Keanekaragaman Pangan Lokal Fondasi Ketahanan Pangan
Proyek lumbung pangan harus dikoreksi, dimulai dengan merevisi indikator pola pangan harapan yang selama ini bias beras menjadi lebih didasarkan pada keanekaragaman pangan lokal.
JAKARTA, KOMPAS — Proyek lumbung pangan yang justru memicu limbung pangan di kalangan masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di Merauke, Papua harus dikoreksi. Peluang untuk mengoreksinya bisa dimulai dengan merevisi indikator pola pangan harapan yang selama ini bias beras menjadi lebih didasarkan pada keanekaragaman pangan lokal.
"Penganekaragaman konsumsi wajib dilakukan karena kita tahu bahwa itu elemen penting bagi pemenuhan gizi yang seimbang. Apalagi, saat ini kita melihat seluruh Indonesia menjadi dominan beras dan terigu,” kata Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional, Andriko Noto Susanto, Selasa (13/12/2022).
Andriko menyampaikan hal ini menanggapi temuan Kompas terkait limbung pangan yang dialami masyarakat lokal di Merauke yang terdampak program food estate atau lumbung pangan.
Kalau kita mau mengejar kedaulatan pangan memang jawabannya pada diversifikasi pangan. Tapi, selama ini upaya diversifikasi pangan hanya jadi wacana dan jargon.
Survei di perkampungan yang dihuni Marind Anim di Merauke menunjukkan terjadinya transisi pola makan dari konsumsi makanan tradisional, seperti sagu, umbi-umbian, dan daging liar, menuju pola makan yang lebih banyak nasi, mi instan, serta aneka bahan makanan olahan dan ultraolahan sehingga berisiko buruk bagi kualitas kesehatan. Bahkan, konsumsi mi instan sudah lebih tinggi daripada sagu yang sebelumnya jadi makanan pokok mereka (Kompas, 13/12/2022).
”Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 60 Ayat 1 dan 2 sudah mengamanatkan penganekaragaman konsumsi wajib dilakukan,” kata Andriko.
Dalam Pasal 60 Ayat 1 UU Pangan ini disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi guna mendukung hidup aktif dan produktif. Adapun Ayat 2 menyebutkan, penganekaragaman pangan yang dimaksud diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola pangan beragam, bergizi, berimbang, dan aman, serta sesuai potensi dan kearifan lokal.
Namun, Andriko mengakui, selama ini kebijakan pangan nasional masih bias beras. Hal ini juga tecermin dari Pola Pangan Harapan (PPH) di Indonesia, yang menetapkan padi-padian 50 persen, sementara umbi-umbian, termasuk sagu di dalamnya, hanya 6 persen. Selain itu, pangan hewani 12 persen, minyak dan lemak 10 persen, sayur 6 persen, kacang-kacangan 5 persen, gula 5 persen, buah 3 persen, dan lain-lain 3 persen.
Baca juga: Limbung Pangan di Merauke
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, indikator Skor Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai salah satu indikasi keberhasilan dalam program prioritas peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan. Target yang ingin dicapai untuk skor PPH yaitu 92,8 persen pada 2022, 94 persen pada 2023, dan 95,2 pada 2024.
”Sekarang PPH ini berlaku untuk seluruh Indonesia. Termasuk di Merauke, yang masih ada sagu dan umbi-umbian harus mengikuti kecukupan padi-padian 50 persen. Akibatnya, target PPH di Papua dan Maluku itu selalu paling rendah,” ujarnya.
Program cetak sawah, sebagai bagian dari program food estate, yang dilakukan di sejumlah daerah, termasuk Merauke, merupakan bagian dari upaya mencapai target pemenuhan kecukupan pangan sesuai PPH ini. ”Realisasinya, target PPH sejak 2016 belum pernah tercapai sampai sekarang. Misalnya, pada 2021 kita targetkan 91,6 persen, tercapai 87,2 persen.Secara nasional, padi dan minyak lebih, tetapi protein hewani, sayur, umbi, kacang-kacangan kurang,” ujarnya.
Regionalisasi sistem pangan
Andriko mengatakan, dengan semangat UU Nomor 18 Tahun 2012, target PPH seharusnya dizonasi dan disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal. ”Misalnya, untuk padi-padian di Papua seharusnya tidak ditarget 50 persen. Umbi-umbian dan sagunya harus diperbesar,” ujarnya.
Baca juga: Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Menurut Andriko, pengubahan PPH ini hanya bisa diputuskan oleh para pakar yang tergabung dalam Widya Pangan Nasional dan Gizi (WNPG). ”Para pakar ini akan bertemu guna menghasilkan konsensus untuk membuat PPH. Saya berharap dalam pertemuan WNPG yang dijadwalkan dalam waktu dekat ini akan ada perubahan itu,” ujarnya.
