Anak dan Remaja Terpapar Perundungan dan Eksploitasi Daring
Internet bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan manfaat bagi anak-anak, terutama kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain membawa ancaman baru bagi masa depan anak-anak.
Upaya melindungi dan membebaskan anak dan remaja dari berbagai kekerasan menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat yang dihadapi Indonesia saat ini. Berbagai kasus kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual terus mewarnai kehidupan generasi penerus bangsa. Bahkan, masa pandemi Covid-19 semakin memperburuk perlindungan anak dan remaja.
Berbagai penelitian, survei, dan kajian tentang kekerasan terhadap anak/remaja memperlihatkan tren kekerasan pada anak yang meningkat dan berkembang, termasuk kekerasan di ranah daring, seiring kemudahan mengakses internet.
Dunia maya yang tanpa batas bisa menjadi momok bagi anak-anak dan menjerat mereka ke dalam berbagai kekerasan daring. Tanpa harus bertemu langsung, mereka bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual di ranah daring.
Hasil survei ”Perundungan Online dan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Online” yang dilakukan Child Fund bulan Juli-Oktober 2022 menunjukkan, risiko perundungan, kekerasan, dan eksploitasi seksual di ranah daring pada anak dan remaja cukup besar. Survei ini melibatkan 1.610 responden pelajar dan mahasiswa usia 13-24 tahun di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung.
Hanneke Oudkerk, Country Director Indonesia Child Fund Internasional, menegaskan, survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir 50 persen anak dan anak muda pernah menjadi pelaku perundungan daring. Selain itu, hampir 60 persen mengaku pernah menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir.
Perundungan dilakukan dengan melanggar privasi (menyebarkan rahasia atau informasi pribadi, diikuti dengan mencuri/meretas foto atau rekaman seseorang dan mengirimkan pada orang lain) dan mengucilkan atau ekslusi dalam bentuk mengabaikan pesan orang, diikuti dengan menghapus atau memblokir akun seseorang.
Ada juga penguntitan (dikuntit secara daring hingga membuat tidak nyaman). Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku mengintai secara daring ataupun luring. Pencemaran nama baik juga dilakukan secara daring dengan cara menyamar sebagai seseorang dan menyebarkan informasi palsu kepada orang lain atau berpura-pura mengaku sebagai seseorang dan melakukan hal buruk di internet.
Perundungan daring yang paling banyak dilakukan adalah pelecehan. Lebih dari 30 persen responden mengaku pernah menghina orang lain di internet (31,7 persen) dan dihina atau dilecehkan (35,8 persen). Beberapa mengaku menerima hinaan seksual saat berinteraksi secara daring (21,9 persen).
Baca juga : Kekerasan pada Anak Masih Tetap Tinggi
Kekerasan seksual, ancaman, dan pemerasan secara daring pun dialami para responden. Responden, misalnya, mengancam orang lain untuk mengirimkan foto-foto atau rekaman pribadi mereka. Di sisi lain, ada responden juga mengaku diancam untuk mengirimkan fotonya. Bahkan ada yang diancam lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir.
”Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan daring. Namun, anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sedangkan anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban,” ujar Renny R Haning, Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Child Fund International di Indonesia, Kamis (15/12/2022).
Kendati kasus di dunia maya makin meningkat, Indonesia hingga kini belum memiliki aturan khusus yang mengatur semua jenis kejahatan di ranah daring.
Penelitian yang didukung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) itu menemukan lima dari 10 pelajar dan mahasiswa mengintimidasi orang lain secara daring. Kemudian, enam dari 10 pelajar dan mahasiswa menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir.
Temuan lain adalah siswa SMA lebih cenderung menjadi pelaku dan korban perundungan daring dibandingkan pelajar SMP dan universitas. Adapun remaja di bawah 15 tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban (64,5 persen) dan pelaku (53,5 persen) dibandingkan kategori usia lain.
Berdasarkan kajian, korban intimidasi atau perundungan daring berpeluang besar menjadi korban lagi. Terpapar pelecehan seksual daring dan perundungan luring membuat anak dan remaja berisiko lebih tinggi menjadi korban.
Dari sisi dampak, perundungan daring menyentuh harga diri korban, meningkatkan risiko depresi, dan memicu bunuh diri. Kecemasan sosial membayangi kehidupan korban. Dalam banyak kasus, hampir tidak mungkin menghapus unggahan gambar/rekaman di media sosial.
