Meskipun mempunyai sumber daya alam dengan jumlah besar, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di Papua lebih rendah daripada wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang sedikit.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dua dekade, status otonomi khusus untuk wilayah Papua hingga kini belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Pengelolaan hasil sumber daya alam dan dana otonomi khusus yang tidak transparan juga akan terus memperburuk kondisi sosial ekonomi dan ekosistem jangka panjang masyarakat Papua.
Menurut Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik, meskipun mempunyai sumber daya alam dengan jumlah besar, wilayah Papua dari segi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial lebih rendah daripada wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang sedikit.
Berdasarkan sejumlah penelitian, fenomena kutukan sumber daya alam (natural resources curse) juga telah menempatkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berada dalam urutan kedua dan ketiga sebagai provinsi yang mengalami fenomena tersebut.
Dua provinsi tersebut merupakan daerah otonomi khusus karena diberikan ruang afirmasi dan akselerasi pembangunan. Mereka memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memberikan keberpihakan pada orang asli Papua. Namun, kebijakan tersebut gagal dalam menghasilkan kemajuan baik sosial maupun ekonomi.
Kini, telah ada UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kiki menilai, perubahan UU tersebut juga tidak diikuti oleh perubahan nyata untuk pembangunan masyarakat Papua.
”Selama dua dekade, (Papua dan Papua Barat) sebagai daerah otonomi khusus justru belum mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Masalah lainnya juga terus muncul, salah satunya ancaman deforestasi di wilayah tersebut,” katanya saat diskusi dan diseminasi hasil riset Kutukan Sumber Daya Alam di Tanah Papua, di Jakarta, Senin (19/12/2022).
Berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia, lebih dari 20 persen daratan tanah Papua telah dibebani perizinan industri berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), ataupun perkebunan kelapa sawit. Menurut Kiki, lebih dari 7,5 juta hektar (ha) hutan juga terancam terdeforestasi karena berada dalam konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan pertambangan.
Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melakukan penelitian Kutukan Sumber Daya Alam di Tanah Papua dengan berbasis desk riset. Hal ini agar dapat membuktikan terjadi fenomena ”kutukan sumber daya alam” di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengungkapkan, kekayaan alam berlimpah belum tentu memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan ekonomi. Namun, seringkali yang terjadi malah sebaliknya, yang mana sumber daya alam yang melimpah malah memberikan kutukan sehingga menyebabkan kesejahteraan ekonomi tidak merata.
Hasil studi tersebut menunjukkan angka kemiskinan di Papua mencapai 26,5 persen, sedangkan Papua Barat sebesar 21,6 persen pada tahun 2021. Sejak 2002-2021, angka kemiskinan di Papua juga terus mengalami penurunan, tetapi angkanya relatif kecil per tahunnya.
Kekayaan alam berlimpah belum tentu memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan ekonomi. Namun, seringkali yang terjadi malah sebaliknya, yang mana sumber daya alam yang melimpah malah memberikan kutukan sehingga menyebabkan kesejahteraan ekonomi tidak merata.
”Meskipun terus turun, (kemiskinan di) Provinsi Papua dan Papua Barat masih lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, seperti Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur,” Ucap Berly.
Tren penurunan ini, menurut Berly, terjadi sejak diberlakukannya otonomi khusus di wilayah Papua. Hasil temuan tersebut juga tidak berbeda jauh dengan data yang tercantum dari Badan Pusat Statistik wilayah Papua Barat, yaitu persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2021 sebesar 21,82 persen.
Melibatkan masyarakat Papua
Menurut Wakil Ketua Komite 1 DPD RI dari Papua Barat Filep Wamafma, kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pembangunan masyarakat dan wilayah Papua harus melibatkan masyarakat Papua.
”Kebijakan otonomi khusus tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Kemudian, ada lagi kebijakan baru, yaitu pemekaran provinsi yang belum tentu akan efektif mengatasi masalah-masalah yang ada di wilayah Papua, bahkan mungkin hanya akan menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Berly menambahkan, perlu perbaikan sistem tata kelola yang memastikan akuntabilitas program otonomi khusus. Pelaksanaan tata kelola otonomi khusus juga harus dilakukan melalui implementasi specific grant atau bantuan spesifik yang bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua. Tak hanya itu, pelibatan orang asli Papua dalam merumuskan desain pembangunan Papua juga harus dilakukan.