Perjuangan Panjang Kartika dan Perempuan Migran Korban TPPO…
Kekerasan yang dialami perempuan pekerja migran Indonesia di berbagai negara terjadi dari tahun ke tahun. Kehadiran negara penting untuk melindungi mereka, termasuk memastikan adanya pemulihan saat pulang ke Tanah Air.
Sekitar 12 tahun yang lalu, Kartika Puspitasari (40), warga Desa Kedung Wadas, Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah, terpaksa memutuskan berangkat ke Hong Kong. Padahal, bayinya baru berusia sebulan. Ia tak punya pilihan. Sebab, setelah melahirkan, dia tak mampu bayar biaya persalinan di klinik karena suaminya meninggal saat usia kandungannya sekitar 5 bulan.
Biaya persalinan sekitar Rp 500.000 tidak mampu dia lunasi. Maka, ketika ada orang yang menawarkan untuk bekerja sebagai pekerja migran di Hong Kong, dia pun tidak berpikir panjang lagi. Apalagi, dia tidak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk pergi ke Malaysia.
Meskipun gaji tujuh bulan pertama tidak akan diterimanya karena langsung diambil oleh perusahaan yang memberangkatnya (sebagai ganti semua biaya saat dia berangkat), Kartika bersemangat berangkat. Dia dijanjikan setelah bulan ke delapan akan mendapat gaji penuh 3.580 dollar Hong Kong (setara Rp 4 juta).
”Saat berangkat, saya bilang ke klinik, kalau saya berhasil kerja nanti, saya bayar utangnya,” kata Kartika, Senin (6/3/2023), seusai temu media yang digelar Human Rights Working Group (HRWG), Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Beranda Perempuan, dan lembaga yang mendampingi kasus pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri.
Saat berangkat saya bilang ke klinik, nanti kalau saya berhasil kerja, saya bayar utangnya.
Kartika tidak menyangka keputusannya berangkat ke Hong Kong menjadi PMI justru akan membawa petaka baginya, bahkan hampir merenggut jiwanya. Awalnya, selama tiga bulan pertama, ia bekerja di sebuah keluarga dengan tiga anak kecil.
Hanya dalam tiga bulan, majikannya pun mulai berubah kasar. Penyiksaan demi penyiksaan dialaminya. Agar Kartika tidak pulang Indonesia, majikannya membuang semua barang-barang, termasuk pakaian dan dokumennya.
Selama lebih dari 2 tahun ia mengalami kekerasan fisik dan psikologis, tidak pernah digaji dan tidak diberi libur atau uang libur. ”Saya hanya diberi makan tiga kali seminggu, berupa bubur sisa dari rumah sakit tempat majikan perempuan bekerja, hanya boleh minum air keran atau toilet. Saya mandi di toilet umum. Itu pun tanpa sabun, sampo, dan sikat gigi,” tutur Kartika.
Perlakuan majikan semakin menjadi-jadi saat mereka pindah rumah. Dia pernah tidur dalam posisi diikat di kursi, tanpa makan dan minum selama sepekan, ketika majikannya pergi ke Thailand. Mulutnya ditutupi masker berlapis-lapis supaya suara tidak terdengar.
Baca Juga: Perempuan Pekerja Migran Indonesia Sangat Rawan Jadi Korban Kekerasan
Di musim panas dan dingin, majikan menyuruhnya memakai plastik sampah sebagai pengganti baju dan dipakaikan popok dewasa supaya tidak buang air sembarangan saat terikat. Kartika juga dipukul menggunakan rantai sepeda, sepatu, dan tangan.
”Saat itu, saya putus asa tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak punya teman, tidak bisa menghubungi siapa pun dan disiksa setiap hari. Saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan,” papar Kartika dalam jumpa pers, Selasa (7/3), dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional (Womens Day 2023).
Ketika harapannya hampir sirna, pada Oktober 2012 Kartika yang terkurung melihat pintu kamar mandi terbuka, ternyata majikan laki-laki lupa mengunci pintu karena buru-buru mengantar anak sekolah dan majikan perempuan pergi bekerja.
Dia pun langsung melarikan diri. Di jalan, dia bertemu seorang PMI yang kemudian mengantarnya ke kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Hong Kong. ”Saya bersyukur bisa keluar dari rumah itu masih dalam keadaan hidup. Saya pikir akan mati di sana,” ungkap Kartika dengan mata berkaca-kaca.
Kasus Kartika akhirnya dilaporkan ke polisi Hong Kong dan pada 2013, dalam persidangan, pasangan majikan dinyatakan bersalah dan dihukum penjara, masing-masing 3,5 tahun (Ta Chi Kwai) dan 5,5 tahun (Catherine Au Yuk-Shan).
Setelah peradilan pidana, Kartika sempat dibantu agen di Hong Kong untuk mengajukan ganti rugi di pengadilan tribunal, tetapi dia kalah. Oleh agen, dia hanya dapat dana sebesar 5.000 dollar Hong Kong. Namun, ia tidak pernah menerima uang tersebut. Pada 2014, dia dipulangkan ke Indonesia tanpa membawa uang sepeser pun.
