Gangguan kecemasan bisa menimbulkan serangkaian gejala yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Karena itu, tanda klinis masalah itu perlu dideteksi sejak dini.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·5 menit baca
Kecemasan merupakan bagian normal kehidupan. Banyak orang merasa cemas pada beberapa titik kehidupan, seperti saat menghadapi ujian penting, ada kabar buruk tak terduga, dan mengalami masalah seperti kesehatan, uang, ataupun keluarga. Bagi orang dengan gangguan kecemasan, perasaan itu bisa berulang dan bertambah parah.
Secara bertahap, gangguan kecemasan berkembang dan dapat dimulai kapan saja dalam siklus hidup. Gejalanya bisa mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti performa kerja, tugas sekolah, dan relasi sosial. Ada beberapa jenis gangguan kecemasan, termasuk kecemasan umum, rasa panik, kecemasan sosial, dan gangguan terkait fobia.
Sejauh ini sulit mengidentifikasi penyebab gangguan kecemasan. Menurut situs Anxiety.org, faktor risiko yang berkontribusi termasuk genetika, kimia otak, dan trauma. Individu yang pernah mengalami stres jangka panjang, ketidakseimbangan kimiawi, ataupun riwayat kecemasan dalam keluarga berisiko terkena gangguan kecemasan.
Dalam situs National Institute of Mental Health (NIMH) disebutkan, para peneliti menemukan bahwa faktor genetik dan lingkungan berkontribusi pada risiko berkembangnya gangguan kecemasan. Beberapa faktor risiko umum meliputi rasa malu, tertekan, ataupun gugup dalam situasi baru di masa kanak-kanak.
Gangguan kecemasan juga bisa dipicu oleh peristiwa lingkungan penuh tekanan dan negatif, riwayat kecemasan, atau gangguan mental lain dalam keluarga. Gejala kecemasan dapat dihasilkan atau diperburuk oleh beberapa kondisi kesehatan fisik, seperti masalah tiroid atau aritmia jantung serta konsumsi kafein atau zat dan obat lain secara berlebihan.
Gejala fisik
Adapun gejala umum gangguan kecemasan meliputi merasa gelisah, lelah, atau gelisah; menjadi mudah lelah; sulit berkonsentrasi; mudah tersinggung; serta mengalami sakit kepala, nyeri otot, sakit perut, ataupun nyeri. Sejumlah gejala lainnya berupa kesulitan mengendalikan perasaan khawatir dan memiliki masalah tidur.
Menurut American Psychological Association, kecemasan bisa dikategorikan berdasarkan gejala fisik. Sai Achuthan, konsultan psikiater di Cygnet Health Care Inggris, kepada Live Science, Kamis, 9 Februari 2023, menuturkan, mayoritas gejala ini akibat produksi hormon stres berlebihan, termasuk kortisol dan adrenalin.
Hormon-hormon tersebut mengaktifkan respons perlawanan tubuh yang memicu gejala seperti peningkatan detak jantung dan pernapasan cepat. Anxiety and Depression Association of America menyatakan, sakit kepala kronis atau menahun kerap dialami oleh orang dengan gangguan kecemasan.
”Sakit kepala bisa dipicu pelepasan hormon stres yang menyempitkan pembuluh darah di otak. Namun, sulit menentukan mana yang lebih dulu: kecemasan atau sakit kepala. Sakit kepala bisa jadi bagian gejala kecemasan atau sakit kepala justru memicu kecemasan,” kata Anup Mathew, psikiater di Cantourage Clinic, Inggris.
Gejala kardiovaskular
”Orang dengan gangguan kecemasan juga sering mengalami gejala kardiovaskular, seperti jantung berdebar. Hal ini disebabkan hormon stres dapat mengakibatkan pembuluh darah menyempit, tekanan darah tinggi, dan detak jantung meningkat,” kata Mathew.
Kecemasan juga dikaitkan dengan gangguan fungsi saraf vagus yang membawa informasi antara otak dan organ dalam serta penurunan variabilitas detak jantung (HRV), perubahan waktu antara detak jantung. Demikian hasil kajian pada tahun 2014 yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Psychiatry.
Saraf vagus berperan sentral mengatur aktivitas jantung. Saat saraf tidak berfungsi dengan baik, kondisi itu bisa menyebabkan jantung gagal berkontraksi secara efisien. Sementara HRV rendah memengaruhi seseorang untuk pemulihan yang lebih lambat dari pemicu stres.
Sulit menentukan mana yang lebih dulu: kecemasan atau sakit kepala. Sakit kepala bisa jadi bagian gejala kecemasan atau sakit kepala justru memicu kecemasan.
”Saat cemas, lebih banyak hormon stres masuk ke sistem pencernaan sehingga memicu gangguan pencernaan, seperti kembung, sakit perut, mual, dan sembelit,” kata Achuthan.
Selain itu, gangguan kecemasan berkaitan dengan hipersensitivitas visceral (nyeri di organ dalam) akibat kombinasi faktor genetik dan pengalaman hidup awal. Tinjauan tahun 2017 ini diterbitkan di jurnal Frontiers in Systems Neuroscience.
Anak usia dini menjadi periode penting perkembangan sirkuit otak yang mengatur stres. Polimorfisme genetik tertentu meningkatkan risiko sirkuit otak ini tidak berkembang dengan baik.
Saat individu dengan genetik patuh pada pengalaman awal kehidupan merugikan, seperti trauma, sirkuit saraf rasa sakit berkembang memicu kecemasan di masa dewasa.
Gangguan pencernaan
Hormon stres juga bisa mengganggu keseimbangan bakteri di usus, memicu peradangan dan masalah pencernaan lain, kata Mathew. Ulasan tahun 2021 dalam jurnal Clinical Psychology Review menemukan, orang dengan gangguan kecemasan punya lebih banyak bakteri proinflamasi, seperti Enterobacteriaceae, dan lebih sedikit bakteri baik, seperti Faecalibacterium.
Kortisol, yang diproduksi berlebihan selama periode kecemasan, memengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mengganggu produksi sel darah putih yang berfungsi untuk melawan infeksi. ”Pelepasan kortisol secara berkelanjutan menyebabkan peningkatan kemungkinan infeksi,” kata Achuthan.
Pernapasan yang cepat dan dangkal serta pusing adalah gejala kecemasan yang umum, kata Angel Enrique, psikolog klinis di perusahaan telehealth SilverCloud. Rasa cemas terhadap kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi membuat tubuh bereaksi dengan meningkatkan pernapasan hingga mengalami sesak napas.
”Peningkatan kecepatan pernapasan juga dapat menyebabkan seseorang pusing. Saat kita cemas, kita mulai menarik napas dengan cepat dan dalam,” kata Enrique. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan kadar karbon dioksida dalam darah sehingga menimbulkan rasa mual, pusing, ataupun kesemutan di tangan dan kaki.
Untuk mengatasi gejala gangguan kecemasan, menurut Anxiety.org, penderita dianjurkan menjalani psikoterapi dan pengobatan. Banyak profesional merekomendasikan kombinasi terapi dan pengobatan, dilengkapi perawatan alternatif seperti meditasi atau yoga untuk membantu pemulihan.
Dalam terapi perilaku kognitif, pasien didorong mempelajari hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mengontrol penyebab kecemasan disertai pemakaian obat-obatan antidepresan. Agar mendapat penanganan tepat, jika mengalami gejala kecemasan, sebaiknya segera berkonsultasi kepada tenaga profesional kesehatan.