Hak Restitusi Korban Kekerasan Seksual dalam UU TPKS
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur tentang restitusi bagi korban kekerasan seksual. Namun, masih ada celah karena kurang ada unsur paksa bagi pelaku. Pengaturan restitusi perlu disempurnakan.
Oleh
SRI NURHERWATI
·5 menit baca
Persetujuan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 April 2022 merupakan capaian komitmen negara dalam menghapuskan praktik diskriminasi terhadap perempuan dalam menjalankan mandat Convention on The All the Ellimination Discrimination of Against Women (CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Basis pengalaman perempuan korban dan pendamping perempuan korban kekerasan seksual membuat UU TPKS sarat ketentuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan aksesibilitas pada penyandang disabilitas.
Pengalaman pendampingan kasus kekerasan seksual menunjukkan minimnya pemenuhan hak pemulihan korban. Oleh karena itu UU, TPKS mengatur restitusi sebagai hak atas pemulihan korban. Selama ini negara fokus pada penanganan pelaku, korban nyaris dilupakan setelah proses hukum selesai. Korban dianggap telah menerima keadilan dengan dihukumnya pelaku. Sementara korban dan keluarga mengalami kerugian-kerugian akibat kekerasan seksual dan harus ditanggung sendirian.
Selama ini negara fokus pada penanganan pelaku, korban nyaris dilupakan setelah proses hukum selesai.
Ketentuan restitusi yang masih ganjil
UU No 31/2014 tentang Perubahan Atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Korban mengatur ketentuan restitusi merupakan ganti rugi yang dibayar pelaku atau pihak ketiga, disempurnakan pendefinisiannya dalam UU TPKS. Namun, dalam Pasal 16, membatasi kewajiban hakim menetapkan besarnya restitusi hanya diberikan kepada korban kekerasan seksual yang mengalami TPKS dengan pelaku diancam pidana empat tahun atau lebih.
Hal tersebut memiliki makna bahwa hakim tidak berkewajiban menetapkan besaran restitusi korban pelecehan seksual nonfisik dan meninggalkan sejumlah korban pelecehan seksual nonfisik mendapatkan kepastian hukum besaran restitusi. Akhirnya, mereka menerima restitusi atau tidak bergantung kepada individu hakim, korban, dan pelakunya.
UU TPKS memberikan jaminan terbayarnya restitusi kepada korban melalui mekanisme dana bantuan korban, semata-mata memastikan memenuhi hak pemulihan korban dari kerugian dan dampak kekerasan seksual. Dalam ketentuan UU TPKS, mekanisme dana bantuan korban berlaku bagi pelaku yang kurang membayar restitusi dan harta yang disita kurang dari penetapan besar restitusi.
Hal tersebut menunjukkan adanya mekanisme memaksa pelaku dari golongan menengah ke atas membayar restitusi. Apabila hartanya kurang, pelaku dikenai pidana pengganti dan dana bantuan korban memberikan kekurangannya kepada korban bila tidak ada pihak ketiga yang membayar kekurangannya.
Dana bantuan korban disediakan negara melalui berbagai sumber, baik APBN maupun sumber lainnya. Hal tersebut berarti negara dan pelaku secara bersama-sama ”pasang badan” memenuhi tanggung jawab pelaku untuk memenuhi jumlah restitusi yang harus dibayarkan. Konsep ketentuan tersebut seolah adil karena pelaku mendapat hukuman dan korban tetap mendapatkan hak restitusi. Akan tetapi, secara konseptual, negara tetap mendapat beban tanggung jawab mengambil tanggung jawab pelaku dengan kompensasi dan mengeluarkan anggaran pelaku selama dalam lembaga.
UU TPKS seharusnya juga berdampak pada sistem pemasyarakatan dalam pembaruan hukum untuk memaksa pelaku bertanggung jawab atas pemulihan korban melalui restitusi. Selama ini, pengalaman Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dalam pembayaran restitusi dan denda tindak pidana tidak dibayar, pelaku memilih pidana pengganti penjara. Pelaku menempatkan penjara sebagai hukuman yang biasa saja atau tidak memberatkan pelaku, malah terkesan lebih ”mudah” dijalani dibandingkan dengan membayar denda dan restitusi.
