sosial.
Sekarang pemahaman tentang penyandang disabilitas menggunakan pendekatan sosial.
Jika pendekatan medis semata-mata melihat penyandang disabilitas sebagai masalah medis, yang sering kali menyebabkan penindasan sosial dan hambatan lingkungan, pendekatan sosial memperluas cara pandang kesetaraan berbasis hak, dengan melihat penyandang disabilitas sebagai subyek dan bukan obyek atas dasar konstruksi sosial.
Cara pandang baru ini membuka peluang yang luas terhadap inklusivitas penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, pemahaman model medis membatasi penyandang disabilitas untuk dapat mengakses hak-hak kesetaraan mereka dengan yang lain.
Rannveig Traustadottir menyebutkan beberapa ciri pendekatan model sosial, yakni 1) berfokus kepada lingkungan dan konteks sosial, 2) menekankan relasi antara seorang individu dengan masyarakat, 3) berpusat kepada hambatan sosial, 4) melihat diskriminasi dan prasangka sebagai masalah, dan 4) menghentikan diskriminasi, segregasi, dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi (Rannveig Traustadottir, Disability Studies, the Social Model and Legal Development, The UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities).
Kemiskinan dan kesenjangan
Kemiskinan dan disabilitas saling terkait satu sama lain. Kemiskinan bisa menyebabkan terjadinya disabilitas, misalnya karena kurangnya akses makanan bergizi dan kebutuhan kesehatan. Demikian pula disabilitas dapat menimbulkan adanya kemiskinan jika kurang atau tidak ada akses bagi penyandang disabilitas untuk mengakses lapangan kerja sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dasar mereka.
Menurut Susenas 2020, sebesar 11,42 persen kelompok penyandang disabilitas di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara non-penyandang disabilitas (NPD) yang mengalami kondisi serupa sebesar 9,63 persen. Perbedaan mencolok ini disebabkan oleh timpangnya akses pendidikan yang berimplikasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas. Karena berkebutuhan khusus, penyandang disabilitas cenderung mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam mengakses hak atas pendidikan dan pekerjaan.
Baca juga: KTT G20 dan Peruntungan Pasar Kerja Disabilitas
Menurut statistik pendidikan 2020, ketimpangan rata-rata lama sekolah (RLS) antara penyandang disabilitas dan NPD sangat nyata, yakni masing-masing 4,81 tahun untuk penyandang disabilitas (setara kelas 5 SD) dan 9,02 tahun untuk NPD (setara kelas 10 SMA). Berdasarkan Susenas 2018-2020, capaian pendidikan penyandang disabilitas juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok NDD. Capaian pendidikan setara SMA dan perguruan tinggi (PT) penyandang disabilitas setengah kali lipat persentase dari NPD.
Hal yang sama juga terjadi pada akses terhadap pekerjaan. Beberapa indikator sosial ekonomi menunjukkan bahwa penyandang disabilitas belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan yang diharapkan. Sebagai contoh, 71,4 persen penyandang disabilitas adalah pekerja informal. Ini karena kurangnya akses ke pasar tenaga kerja. Pada 2021, akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas tidak semakin membaik.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, jumlah pekerja dengan disabilitas di Indonesia mencapai 7,04 juta orang atau sekitar 5,37 persen dari total penduduk yang bekerja. Angka tersebut turun dibanding tahun 2020, yakni jumlah pekerja dengan disabilitas mencapai 7,67 juta orang atau 5,98 persen dari total penduduk yang bekerja.
Keluar dari kemiskinan
Negara mempunyai tanggung jawab besar untuk mempromosikan keadilan sosial dan pengurangan kemiskinan dengan menyediakan lapangan kerja yang layak, termasuk kepada penyandang disabilitas. Membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas akan membantu mengurangi kemiskinan karena mereka mendapatkan sumber pemasukan dalam keluarga.
