Kolaborasi Lintas Sektor Dibutuhkan untuk Atasi Masalah Sampah
Penanganan sampah tidak dapat dilakukan satu pihak, tetapi mesti melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor. Selain pemerintah, perlu juga peran organisasi masyarakat sipil dan swasta.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Warga melihat sampah yang tersangkut di Pintu Air Manggarai, Jakarta, awal Januari 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi pemangku kepentingan lintas sektor dibutuhkan untuk menangani masalah sampah di Indonesia. Kolaborasi diharapkan menghasilkan solusi inovatif. Itu sebabnya ruang pertemuan para pemangku kepentingan mesti diperluas.
Adapun program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) menyediakan kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk bertemu dan berkolaborasi. Program ini diinisiasi Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB) dan berlangsung sejak 2021. CCE dapat diikuti oleh perusahaan rintisan atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang lingkungan.
Peserta program dapat menyerahkan proposal proyek, kemudian dikurasi oleh penyelenggara. Peserta terpilih akan menerima pelatihan dari mentor di berbagai bidang untuk mengembangkan proyek. Peserta juga didorong bekerja sama dengan pihak lain.
Selain itu, peserta juga mendapat akses pendanaan untuk mengimplementasikan proyek itu. Adapun CCE kembali diadakan pada 2023.
”Kali ini kami fokus untuk menyelesaikan masalah sampah melalui penerapan ekonomi sirkular di kawasan pariwisata nasional. Kami percaya ekonomi sirkular berperan besar untuk menyelesaikan masalah sampah. Ini juga berkontribusi ke penurunan emisi karbon,” kata Ketua YABB Monica Oudang secara daring, Rabu (15/2/2023).
TANGKAPAN LAYAR
Suasana diskusi bertajuk Bebas Hambatan Menuju Bebas Sampah serta peluncuran program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) yang diinisiasi Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB), Rabu (15/2/2023), secara daring.
Berdasarkan data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), timbulan sampah laut mencapai 36.503 ton pada 2020. Dari jumlah itu, sampah yang tidak tertangani 29.798 ton dan yang tidak terkelola 7.032 ton.
Sementara itu, timbulan sampah darat mencapai 71,8 juta ton. Sebanyak 23 juta ton di antaranya tidak tertangani, 42 juta ton sampah terkurangi, dan 5,9 juta ton sampah tidak terkelola.
Sampah yang tidak terkelola dikhawatirkan mencemari laut.Di sisi lain, banyaknya sampah di tempat pemrosesan akhir akan menimbulkan gas metana yang berkontribusi ke peningkatan emisi gas rumah kaca.
Sampah yang tidak terkelola dikhawatirkan mencemari laut. Sebab, sebagian sampah laut berasal dari aktivitas manusia di darat. Di sisi lain, banyaknya sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) akan menimbulkan gas metana. Gas tersebut berkontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca.
Menurut perwakilan Think Policy, Mahawira Singh Dillon, kolaborasi dibutuhkan untuk mengatasi masalah. Namun, penyelesaiannya mesti didahului identifikasi masalah secara mendalam. Tanpa itu, penyelesaian masalah bisa tidak tepat sasaran atau tidak berkelanjutan.
”Kita sering fokus ke ’gejala’ karena itu yang paling dirasakan. Misalnya, kita fokus mengatasi demam, padahal penyebab demam bisa berbeda-beda,” kata Mahawira. ”Di masalah ini, sampah adalah gejala, bukan masalah. Masalah sebenarnya dari sampah adalah penggunaan bahan bakar dan bahan dasar yang tidak efisien,” paparnya.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Produksi sampah di Jakarta selama Ramadhan 2019 meningkat dibandingkan pada 2018. Sisa makanan mendominasi sampah yang masuk ke TPA Bantargebang, Bekasi.
Praktik lapangan
Adapun organisasi pemuda di Lampung, Gajahlah Kebersihan, menginisiasi Proyek Pasaran Wawai di Pulau Pasaran, Bandar Lampung, pada 2022. Proyek ini fokus ke penanganan dan pengolahan sampah di pulau tersebut.
Co-founder Gajahlah Kebersihan Dicky Dwi Alfandy mengatakan, dulu, pulau tercemar oleh sampah sehingga memengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi warga yang mayoritas adalah nelayan dan pengolah ikan. Para nelayan kesulitan mendapat ikan sehingga mesti melaut ke tempat yang jauh. Selain memakan waktu dan energi, nelayan mesti mengeluarkan lebih banyak uang untuk bahan bakar perahu.
”Pengunjung yang mau membeli hasil laut di kampung itu juga jadi ragu. Sebab, mereka lihat kondisi pulau tercemar,” ucap Dicky yang juga peserta CCE.
Proyek Pasaran Wawai lantas dirancang untuk melakukan edukasi dan pemberdayaan masyarakat tentang pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Para ibu di kampung juga diajak untuk mengolah sampah. Sampah bernilai rendah, seperti kantong plastik dan sachet, diolah menjadi roster.
Sampah juga dikumpulkan ke beberapa titik yang tersebar di kampung. Dicky menambahkan, ia bekerja sama dengan perusahaan rintisan lain untuk mengangkut sampah dari pulau.
FRANSISKUS PATI HERIN
Sampah di tempat pembuangan sampah sementara meluber hingga ke badan Jalan Tompelo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (12/12/2021).
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo mengatakan, mengatasi masalah sampah mesti sistematik dan kolaboratif. Penyelesaian masalah juga mesti disesuaikan dengan kondisi setiap daerah.
”Kami melihat bahwa kesadaran dan keterlibatan publik penting di isu lingkungan. Maka itu, mesti dilakukan sosialisasi pengurangan konsumsi sampah plastik, kegiatan daur ulang, dan bersih-bersih lingkungan secara rutin agar publik punya rasa memiliki yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan, utamanya di daerah wisata,” tutur Angela.