Iuran BPJS Berpotensi Naik, Pengusaha Minta RUU Kesehatan Ditinjau
Apindo melihat ada potensi kenaikan iuran BPJS Kesehatan jika RUU ”omnibus law” Kesehatan disahkan. Selain itu, pelayanan kesehatan juga terancam menurun dan independensi BPJS Kesehatan terganggu.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
Warga peserta BPJS mengurus berkas untuk mendapatkan layanan kesehatan di RSUD Kota Yogyakarta, Umbulharjo, Yogyakarta, Senin (24/8/2020). Mulai Juli 2020, pengguna layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu berangsur naik 20 persen dibanding saat awal pandemi Covid-19 mulai merebak.
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan kluster jaminan sosial dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan demi menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak memberi beban tambahan bagi pekerja dan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Keberadaan kluster jaminan sosial dalam RUU dengan metode omnibus law ini dianggap melenceng dari kewenangan Kementerian Kesehatan.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Budi Santoso Sukamdani menjelaskan, dunia usaha khawatir iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dibebankan lagi kepada pekerja dan pemberi kerja akan naik. Sebab, dalam RUU ini, BPJS Kesehatan disebut juga harus melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kemenkes yang berpotensi membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS.
Padahal, hal tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang BPJS Nomor 24 Tahun 2011. DJS BPJS yang bersumber dari pemerintah melalui program Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan iuran peserta seharusnya digunakan sepenuhnya untuk peserta sehingga tidak bisa digunakan oleh Kemenkes. Tugas-tugas kementerian sudah mendapatkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
”Kalau pemerintah berargumen DJS ini berasal dari APBN bukan berarti pemerintah dapat melakukan penugasan kepada BPJS. Ini harus dipilah karena BPJS itu, selain dari PBI, mayoritas itu adalah dari masyarakat yang bayar. Jadi pekerja atau penerima upah itu ikut iuran, jadi bukan dari APBN saja,” kata Haryadi dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Tenaga kesehatan yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melakukan demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Hal ini, menurut Apindo, bertentangan dengan salah satu dari sembilan prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam mengelola dana amanat. Salah satu prinsip itu adalah DJS yang merupakan kumpulan dana iuran peserta dan dana titipan kepada BPJS perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Selain itu, Apindo berpandangan, RUU Kesehatan juga berpotensi mengancam kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta karena dalam RUU ini BPJS Kesehatan akan diwajibkan menerima kerja sama dengan fasilitas kesehatan yang telah memenuhi perizinan. Hal ini membatasi peran BPJS untuk menyeleksi faskes yang memenuhi standar pelayanan.
”Akibatnya, faskes potensial tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan,” tutur Haryadi.
Tata kelola BPJS juga disebut akan berubah akibat RUU Kesehatan ini mengancam kemandirian BPJS Kesehatan karena pertanggungjawaban BPJS bukan lagi langsung ke presiden, melainkan ke menteri kesehatan. Hal ini berpotensi memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien.
”Nampaknya kalau diklustering seperti ini, Kementerian Kesehatan seperti membonsaikan BPJS Kesehatan seperti BUMN. Dia bisa menentukan siapa dewan pengawas dan direksi. Ini jauh dari independensi. Menurut kami, ini pelanggaran secara sistemik,” tambah anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Soeprayitno.
Dalam RUU ini, BPJS Kesehatan disebut juga harus melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kemenkes yang berpotensi membebani Dana Jaminan Sosial BPJS.
Menurut Soeprayitno, jika pemerintah ingin membenahi sistem BPJS Kesehatan, yang direvisi adalah UU BPJS atau melalui omnibus law jaminan sosial, bukan omnibus law kesehatan. Kementerian Kesehatan juga diminta fokus pada kewenangannya meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang merata di Tanah Air.
Wacana pembentukan panitia seleksi dewas dan direksi BPJS yang langsung diusulkan oleh menteri kesehatan ke presiden dalam RUU Kesehatan ini juga dinilai akan mengganggu independensi BPJS. Soeprayitno beranggapan, panitia yang selama ini diusulkan oleh DJSN tidak perlu diubah karena sudah melibatkan pemberi kerja, pekerja, pemerintah, dan tokoh masyarakat atau ahli sebagai representasi masyarakat umum.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi (kedua dari kiri) menyerahkan laporan hasil pembahasan Prolegnas kepada Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus (kanan) dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (15/12/2022).
RUU Kesehatan kini telah disepakati untuk dibahas lebih lanjut sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 di Jakarta, Selasa (14/2/2023) lalu. Delapan fraksi sepakat dan satu fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak. Komisi IX DPR pun sudah ditugaskan merancang bersama dengan pemerintah.
”RUU ini masih sangat terbuka atas semua masukan, silakan Apindo atau siapa saja memberi masukan baik ke kami DPR atau ke pemerintah, nanti bisa disampaikan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) ketika pembahasan dimulai,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi Achmad Baidowi, Selasa.
Adapun UU yang akan masuk pembahasan RUU Kesehatan, antara lain, UU Nomor 4/1984 tentang Wabah, UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 4/2019 tentang Kebidanan, dan UU No 38/2014 tentang Keperawatan.
Selain Apindo, sejumlah organisasi masyarakat, seperti Muhammadiyah dan organisasi profesi, juga telah mengeluarkan pernyataan akan menolak RUU Kesehatan. Beberapa organisasi profesi itu meliputi Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Forum Masyarakat Peduli Kesehatan, dan Persatuan Perawatan Nasional Indonesia.