Perlindungan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Belum Optimal
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual turut memastikan pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas korban tindak kekerasan seksual. Namun, aturan ini belum terimplementasi dengan baik di lapangan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS kepada publik, termasuk aparat penegak hukum, mesti semakin gencar dilakukan. Sebab, pengetahuan mengenai kekerasan seksual, terutama korban penyandang disabilitas, masih rendah. Akibatnya, perlindungan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual belum optimal.
Sosialisasi tersebut semakin urgen mengingat kasus kekerasan seksual masih dianggap aib, terlebih untuk penyandang disabilitas. Banyak keluarga korban yang enggan melapor karena persoalan akses layanan, ketersediaan juru bahasa, hingga stigma.
Menurut koordinator sekaligus konselor hukum Unit Layanan Rumah Cakap Bermartabat (RCB) Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda), Arini Robbi Izzati, UU TPKS turut memastikan pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas yang mengalami tindak kekerasan seksual.
Meski demikian, hak-hak ini perlu diatur dalam regulasi turunan yang lebih teknis, baik peraturan pemerintah maupun peraturan presiden. Hal ini untuk merespons hambatan dan kerentanan penyandang disabilitas terhadap potensi kekerasan seksual.
Sosialisasi UU TPKS juga harus masif disosialisasikan untuk mempercepat perubahan di masyarakat dan penyelenggara pemerintahan, termasuk penegakan hukum. Apalagi, sejauh ini aparat penegak hukum yang belum mengetahui UU TPKS dan bagaimana cara menerapkannya menjadi kendala implementasi UU. Agar UU TPKS bisa diimplementasikan, para penegak hukum akan berpedoman pada aturan turunannya.
”Dari pendampingan sejumlah korban kekerasan seksual, masih ditemukan bahwa aparat penegak hukum belum menerapkan sepenuhnya UU TPKS,” ujar Arini saat webinar ”Implikasi UU TPKS pada Penyandang Disabilitas”, Rabu (21/12/2022).
Korban perlu didampingi agar tidak kembali menjadi korban kekerasan serta mendapatkan rasa aman dan perlindungan. Arini menyampaikan, Pasal 27 UU TPKS, misalnya, mengatur bahwa korban penyandang disabilitas dapat didampingi oleh orangtua atau wali yang telah ditetapkan oleh pengadilan atau pendamping.
”Hal ini merupakan bentuk perlindungan khusus kepada teman-teman penyandang disabilitas. Pendamping ini bisa diterjemahkan sebagai pendamping disabilitas atau JBI (juru bahasa isyarat). Undang-undang ini sudah mengakomodasi kebutuhan penting penyandang disabilitas,” kata Arini.
Pada kesempatan yang sama, Komisaris Besar Ciceu Cahyati dari Badan Reserse Kriminal Polri mengatakan, penanganan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dan pemahaman penyidik. Salah satunya, memasukkan kurikulum tentang penanganan penyandang disabilitas dalam pelatihan.
Dari pendampingan sejumlah korban kekerasan seksual masih ditemukan bahwa aparat penegak hukum belum menerapkan sepenuhnya UU TPKS.
Menurut Ciceu, dalam penanganan kasus penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, tidak semuanya siap sesuai dengan amanat UU TPKS. Karena itu, pengembangan standar pemeriksaan penyandang disabilitas korban dilakukan bertahap meliputi kualifikasi penyidik, fasilitas bangunan gedung, fasilitas pelayanan, hingga prosedur pemeriksaan. Tak hanya itu, disediakan pula pendamping disabilitas, penerjemah, dan atau petugas lain yang terkait.
Layanan terpadu
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Gintings mengatakan, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan, sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, atau miskin.
Hal tersebut dikarenakan masih adanya pembatasan, hambatan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang memberikan aksesibilitas layak sehingga penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan sama, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 19 Desember 2022 menunjukkan, terdapat 987 laporan kekerasan yang dialami penyandang disabilitas. Kasus kekerasan terhadap laki-laki disabilitas sebanyak 84 kasus (8,5 persen) dan kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas mencapai 903 kasus (91,5 persen).
Menurut Valentina, selama ini yang menjadi kendala penanganan kekerasan seksual adalah layanan terpadu. Untuk memastikan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban, akan dibentuk tim terpadu dan penyelenggaraan pelayanan terpadu.
”Saat ini, diskusi untuk memastikan pembentukan aturan turunan, seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden, masih berjalan. Meskipun peraturan pelaksanaan mengatur hal-hal yang sifatnya teknis, secara substansi terkait dengan delik, aparat penegak hukum tentu sudah bisa mengeksekusinya di lapangan,” ujarnya.