Pekerjaan bagi penyandang disabilitas, seperti halnya juga bagi NPD, adalah hal penting yang tidak hanya menjamin kebutuhan dasar hidup mereka. Ini juga dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka sebagai orang yang bermartabat dan merasa menjadi bagian dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Ada beberapa prinsip utama yang mendasari hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas (Rosdianti, Yeni, Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS), 2017, Vol. 4). Pertama, prinsip kesetaraan struktural-institusional. Prinsip ini diwujudkan dengan adanya penyesuaian atau perubahan struktural dan kultural untuk memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas.
Perlu ada struktur sosial dan kultural yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, perlu ada struktur sosial dan kultural yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam kehidupan masyarakat. Perlindungan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas secara struktural diatur dalam UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-undang ini berupaya menjamin penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Namun sayang, UU ini belum diturunkan dalam bentuk peraturan daerah oleh semua daerah. Per Desember 2021, perda tentang penyandang disabilitas ini baru dibentuk di 109 dari 548 (19,8 persen) daerah di Indonesia.
Kedua, prinsip kebebasan individu. Prinsip ini didasarkan atas pandangan bahwa setiap orang, tanpa pandang bulu, mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebebasan dirinya. Tujuannya ialah untuk memberikan bekal kemampuan dan kapasitas penyandang disabilitas agar memungkinkan mereka dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Pada saat yang sama tidak tertutup kemungkinan perlu bentuk dukungan atau sarana yang memampukan mereka berpartisipasi aktif dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Contoh, agar dapat mengkases informasi dan komunikasi, penyandang disabilitas netra perlu dibantu dengan sarana huruf Braile dalam perangkat telpon atau komputer mereka.
Baca juga: Pendidikan, Jalan bagi Penyandang Disabilitas Menuju Dunia Kerja
Ketiga, prinsip inklusi sosial. Pemerintah, lembaga-lembaga nonpemerintah, lembaga bisnis, dan lembaga-lembaga lain mempunyai peran mengembangkan kemampuan dan ketrampilan penyandang disabilitas agar mereka dapat terlibat penuh dalam pekerjaan mereka.
Peran penguatan kapasitas dan kemampuan ini merupakan upaya dalam memperlakukan penyandang disabilitas setara dengan warga masyarakat pada umumnya. Peran pemerintah penting untuk mewujudkan prinsip ini. Negara bertanggung jawab untuk memfasilitasi penyediaan lapangan kerja dan pelatihan-pelatihan yang mendukung pekerjaan mereka.
Kerja dan martabat disabilitas
Penyandang disabilitas adalah bagian integral dalam masyarakat yang harus selalu dihormati dan diperlakukan setara dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada ketimpangan akses lapangan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Ketimpangan ini tidak hanya mengabaikan inklusi sosial kepada penyandang disabilitas, tetapi juga mengancam hak hidup mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Untuk mengatasi kesenjangan penyandang disabilitas dalam ketenagakerjaan, ILO menyampaikan beberapa rekomendasi dan usulan kepada para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lain yang relevan dengan tema yang kita bahas ini (Tendy Gunawan, Jahen F Rezki, Mapping Workers with Disabilities in Indonesia: Policy Suggestions and Recommendations, Jakarta, 2022). Pertama, pembuatan program dan kebijakan yang berpijak kepada konsep penyandang disabilitas berdasarkan hak-hak asasi manusia.
Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung dan dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
Kedua, meningkatkan akses pada pendidikan menengah dan tinggi, dan pelatihan keterampilan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Ketiga, pentingnya dukungan untuk peran pihak ketiga yang dapat menjembatani pemberi kerja (perusahan) dan pencari kerja dengan disabilitas.
Selain itu, masih ada agenda besar lainnya yang perlu diperjuangkan bersama. Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung dan dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Mengganti perspektif kebijakan yang bersifat karitatif ke arah kebijakan yang inklusif berdasarkan kepada hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial. Menyamakan kesempatan dan inklusi penuh serta partisipasi aktif penyandang disabiilitas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Dan akhirnya perlu mengakui bahwa disabilitas disebabkan oleh faktor fisik maupun faktor-faktor lingkungan sosial.
Selamat Hari Disabilitas Internasional.
Adrianus Suyadi, Direktur Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (KAJ)