Dengan demikian, pidana pengganti tidak mendukung makna penjeraan pidana penjara pengganti dan tidak sejalan dengan rehabilitasi pelaku. Apalagi ketentuan restitusi memastikan jaminan harta pelaku akan dikembalikan apabila ada kelebihan, perkara tidak jadi dituntut atau pelaku diputus bebas atau lepas berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ketiadaan itikad baik pelaku membayar restitusi seharusnya dapat diintegrasikan dalam syarat berkelakuan baik selama menjalani hukuman yang menghalangi pemberian remisi, amnesti, abolisi dan grasi sehingga menimbulkan efek jera yang kuat kepada pelaku.
Pidana pengganti tidak mendukung makna penjeraan pidana penjara pengganti dan tidak sejalan dengan rehabilitasi pelaku.
Persoalan lain mengenai ketentuan eksekusi restitusi yang mengadopsi ketentuan eksekusi dalam UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan PP No 7/2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Proses eksekusi masih membebani korban agar bersikap aktif melaporkan ke pengadilan jika pelaku tidak dengan segera dan secara sukarela menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk membayar restitusi.
Pelaku masih diberi kelonggaran waktu setelah diberikan salinan putusan perintah membayar restitusi berkekuatan hukum tetap. Sita restitusi dan lelang menunggu pengadilan memberikan surat teguran kepada pelaku, di mana proses tersebut membutuhkan waktu lebih dari 30 hari. Becermin dari kelemahan regulasi tersebut, UU TPKS diharapkan memudahkan korban segera mendapatkan restitusi yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang bertanggung jawab dan memiliki kewenangan eksekusi. Dengan demikian, korban segera menerima pembayaran dengan tanpa membebani korban kembali.
Restitusi dan revitalisasi lapas
Sementara apabila pelaku dari kelompok menengah ke bawah (miskin) negara belum menyiapkan mekanismenya. Negara justru tidak hadir apabila pelaku sama sekali tidak memiliki kemampuan membayar secara ekonomi. Koalisi masyarakat sipil mengusulkan agar negara memfasilitasi pelaku dan tetap meletakkan tanggung jawab pelaku melalui dana talangan yang harus dikembalikan pelaku.
Sistem dana talangan dapat dilakukan melalui revitalisasi lembaga pemasyarakatan (lapas). Revitalisasi tersebut merupakan optimalisasi implementasi Pasal 14 UU No 12/1995 tentang hak narapidana mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Sistem dana talangan dapat dilakukan melalui revitalisasi lembaga pemasyarakatan.
Praktik yang berlangsung saat ini terdapat lapas yang melakukan pendidikan dan keterampilan sekaligus memberikan penghasilan bagi warga binaan, bukan dalam bentuk hukuman kerja sosial. Proses pemasyarakatan melalui kerja produktif di lapas berdasarkan surat edaran Dirjen PAS Nomor PAS-175.PK.01.05.01 Tahun 2020 yang berisi imbauan tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat mendukung pemenuhan hak restitusi tanpa menambah beban negara.
Menyempurnakan pengaturan restitusi
UU TPKS memandatkan tata cara pengajuan restitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, harapan adanya perbaikan dan penyempurnaan ketentuan mengenai restitusi dalam UU TPKS dapat diakomodasi melalui peraturan perundang-undang mengenai restitusi agar tidak meninggalkan sejumlah korban yang hak restitusinya belum terakomodasi. Karena, apa pun bentuk kekerasan seksual yang dialami korban akan meninggalkan trauma bagi korban dan keluarganya.
Ke depan dibutuhkan aturan turunan untuk menjawab persoalan di atas serta untuk menyempurnakan ketentuan restitusi yang belum mengatur mengenai ketidakmampuan pelaku membayar restitusi dengan dana talangan oleh dana bantuan korban. Dana bantuan korban menjadi mekanisme kesegeraan pemulihan korban tanpa mengambil alih tanggung jawab pelaku. Terakhir, eksekusi restitusi diharapkan tidak membebani korban atau keluarganya karena hal paling mendasar dari hadirnya UU TPKS adalah untuk melindungi korban.
Sri Nurherwati,Ketua Pengurus Yayasan SUKMA; Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual