Ironi Ikan Pendatang yang Menghidupi Marind Anim
Ikan mujair yang didatangkan ke Merauke telah menggeser ikan-ikan lokal. Di sisi lain, ikan pendatang ini kini yang menghidupi orang Marind Anim.
Ikan mujair (Oreochromis mossambica) merupakan pendatang baru di Merauke, Papua. Namun ikan itu kini mendominasi sungai dan rawa-rawa di dataran rendah kawasan ini. Tak hanya menjadi sumber makan, mujair juga menjadi sumber ekonomi masyarakat Marind Anim, yang semakin kesulitan mendapatkan hewan buruan.
Bagi masyarakat Kampung Baad, Distrik Animha, ikan mujair merupakan sumber ekonomi terpenting. Hampir setiap hari, warga kampung ini mencari mujair di Rawa Yakau yang mengelilingi kampung mereka, yang kemudian dijual ke pengepul di kampung.
Paijan (45), transmigran dari Jawa yang jadi pengepul ikan di Baad mengatakan, dalam sehari rata-rata bisa mengirim lebih dari 200 kilogram (kg) mujair ke kota. Pada musim hujan, hasil tangkapan bisa berlipat, mencapai 400 kg, bahkan malah sering lebih.
Saya sering menyampaikan ke anak-anak kami di Papua untuk lebih kuat, agar tidak bernasib sama dengan ikan-ikan lokal yang terus menyusut dan suatu saat bisa hilang.
Ikan gastor, sebutan setempat untuk ikan gabus (Channa striata), menjadi tangkapan terbanyak kedua, yaitu sekitar 20 kg per hari. "Gastor belakangan semakin susah, tapi kalau mujair masih banyak," kata Paijan.
Ikan mujair ini biasa dibeli Paijan dari nelayan setempat Rp 15.000 per ikat. Satu ikat berisi 3-4 ekor, yang jika dirata-rata sekitar 2 kg per ikat. Di pusat kota Merauke, ikan mujair ini biasa dijual pedagang Rp 15.000 per kg.
Di Baad ada tiga pengepul seperti Paijan, sehingga jika ditotal kira-kira setiap hari ada 1,2 ton ikan mujahir yang dikirim ke pusat kota Merauke. Dari ikan mujair saja, minimal ada pemasukan Rp 9 juta yang didapatkan warga Kampung Baad, yang berpenduduk 445 jiwa ini.
Tak hanya sebagai sumber ekonomi, mujair juga menjadi sumber protein utama masyarakat di Kampung Baad, yang selalu tersedia setiap hari. Lambert Ndiken (67), tokoh adat dari Kampung Baad mengatakan, "Kalau dulu setiap hari kami makan daging, sekarang ikan sehari-hari. Daging sekarang susah didapatkan," kata dia.
Baca juga: Benteng Terakhir Marind Anim yang Terancam
Situasi yang sama juga dialami di Kampung Zanegi, yang relatif jauh dari sungai dan memiliki sistem rawa relatif kecil dibandingkan Baad. Ikan menjadi sumber protein utama, dibandingkan daging.
Tokoh adat di Kampung Zanegi, Bonifasius Gebze (62) mengatakan, sebenarnya warga Marind Anim dari dulu juga sering mengonsumsi ikan. Namun, saat masih banyak binatang buruan, konsumsi daging lebih diutamakan. "Karena sekarang sulit daging, ikan yang jadi andalan," kata dia.
Boni, demikian dia biasa dipanggil mengatakan, ikan yang dulu dikonsumsinya saat kecil bukanlah mujair. "Dulu belum ada mujair, itu baru-baru saja ada. Dulu ikan di sini seperti sembilan dan kakap putih, itu sekarang memang sudah jarang," kata dia.
Survei Kompas di Kampung Baad, Zanegi, Wonorejo, dan Bokem menunjukkan bahwa ikan mujair atau sebagian masyarakat Papua menyebutnya nila menjadi yang paling banyak dikonsumsi, yaitu 78,5 persen, disusul gastor 25,7 persen, dan betik 21,2 persen. Sementara itu, warga yang mengonsumsi ikan lokal, yaitu ikan sembilan hanya 3,1 persen, kakap air tawar 8 persen, dan ikan duri 1,4 persen.
Menggusur ikan endemik
Biolog dari Universitas Cenderawasih, Henderite L Ohee mengatakan, ikan mujair yang saat ini mendominasi sistem perairan di Merauke merupakan spesies pendatang di Papua. Tak hanya di Merauke dan kawasan selatan Papua lain, seperti Asmat dan Timika, mujair juga mendominasi di sistem danau besar seperti Danau Sentani di Jayapura.
"Introduksi ikan dari luar ke Papua dimulai 1937, sejak zaman Belanda. Pada 1969 dilakukan secara masif oleh Pemerintah Indonesia, atas dukungan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia)," kata dia.
