Pasca-pemberitaan ”Kompas”, Kementerian PPPA Gelar Rapat Koordinasi
Tim Investigasi harian ”Kompas” mengungkap sejumlah kasus perdagangan anak. Bertolak dari pemberitaan tersebut, pemerintah bersama sejumlah pihak langsung menyusun skema penanganan kasus yang lebih komprehensif.

NT (19), korban perdagangan anak saat ditemui di rumahnya di Subang, Jawa Barat, Kamis (2/2/2023). NT pernah dipaksa menjadi pekerja di salah satu kafe di Gang Royal, Kampung Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara.
JAKARTA, KOMPAS — Skema penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO yang melibatkan anak perlu disusun secara komprehensif. Untuk itu, fungsi gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO yang telah dibentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus dijalankan secara optimal.
Selama dua hari sejak Kamis (9/3/2023) hingga Jumat (10/3/2023), Tim Investigasi harian Kompas mengungkap sejumlah praktik perdagangan anak bermodus seksual komersial dalam 12 laporan pemberitaan. Setelah penerbitan tulisan-tulisan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) melalui Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) langsung menggelar Rapat Koordinasi Pembahasan Kasus TPPO, Jumat (10/3/2023).
Dalam rapat itu, para pemangku kepentingan, seperti Kementerian PPPA, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, P2TP2A Jawa Barat, dan pihak-pihak lainnya membahas tentang skema besar penanganan kasus TPPO dengan korban anak. Menurut Kepala Deputi PKA Kementerian PPPA Nahar, penanganan kasus TPPO membutuhkan peran dari sejumlah pihak.
”Dari hasil pemberitaan Kompas, kita perlu melakukan upaya-upaya komprehensif. Terdapat beberapa upaya dalam skema besar, mulai dari pengawasan, perlindungan, pencegahan, serta rehabilitasi dan reintegrasi,” katanya.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyampaikan skema penanganan kasus TPPO dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Kasus TPPO secara daring, Jumat (10/3/2023).
Dalam hal pengawasan, Nahar menjelaskan, masih terdapat lokasi-lokasi praktik prostitusi anak yang menjadi pekerjaan rumah bersama. Berbagai upaya, seperti penggerebekan dan upaya penegakan hukum lainnya, telah dilakukan. Namun, pada kenyataannya praktik-praktik serupa masih bisa dijumpai.
Nahar menambahkan, pencegahan juga perlu dilakukan di lokasi-lokasi yang telah ditertibkan. Hal itu sebagai bentuk pencegahan agar praktik-praktik di lokasi tersebut tidak beroperasi kembali. Selanjutnya, pencegahan secara daring perlu dilakukan karena praktik prostitusi turut merambah dunia maya, yakni melalui media sosial.
”Dari berita Kompas, kita harus melakukan sesuatu, jangan membiarkannya. Kita juga sudah pernah diskusikan dengan pihak provider dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), tapi kasusnya masih tetap terjadi, sehingga perlu skema baru yang komprehensif. Sering kali, kasus dianggap selesai pada tahap rehabilitasi dan berlanjut tanpa adanya monitoring,” paparnya.
Berdasarkan pemberitaan Tim Investigasi harian Kompas, seorang anak perempuan berinisial TA (16) dijual dan dijadikan pekerja seks komersial di Depok, Jawa Barat, oleh teman sepermainannya melalui aplikasi daring. TA dan temannya beroperasi di sebuah indekos yang juga berisi joki dan pekerja seks lain (Kompas.id, 9/3/2023).
Baca juga: Anak-Anak Perempuan Dijual dan Dilacurkan
Gugus tugas
Mengacu pada Petunjuk Teknis Operasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Kementerian PPPA, gugus tugas terdiri dari 19 kementerian dan lembaga pada taraf nasional, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga 23 satuan kerja dan organisasi perangkat daerah di tingkat provinsi, serta 21 satuan kerja dan organisasi perangkat daerah di tingkat kabupaten/kota.