Menurut Andriko, dengan pengubahan target PPH sesuai kondisi daerah masing-masing, maka program pemenuhan pangan akan berbeda-beda. Misalnya untuk Papua, jika umbi dan sagu diperbesar, maka ke depan tidak perlu dilakukan cetak sawah, tetapi lebih mendorong pengembangan sagu dan umbi-umbian.
Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, keanekaragaman pangan merupakan kunci untuk kedaulatan pangan di Indonesia. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman lingkungan dan agroklimat. Tidak semua tempat bisa dicetak sawah baru. Kalaupun dipaksakan, biayanya akan sangat mahal.
”Kalau kita mau mengejar kedaulatan pangan memang jawabannya pada diversifikasi pangan. Tapi, selama ini upaya diversifikasi pangan hanya jadi wacana dan jargon karena antara kebijakan satu dan lain sering bertentangan,” ujarnya.
Dwi mengingatkan, pemenuhan pangan juga dipengaruhi oleh aksesibilitas dan harga. ”Kenapa sekarang gandum bisa menguasai di mana-mana, termasuk di Papua? Karena ini paling murah di Indonesia, dengan kualitas relatif yang baik. Bahkan, kalau situasi ini dibiarkan, ke depan beras juga akan tergeser gandum,” ujarnya.
Baca juga: Survei ”Kompas”: Beras dan Mi Instan Membelenggu Keberlangsungan Pangan Papua
Menurut Dwi, harga tepung gandum masih jauh lebih murah dibandingkan tepung lokal, bahkan juga dibandingkan beras. ”Gandum bisa murah salah satunya karena kita tidak punya kebijakan tarif impor gandum. Salah satunya kita punya free trade agreement dengan Australia, ekspor gandum ke Indonesia, bisa nol persen tarifnya,” ujarnya.
Maka, menurut Dwi, jika memang serius mengembangkan diversifikasi pangan, harus ada satu kemauan politik yang kuat dan kebijakan yang integratif.
Evaluasi food estate
Menurut Dwi Andreas, luas lahan sawah di Jawa, yang selama ini menjadi pemasok utama kebutuhan beras nasional, memang terus merosot. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, pada 2012 luas lahan sawah 8,4 juta ha. Pada 2019 luasannya tinggal 7,4 juta ha.
”Jadi dalam tujuh tahun luasan sawah turun 1 juta ha. Luar biasa penurunan lahan sawah kita. Jadi, satu sisi memang masuk akal juga kalau pemerintah merencanakan membuka lahan baru di beberapa wilayah lain, untuk menggantikan lahan sawah yang hilang di Jawa,” tuturnya.
Namun, melihat dampak buruk food estate bagi lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di Merauke, Dwi menyarankan adanya evaluasi menyeluruh. ”Harus dievaluasi dulu. Puluhan triliun sudah dana digelontorkan untuk coba-coba buka sawah di mana-mana. Ganti-ganti presiden, tapi tidak ada hasilnya juga,” ujarnya.
Dia menyarankan, khusus untuk cetak sawah baru, sebaiknya fokus pada satu lokasi. ”Kalau saya menyarankan, kembali ke lahan yang sudah telanjur dibuka dan rusak, sekalian untuk direhabilitasi. Jangan pernah buka lahan baru, apalagi dengan membuka hutan. Dalam hal ini saya tidak menyarankan cetak sawah baru lagi di Merauke yang jelas masalah sosial budaya dan tenurialnya sangat kompleks,” tuturnya.
Lihat juga: Kegagalan Cetak Sawah di Merauke
Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke dua periode, 2000-2010, yang pertama kali mengusulkan proyek food estate di Merauke, juga menyarankan agar proyek ini dievaluasi. ”Jangan lagi alasan food estate buka hutan di Merauke,” ujarnya.
Menurut dia, food estate yang sekarang dilakukan di Merauke telah menyimpang dari harapannya semula. Keberadaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit yang membuka hutan dengan mengatasnamakan lumbung pangan merupakan inisiatif Jakarta.
”Itu bukan kami yang buat. HTI itu kan program itu buatan Jakarta, bukan dari kita. Itu aplikasi dari kebijakan negara, memang kita pembuat kebijakan negara? Kita ini tong sampah,” ujarnya.
Sementara itu, upaya cetak sawah yang sudah dilakukan di Merauke juga kerap tidak didukung dengan sarana infrastruktur, alat pertanian, dan pupuk yang memadai. ”Program daulat pangan itu kita menyiksa pelakunya. Kita tidak pernah konsisten, padahal keberhasilan itu terjadi konsistensi. Pupuk tidak ada di Merauke, ada di luar. Itu malaikat pun disuruh kalau tidak ada pupuk mereka akan malas bertani,” tuturnya.
Tulisan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center