”Dengan demikian, foto dan video itu bisa bersifat permanen, dan selalu ada kemungkinan seseorang menyimpan gambar dan rekaman tersebut. Hal itu dapat membuat korban selalu cemas dan bertanya-tanya siapa yang memiliki foto dan videonya,” kata Renny.
Regulasi
Kendati kasus di dunia maya makin meningkat, Indonesia hingga kini belum memiliki aturan khusus yang mengatur semua jenis kejahatan di ranah daring. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah kerangka hukum utama yang mengatur kejahatan di dunia maya, tetapi UU tersebut hanya mencakup pencemaran nama baik, materi kekerasan seksual daring, dan sejenisnya.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menyatakan, Profil Anak 2021 yang disusun Kementerian PPPA menemukan, 29,5 persen pengguna internet adalah anak-anak. Karena itulah, anak yang menjadi korban ataupun pelaku perundungan daring memerlukan perlindungan khusus.
”Sinergi lintas sektor dan multidimensi dari orangtua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah hingga sektor privat menjadi hal yang krusial demi terwujudnya dunia maya yang aman bagi anak Indonesia,” ujar Nahar.
Kekerasan seksual
Survei dan kajian Child Fund semakin menguatkan Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 yang diluncurkan Kementerian PPPA akhir Nopember 2022 lalu. SNPHAR menemukan, 21 dari 100 anak laki-laki dan 27 dari 100 anak perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun dalam setahun terakhir.
Survei yang didukung Badan Pusat Statistik dan mencakup 14.160 rumah tangga di 178 kabupaten/kota dari 33 provinsi itu juga menemukan kekerasan seksual dalam dua bentuk, yakni kekerasan seksual kontak dan nonkontak.
Kekerasan seksual kontak berupa sentuhan yang tidak diinginkan, diajak berhubungan seks, dipaksa secara fisik berhubungan seks, dan hubungan seks dengan tekanan dan ancaman. Perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan laki-laki.
Adapun kekerasan seksual nonkontak berupa pemaksaan menyaksikan kegiatan seksual, membaca tulisan yang menggambarkan kegiatan seksual, pemaksaan untuk terlibat dalam gambar/foto atau video kegiatan seksual, ataupun diminta mengirimkan teks, gambar/foto, atau video kegiatan seksual. Dua dari 100 anak laki-laki ataupun perempuan mengaku pernah mengalami bentuk kekerasan seksual nonkontak dalam setahun terakhir.
Baca juga : Gangguan Mental Membayangi Remaja Perempuan
Sebelumnya, pada akhir September 2022, ECPAT, Interpol, dan Kantor Penelitian Unicef-Innocenti juga merilis laporan terbaru berjudul ”Disrupting Harm: Indonesia” yang menemukan anak-anak di Indonesia berusia 12-17 tahun (995 responden) menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring melalui media sosial.
Adapun platform media sosial yang paling banyak digunakan pelaku adalah Whatsapp yang menyumbang lebih dari 70 persen. Selain itu, Facebook, Facebook Messenger, Instagram, Twitter, dan Snapchat juga menjadi media eksploitasi dan pelecehan seksual.
Survei tersebut menemukan, eksploitasi seksual anak di ranah daring meningkat tajam. Google merekam adanya peningkatan kejadian tiga kali lipat dari 7.428 (2017) kasus menjadi 22.161 kasus pada tahun 2019. Sementara pada Instagram, jumlahnya meningkat dari 34.683 kasus menjadi 57.675 kasus pada periode yang sama. Sementara di WhatsApp terjadi peningkatan 10 kali lipat dari 128 kasus menjadi 1.145 kasus.
Dari sisi regulasi, selain meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia juga melahirkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan berbagai regulasi terkait perlindungan anak. Pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.
Baca juga : Sekolah Masih Belum Aman dari Predator Anak
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Bappenas Woro Srihastuti. Sulistyaningrum mengingatkan pentingnya peran orangtua dalam pendampingan anak saat menggunakan perangkat yang terkoneksi internet.
Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di ranah daring merupakan tantangan baru yang perlu menjadi perhatian bersama. Kerentanan anak meningkat searah dengan meningkatnya akses anak terhadap internet.
Oleh karena itulah, perlindungan anak dari kekerasan secara daring membutuhkan intervensi yang menyeluruh. Dimulai dari penguatan resiliensi anak, pengawasan keluarga dan lingkungan, hingga pengaturan pedoman standar untuk merespons kasus perundungan daring.
Maka, edukasi anak dan masyarakat tentang literasi digital, khususnya tentang interaksi aman di internet, harus dilakukan terus-menerus.