UNA (16), korban perdagangan anak, menjadi terapis di salah satu panti pijat plus-plus di Jakarta, 25 Februari 2023.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Priyadi Santosa menyebut, pihaknya telah mengoordinasikan setiap anggota gugus tugas. Gugus tugas yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO.
Oleh sebab itu, Kementerian PPPA akan menggelar rapat untuk menindaklanjuti rekomendasi dan skema yang telah diberikan. Priyadi menambahkan, komitmen perlindungan anak telah diatur, baik dalam Undang-Undang maupun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO Tahun 2O2O-2024.
”Kami akan mengagendakan rapat yang lebih detail lagi dengan membahas mengenai bagaimana membuat peran yang lebih nyata. Harapannya kasus ini bisa seperti penanganan stunting yang menjadi perhatian berbagai pihak. Kita mesti jelas bagaimana melakukan langkah konkret,” kata Priyadi.
Biasanya, mereka beranggapan bahwa ’ya udahlah udah gak perawan lagi, sekalian aja’. Di sinilah yang berat, yaitu mengubah pandangan negatif pada diri korban.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menambahkan, perpres tersebut merupakan langkah politis yang seharusnya mengikat seluruh pihak, seperti aparat penegak hukum. Hal itu karena aparat penegak hukum berperan dalam pembongkaran sindikat TPPO sekaligus pemberi jaminan hukum bagi anak yang menjadi korban TPPO.
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, kasus perdagangan dan eksploitasi cenderung menurun dari 1.009 kasus pada tahun 2021 menjadi 708 kasus pada tahun 2022. Walakin, perlu dilakukan klarifikasi lapangan atas penurunan angka kasus tersebut.
Dari data tersebut, Ai menjelaskan, terdapat ekskalasi kasus TPPO, khususnya dengan korban anak. Oleh sebab itu, perlu aksi konkret dengan turun ke lapangan secara langsung untuk mengetahui fakta yang sebenarnya.

Ai Maryati Solihah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
”Kalau dulu mungkin peningkatannya adalah jumlah. Namun, sekarang ini korban sudah tidak memiliki kontrol atas tubuhnya atau terjadinya eksploitasi,” ujarnya.
Eksploitasi tersebut terekam dalam investigasi yang dilakukan Tim Investigasi harian Kompas saat menemui NT (19), korban perdagangan anak di Rawa Bebek, Jakarta. Menurut NT, anak-anak yang sudah lama berada di sana dipaksa melayani minimal 12 pria hidung belang dalam semalam. Jika tidak, mereka akan menjadi sasaran amukan dan bayarannya dipangkas (Kompas.id, 9/3/2023).
Baca juga: Geliat Lorong Prostitusi di Kawasan Ramah Anak
Adanya kasus tersebut mencerminkan bahwa pengawasan perlu dilakukan dengan metode turun langsung ke lapangan untuk memastikan situasinya. Apalagi, sindikat TPPO tidak hanya terjadi secara konvensional dengan tatap muka, tetapi juga terjadi secara virtual melalui media sosial.
Penanganan di daerah
Seperti yang diberitakan oleh Kompas sebelumnya, salah satu lokasi TPPO bermodus seksual komersial anak terdapat di wilayah DKI Jakarta. Kasus tersebut sempat terungkap pada tahun 2020 melalui patroli aparat keamanan satuan tugas Covid-19 yang mendapati pelanggaran pembatasan sosial di Gang Royal.

