Pembahasan RUU Kesehatan Diminta Tidak Terburu-buru
Pembahasan RUU Kesehatan dinilai terlalu terburu-buru dan tidak terbuka. Pelibatan sejumlah pihak terkait amat diperlukan agar tidak terjadi disharmonisasi dan konflik dengan aturan lain.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
DEONISIA ARLINTA
Perwakilan sejumlah organisasi masyarakat dan organisasi profesi menyuarakan kritik terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dalam konferensi pers bersama bertajuk “Catatan Kritis terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan” yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (7/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi masyarakat dan organisasi profesi kesehatan mendesak agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dilakukan secara terbuka dan tidak terburu-buru. Rancangan undang-undang yang disusun dengan metode omnibus law tersebut berdampak kepada masyarakat luas sehingga pembahasannya pun harus melibatkan pihak-pihak terkait.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo menyampaikan, Rancangan Undang-Undang Omnibus Kesehatan akan berpengaruh luas terhadap bidang kesehatan. Hal tersebut juga akan menyangkut kepentingan masyarakat di Indonesia. Itu sebabnya, pihak-pihak terkait perlu dilibatkan dalam pembahasan aturan tersebut.
”Sebaiknya, RUU Kesehatan tidak dibahas dan dikeluarkan dari prolegnas (program legislasi nasional). Kami paham konsep yang ada akan berdampak kepada masyarakat luas sehingga jika RUU itu akan dilanjutkan perlu melibatkan semua pihak. Jangan pula aturan ini dipaksakan,” ujarnya dalam konferensi pers bersama bertajuk ”Catatan Kritis terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan” yang diadakan PP Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (7/2/2023).
Sebaiknya RUU Kesehatan tidak dibahas dan dikeluarkan dari prolegnas (program legislasi nasional).
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Tenaga kesehatan memasang spanduk aksi di mobil komando saat aksi demo tolak RUU Kesehatan omnibus law di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin (28/11/2022). Demo digelar untuk mendesak anggota DPR untuk mencabut RUU Kesehatan omnibus law dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di tahun 2023.
Dalam acara tersebut sejumlah organisasi masyarakat dan organisasi profesi kesehatan turut menyuarakan pandangannya soal pembahasan RUU Omnibus Kesehatan. Organisasi tersebut ialah PP Muhammadiyah, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia, Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Forum Peduli Kesehatan.
Menurut Trisno, metode omnibus law dalam penyusunan RUU Kesehatan digunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak dari aturan tersebut. Jika RUU Kesehatan dibahas dengan mengabaikan partisipasi publik serta tidak bersifat partisipatif, aturan yang dihasilkan dikhawatirkan berpotensi menimbulkan disharmoni dan konflik dengan aturan lain.
Merujuk draf RUU Kesehatan yang beredar, ia mengatakan, aturan tersebut secara mendasar telah mengubah filosofi kesehatan yang ditujukan sebagai layanan dalam pemenuhan hak masyarakat. RUU tersebut justru kini membuat layanan yang diberikan lebih menjadi kegiatan industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi bisnis.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melewati spanduk penolakan RUU Kesehatan di Tebet, Jakarta Selatan, Junat (25/11/2022). Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disusun dengan menghimpun sejumlah regulasi atau omnibus law masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2023. Namun, sampai saat ini penyusunan RUU ini tidak pernah melibatkan organisasi profesi kedokteran.
”RUU Kesehatan juga patut diwaspadai sebagai bentuk melayani kepentingan bisnis oligarki tertentu yang sudah lama menguasai jaringan bisnis di bidang kesehatan. Akibatnya, kepentingan masyarakat akan dikorbankan,” ucap Trisno.
Ketua Biro Hukum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Paulus Januar menuturkan, RUU Kesehatan turut mengatur profesi kesehatan. RUU itu akan mengatur ulang organisasi prosfesi tanpa ada pelibatan dari organisasi profesi yang terkait. Aturan yang termuat pun tidak mencerminkan kemandirian organisasi profesi dan justru mengabaikan peran organisasi profesi.
”Hingga saat ini kami belum pernah menerima DIM (daftar inventarisasi masalah) dan naskah RUU Kesehatan secara resmi. Kami lihat ini akan berdampak pula terhadap pelemahan organisasi profesi jika peran organisasi profesi diambil alih ke Kementerian Kesehatan,” tuturnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Moh Adib Khumaidi mengatakan, munculnya RUU Kesehatan dapat berdampak pada tiga unsur esensial dalam pelayanan kedokteran, yakni kemanusiaan, keamanan pasien, dan kesejahteraan. Itu sebabnya, aturan yang amat penting tersebut harus dibahas secara komprehensif dan tidak terburu-buru. Aturan yang disepakati perlu dipertimbangkan secara hati-hati agar tidak merugikan masyarakat luas.
Atas dasar itulah, Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyampaikan agar pembahasan RUU Kesehatan ditunda terlebih dahulu. ”Naskah akademik RUU ini juga belum siap sehingga jangan sampai dirumuskan secara tergesa-gesa,” katanya.