Ikan pendatang yang banyak dilepas di Papua di periode awal terutama mujair, tawes, dan mas. Tujuan dari pelepasan ikan dari luar ini, menurut Henderite, untuk menyediakan sumber protein ikan yang bisa berkembang biak secara cepat di alam. "Untuk mujair kemudian banyak berkembang di danau dan rawa-rawa dataran rendah, sedangkan ikan mas banyak berkembang di dataran tinggi, seperti Wamena," kata dia.
Baca juga: Pemerintah Perbarui Daftar Spesies Invasif
Introduksi ikan ke Papua terus dilakukan. Belakangan juga muncul gastor (Channa striata), betik (Anabas testudineus), lele (Clarias batrachus), dan juga gurame (Osphronemus goramy). "Pertimbangan pelepasan ikan dari luar ini sejak dulu lebih ke pemenuhan nutrisi masyarakat. Hal itu karena dianggap ikan-ikan endemik di Papua, lebih lambat perkembangannya," kata dia.
Ikan-ikan pendatang ini, menurut Henderite, dalam perkembangannya ternyata sangat adaptif terhadap kondisi lingkungan di Papua, terutama mujair yang kemudian mendominasi sistem rawa dan sungai, serta menggeser ikan-ikan asli.
"Di selatan ikan pendatang ini mudah menyebar karena rawa yang sambung-menyambung. Di Merauke, Boven Digoel, Mappi, Asmat, semua melimpah ikan mujair, gastor, betik, dan lele," kata dia.
Menurut Henderite, sistem perairan air tawar di Papua sebenarnya kaya dengan spesies endemik, di antaranya gabus lokal (Oxyeleotris heterodon), ikan pedang air tawar (Pristis microdon), ikan pari air tawar (Himantura chaophraya), ikan pelangi bleher (Chilatherina bleheri), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus), termasuk arwana papua (Scleropages jardinii).
"Belakangan, ikan-ikan asli ini semakin sulit ditemukan, karena kalah bersaing dengan ikan pendatang. Gabus asli Papua misalnya, tergusur oleh gastor dan mujair," kata dia.
Dampak tergesernya ikan lokal ini, kata Henderite, yaitu ancaman kepunahan spesies. "Itu yang paling ditakutkan kalau dari segi konservasi," kata dia.
Baca juga: Keanekaragaman Pangan Lokal Fondasi Ketahanan Pangan
Dampak lain yaitu perubahan pola makan. "Di beberapa daerah lain, spesies asli ini memengaruhi sosial budaya masyarakat, misalnya di Sentani ikan gabus lokal dipakai dalam proses adat. Dulu orang harus menyajikan ikan gabus di meja ondoafi, kepala adat, dalam setiap acara adat sebagai bentuk penghormatan. Karena sekarang jarang ditemukan, maka tradisi ini juga hilang," tutur dia.
Menurut Henderite, dominasi ikan pendatang di sistem air tawar Papua memang menjadi dilema. "Di awal upaya pelepasan ikan pendatang ini tidak dilakukan dengan studi kelayakan yang cukup. Hanya kebutuhan protein. Tapi tidak melihat masalah lain," kata dia.
Faktanya, dominasi ikan pendatang ini sudah tidak bisa dibendung lagi. Seperti mujair ini hampir tidak ada predator alaminya di Papua. Dia juga rakus makan dan bisa menempati hampir semua bagian habitat yang didatangi.
Misalnya, spesies asli tertentu hanya menempati di sepanjang garis pantai, lainnya di tengah. Mujair ini bisa menguasai di pinggir sungai sampai tengah. "Dia bisa mengisi seluruh relung habitat dan menggeser spesies asli," kata dia.
Begitu spesies asing seperti mujair ini masuk ke badan air terbuka seperti danau, sungai, dan rawa, akan sulit mengontrolnya. "Tinggal menunggu waktu ikan asli di alam pasti akan hilang," kata dia.
Baca juga: Gastrokolonialisme di Merauke, Dari Transmigrasi Hingga Korporasi
Sebagai suatu jaring rantai makanan, menurut Henderite, penggantian spesies pasti akan berdampak pada ekosistem. Hal ini pada akhirnya akan memengaruhi spesies lain dalam jejaring mata rantainya, misalnya terhadap keberlanjutan burung pemangsanya.
Sekalipun dari aspek lingkungan introduksi ikan pendatang ini memicu masalah, secara ekonomi dan pemenuhan gizi hal ini memang bermanfaat. "Ini dilematis. Mirip dengan yang terjadi pada orang asli Papua. Maka, saya sering menyampaikan ke anak-anak kami di Papua untuk lebih kuat, agar tidak bernasib sama dengan ikan-ikan lokal yang terus menyusut dan suatu saat bisa hilang," kata Henderite.