Dari penggerebekan itu, aparat mendapati sejumlah korban yang masih di bawah umur sehingga mereka diserahkan pada UPT P2TP2A DKI Jakarta untuk menerima asesmen terkait penanganan psikologis dan pemetaan kondisi psikis. Selanjutnya, para korban juga menerima rehabilitasi dan bantuan hukum.
Noridha, tenaga ahli psikologi klinis yang turut menangani kasus prostitusi di Gang Royal, menambahkan, kebanyakan para korban justru mengalami dampak psikologi akibat dibawa ke rumah rehabilitasi. Di sisi lain, para korban juga belum bisa menyadari bahwa dirinya merupakan korban dalam TPPO.
Karakteristik latar belakang para korban anak umumnya berangkat dari motif ekonomi, terpengaruh lingkungan sekitar, hingga terjerumus saat mencari lowongan dari media sosial. Selain itu, ada pula faktor pemicu lain berupa pengalaman kekerasan seksual di masa lalu.
”Biasanya mereka beranggapan bahwa ’ya udahlah udah gak perawan lagi, sekalian aja’. Di sinilah yang berat, yaitu mengubah pandangan negatif pada diri korban,” ujar Noridha.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (kanan) berbicara kepada dua tersangka yang dihadirkan dalam pengungkapan kasus kejahatan perdagangan orang dan perlindungan anak dengan korban tiga anak di bawah umur di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020).
Menurut Noridha, pemantauan korban perlu dilakukan setelah korban direhabilitasi dan dipulangkan kembali ke keluarga. Hal itu karena para korban kebanyakan putus sekolah dan tidak berminat melanjutkan pendidikannya sehingga berpotensi mengakibatkan para korban tersebut terjerumus di kasus yang sama.
Kepala P2TP2A DKI Jakarta Tri Palupi menjelaskan, pihaknya memang telah menangani kasus TPPO di Rawabebek itu sejak tahun 2020. Namun, selama menangani prostitusi di kawasan Gang Royal itu, terdapat sejumlah kendala.
Dalam persidangan, para pelaku diputuskan tidak bersalah. Ini tidak lepas dari adanya praktik mafia hukum. Mereka mendatangi para korban dan memaksa untuk memberikan kesaksian lain.
”Kami dapat perlakuan intimidasi dari pihak lain, seperti diancam dan diteror. Kami memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman. Pihak keluarga korban meminta anak segera dipulangkan dan dibebaskan dari tempat rehabilitasi,” katanya.
Kondisi serupa turut dialami oleh dinas terkait di Provinsi Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan Kompas, kasus TPPO yang melibatkan anak juga terjadi di Indramayu, Jawa Barat. Kepala P2TP2A Provinsi Jawa Barat Anjar Yusdinar menyampaikan, pihaknya menyiapkan program pemulihan psikologis berbasis layanan masyarakat.

WI (15), korban perdagangan anak asal Indramayu, Jawa Barat, saat ditemui di rumahnya, Rabu (1/2/2023). WI pernah dipaksa menjadi pekerja di salah satu kafe di kawasan tambang emas, 99 Ndeotadi, Distrik Bogobaida, Paniai, Papua.
”Ketika ada korban usia anak, kami fokus pada pemenuhan pendidikan. Namun, sama halnya seperti di DKI Jakarta, dukungan keluarga korban juga terjadi di sini. Banyak keluarga yang memaksa anaknya pulang karena anggapan mereka bahwa rehabilitasi adalah hukuman. Saat rehabilitasi, mereka juga sering tidak melanjutkan prosesnya,” ucap Anjar.
Faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya TPPO berawal dari keluarga. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki program motivator ketahanan keluarga. Namun, lanjut Anjar, hal itu belum optimal lantaran ketimpangan antara jumlah tenaga lapangan dan jumlah penduduk di Jawa Barat yang lebih banyak.
Menurut Anjar, penduduk Jawa Barat paling sering menjadi korban dalam kasus TPPO. Berdasarkan laporan yang diterima, mayoritas mereka adalah anak yang memiliki riwayat sebagai korban kekerasan. Selain itu, perkawinan dan perceraian dini turut menambah variabel TPPO yang disebabkan oleh pencarian pekerjaan.
Baca juga: Ragam Mucikari: Mulai dari Mami hingga Joki
Permasalahan selanjutnya ada pada penegakan hukum. Hal ini disampaikan oleh Child Protection Specialist Yayasan Bahtera Faisal Cakra Buana. Menurut Faisal, dari 400-an kasus TPPO yang dilaporkan, hanya tiga kasus yang sampai ke meja hijau.
”Contohnya di Palembang. Dalam persidangan, para pelaku diputuskan tidak bersalah. Ini tidak lepas dari adanya praktik mafia hukum. Mereka mendatangi para korban dan memaksa untuk memberikan kesaksian lain. Jadi, percuma upaya pencegahan dilakukan kalau penegakan hukumnya lemah," ujarnya.