Kesehatan jiwa anak semakin rentan selama masa pandemi. Orangtua pun diharapkan bisa mengembangkan pola asuh digital pada anak agar pendampingan yang dilakukan menjadi lebih baik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 yang berlarut membuat kesehatan jiwa anak dan remaja rentan terganggu. Hal tersebut dapat mengganggu kesejahteraan emosional anak di masa kini dan berisiko memburuk di masa depan. Karena itu, gejala dan tanda gangguan kesehatan jiwa perlu dideteksi sejak dini.
Dokter spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya, Anggia Hapsari, dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Selasa (29/6/2021), mengatakan, kesejahteraan serta kesehatan mental anak dan remaja harus diprioritaskan, terutama di masa pandemi Covid-19 ini. Berbagai persoalan yang terjadi dapat mengganggu kesejahteraan emosional anak, seperti berlangsungnya pembelajaran jarak jauh, situasi karantina di rumah, ketidakpastian akan hari esok, serta kecemasan akan kesehatan diri dan keluarga.
”Kemampuan anak sekarang sangat terbatas untuk melakukan sesuatu yang baru. Mereka juga tidak bisa melakukan hal-hal di luar ruangan untuk berinteraksi dengan temannya. Kondisi ini sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa anak sehingga perlu ada langkah pencegahan agar tidak menjadi gangguan yang serius,” katanya.
Mengutip penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada 19 Maret-2 April 2021, Anggia menyampaikan, ada enam hal yang dapat berpengaruh pada kesehatan anak. Itu meliputi isolasi sosial, pembelajaran jarak jauh, terlalu lama menatap layar gawai, ketakutan akan penularan virus, kurang aktivitas fisik, dan paparan berita yang mengkhawatirkan.
Berbagai situasi itu perlu menjadi peringatan bagi orangtua agar lebih waspada akan gejala gangguan kesehatan jiwa yang terjadi pada anak mereka. Umumnya, anak yang mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa cenderung sulit tidur dan makan. Anak juga sering mengalami mimpi buruk.
Kemampuan anak sekarang sangat terbatas untuk melakukan sesuatu yang baru. Mereka juga tidak bisa melakukan hal-hal di luar ruangan untuk berinteraksi dengan temannya. Kondisi ini sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa anak.
Tidak jarang, anak akan mengalami ketakutan baru, seperti takut akan kegelapan atau takut ditinggal sendiri. Anak juga biasanya akan kehilangan minat pada hal yang disenanginya dan sering menangis tanpa alasan. Pada saat menjalani sekolah jarak jauh, anak juga akan sulit untuk tetap fokus. Jika ada pekerjaan sekolah, ia juga berupaya untuk menghindarinya.
”Untuk usia tertentu akan ada tanda khusus yang juga bisa dikenali. Pada anak usia 0-2 tahun, kecemasan bisa ditunjukkan dengan sering menggigit jari atau memasukkan benda-benda ke mulutnya. Pada usia sekolah dasar sampai kelas III SD biasanya mereka cenderung sering memainkan organ genital mereka,” kata Anggia.
Menurut dia, gejala gangguan kesehatan jiwa yang dialami oleh anak perlu segera dikonsultasikan pada ahlinya, baik psikolog maupun psikiater. Hal itu diperlukan agar penanganan bisa segera dilakukan. Di masa pandemi, konsultasi awal bisa dilakukan secara virtual.
Pola asuh
Menurut Anggia, pola asuh orangtua sangat berpengaruh dalam pengelolaan kesehatan jiwa seorang anak. Sebelum masa pandemi, pengasuhan anak sudah menjadi tantangan. Upaya untuk bisa melatih pola asuh menjadi kian penting saat ini.
Sebelum memutuskan untuk mengelola kesehatan jiwa anak, orangtua pun harus bisa menjaga suasana hatinya sendiri. Manajemen waktu dan memiliki rencana kegiatan yang baik amat diperlukan agar aktivitas yang dijalankan bisa lebih teratur.
Orangtua pun bisa berkomunikasi dengan orangtua lain, juga guru di sekolah untuk mengatasi persoalan yang dihadapi selama pembelajaran jarak jauh berlangsung. Pendampingan pada anak dalam menggunakan gawai juga perlu menjadi perhatian guna menghindari adiksi pada gawai dan paparan konten negatif.
”Orangtua juga perlu memahami emosi anak serta memahami gaya perilaku anak dan cara anak dalam merespons sesuatu. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda sehingga butuh penanganan yang berbeda pula,” tuturnya.
Pola asuh digital
Clinical Psychologist and Hypnotherapist RS Pondok Indah Puri Indah Meriyati menyampaikan, kemajuan teknologi menuntut orangtua untuk bisa menjalankan pola asuh digital dengan baik. Di masa pandemi, orangtua pun dipaksa untuk lebih melek teknologi dan digital agar dapat mendampingi anak mereka.
Pola asuh digital yang dilakukan orangtua tidak hanya sebatas dialog dan pemasangan fitur parenting control pada gawai yang digunakan anak, tetapi juga perlu adanya pendampingan psikologis yang berkaitan dengan teknologi dan internet. Oleh sebab itu, orangtua juga anggota keluarga lainnya tidak perlu malu untuk bertanya jika merasa kurang mahir dalam menggunakan teknologi.
”Dalam menjalankan digital parenting, ada beberapa tips yang bisa dilakukan oleh orangtua. Orangtua bisa membuat jadwal penggunaan gawai, termasuk cara menggunakan, waktu penggunaan, dan tempat yang boleh menggunakan gawai. Ketika menggunakan gawai, anak juga perlu didampingi oleh orangtua,” kata Meriyanti.