Belakangan, dia dibantu tim Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong-Macau dan D Mission for Migrant Workers (MFMW) menuntut kompensasi.
Pada bulan lalu, Jumat (10/2), Pengadilan Hong Kong menerima gugatan kompensasinya, menyatakan Kartika mendapatkan kompensasi 1,2 juta dollar Hong Kong termasuk yang sudah dibayar perusahaan asuransi 350.000 dollar Hong Kong.
Namun, hingga kini dia belum menerima dana tersebut. Ia membantah pemberitaan media yang menyebutkan dia sudah mendapatkan dana Rp 1,6 miliar.
Karsiwen (43), dari Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) yang sejak tahun 2015 mendampingi Kartika setelah dipulangkan dari Hong Kong, menyampaikan, saat pulang ke Indonesia, luka di tubuh Kartika belum sembuh, ia juga masih sangat trauma.
Baca Juga: Perlindungan Perempuan Pekerja Migran Harus Dimulai dari Desa
Kartika hanyalah satu dari ribuan perempuan migran yang pulang dari berbagai negara dengan menghadapi masalah. Erwiana Sulistyaningsih (32), dari Beranda Migran, yang menjadi korban penyiksaan majikan saat bekerja di Hong Kong, juga mengalami nasib sama: tak kunjung menerima dana kompensasi meski perkara telah diputus di pengadilan.
Semenjak 2015, Kabar Bumi telah mendampingi lebih dari 200 perempuan migran yang pulang ke Tanah Air, mayoritas dari mereka adalah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Harapan kami supaya pemerintah benar-benar melindungi, memperjuangkan hak kami ketika kami mendapat masalah, bagaimana mengakses mekanisme mendapatkan keadilan, maksimal dalam melindungi.
Perlindungan
Ketua International Migrants Alliance (IMA) dan Juru Bicara JBMI Eni Lestari berharap Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan terhadap PMI di semua negara. Kasus kekerasan terhadap perempuan PMI yang berulang menunjukkan gagalnya skema perlindungan terhadap perempuan PMI di sektor domestik.
Sejauh ini, meski sudah ada beberapa perbaikan, seperti percepatan pembuatan paspor, dan ada gugus tugas Pemerintah Indonesia dan Hong Kong, PMI membutuhkan dukungan yang lebih dari itu, terutama saat bermasalah. Bagaimana bisa menuntut perusahaan pengirim/penyalur.
Selama ini susah menuntutnya. Jadi, pelanggaran berulang terus.
Direktur Eksekutif HRWG Daniel Awigra menegaskan, negara bertanggung jawab penuh atas perlindungan hukum dan jaminan hak atas pemulihan untuk seluruh perempuan pekerja yang menjadi korban kekerasan. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia harus memimpin kawasan untuk pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia berfokus pada hak atas pemulihan untuk korban.
Berulangnya kasus yang dialami Erwiana dan Kartika menggambarkan komitmen bahwa negara akan hadir bagi warga negaranya sebatas jargon. Kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) seharusnya memberikan perlindungan optimal terhadap PMI.
Terkait perlindungan kepada PMI, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Nahe’i, menyatakan situasi pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir tiga tahun memperburuk situasi kerentanan PMI dari berbagai kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi. Negara seharusnya hadir memberikan hak-hak mereka, termasuk perjuangan mereka mendapat keadilan.
Lemahnya perlindungan terhadap PMI, menurut Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, karena cara pandang pemerintah terhadap pekerja migran sampai sekarang masih melihat mereka bukan sebagai warga negara yang utuh, melainkan memandang mereka dalam perspektif cost and benefit.
Penghargaan atau pemberian fasilitas terhadap pekerja migran itu selalu dikaitkan dengan posisinya sebagai pengirim remiten.
Cara pandang cost and benefit ini sebenarnya melihat pekerjaan migran itu hanya secara ekonomistik.
Perhatian negara
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Judha Nugraha menegaskan, sesuai ketentuan yang berlaku, Kemenlu dan Perwakilan RI bertanggung jawab memberikan pelindungan terhadap setiap WNI di luar negeri.
Selama tahun 2022, Kemenlu dan Perwakilan RI di luar negeri telah menangani 35.149 kasus yang dihadapi WNI di luar negeri, termasuk PMI. Dari total kasus tersebut, 30.894 di antaranya telah berhasil diselesaikan.
Di Hari Perempuan Internasional, Judha menegaskan, menyelesaikan setiap kasus yang muncul di luar negeri merupakan prioritas Kemenlu.
”Namun, dalam perspektif jangka panjang dan holistik, membangun jalur migrasi aman dari hulu ke hilir bagi PMI, khususnya perempuan, perlu menjadi fokus bersama dan kerja bersama dari seluruh pemangku kepentingan,” tutur Judha.