Gastrokolonialisme di Merauke, Dari Transmigrasi Hingga Korporasi
Ketidakberdayaan penduduk lokal untuk memenuhi asupan gizi, diperparah dengan gelontoran aneka bahan makanan instan, melengkapi derita mereka sebagai obyek dari gastrokolonialisme.
Bentang alam yang datar, sumber air berlimpah, dan tanah subur menjadikan wilayah Merauke sejak lama dianggap memiliki potensi untuk lahan pertanian skala besar. Namun, Merauke bukanlah ruang kosong. Di sekitar hutan dan rawa-rawa itu ada masyarakat Marind Anim, yang puluhan ribu tahun hidup sebagai pemburu dan peramu bahan pangan dari alam.
Potensi Merauke dan sekitarnya sebagai kawasan pertanian, terutama dalam hal ini tanaman padi, telah banyak dilaporkan sejak Papua masih di bawah kekuasan Belanda. J.H.A Logemann (1957) dalam bukunya Orgaan Van De Stichting Kring Voor Nieuw Guinea menyebutkan, pada 1947 perwakilan enam negara Barat, yaitu Belanda, Australia, Selandia Baru, Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris bertemu di Canberra untuk membahas rencana pengembangan daerah Pasifik Selatan. Salah satu keputusannya yaitu menyiapkan Papua, khususnya bagian selatan, sebagai pusat pertanian dan peternakan.
Pemerintah Belanda kemudian mengirim para ahli di bidang teknologi tanaman dan sosial budaya untuk mengadakan penelitian di Papua selatan. Hasilnya, daerah Kurik potensial dikembangkan tanaman padi. Belanda kemudian memutuskan membangun rice bedrifjk atau perusahaan padi yang akan menggarap lahan di Kurik, dengan tenaga kerja lokal dan mendatangkan orang dari Maluku.
Masalah keberadaan korporasi dengan konsesi lahan besar ini menyebabkan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumber pangan terpenting, yaitu protein hewani, khususnya yang bersumber binatang liar.
Mulai 1953, Belanda membuka jalan lori hingga Kurik. Pada 1955, percetakan sawah dimulai di Kurik setelah sebelumnya dibangun saluran irigasi dari Rawa Mayo. Bersamaan itu dibangunlah perumahan, perkantoran, dan gudang. Setelah Papua diambil alih Indonesia, kompleks perkantoran ini menjadi BBI Padi Kurik dan masih bertahan sampai sekarang.
"Luas sawah yang dicetak saat itu mencapai 300 hektar (ha), terdiri dari sawah utara seluas 204 ha dan selatan 96 ha. Itu semua dikerjakan perusahaan dengan mesin-mesin, tidak banyak melibatkan petani," kata Yoseph Efraim Ikanubun (59), pensiunan BBI Padi Kurik, yang memberikan salinan buku Logemann ini. Orangtua Yoseph, termasuk yang datang ke Merauke dari Kei di periode 1950-an ini.
Setelah satu musim tanam, ternyata sawah utara tidak dapat berproduksi maksimal. Gabahnya gepeng, banyak yang hampa. Padahal, sebelum ditanam sudah diberi kapur dan pupuk.
"Belanda kemudian memutuskan tidak lagi menanami sawah utara karena dianggap tidak cocok. Tanahnya pasiran dan terlalu asam. Sebaliknya, sawah selatan hasilnya dinilai bagus sehingga terus ditanami," kata dia.
Baca juga: Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Setelah keberhasilan menanam padi di sawah selatan di Kurik ini, Belanda berencana memperluas sawahnya hingga 12.000 ha, meliputi Serapu hingga Nasai. Selain itu, mereka juga merencanakan pembukaan peternakan sapi skala besar. "Upaya cetak sawah baru ini terus dilakukan di Kurik hingga Papua beralih ke Indonesia pada 1962," kata dia.
Kepala Bidang Penganekaragaman Pangan, Dinas Ketahanan Pangan, Peternakan, dan Kesehatan Hewan Kabupaten Merauke, Andre Rimbayana mengatakan, sejak awal Belanda membangun perusahaan padi di Merauke tidak ditujukan ke masyarakat lokal di Papua. Perusahaan padi ini lebih untuk memenuhi kebutuhan beras mereka sendiri, terutama untuk Perang Pasifik.
Seperti ditulis Logemann (1957), saat itu belanja beras Belanda untuk kepentingan regional sekitar Pasifik mencapai 8.000 ton per tahun dengan nilai 5 juta gulden. Dokumen Belanda ini menunjukkan, sejak awal upaya untuk menjadikan Merauke sebagai produsen tanaman pangan guna menyangga keperluan nasional atau regional, bukan untuk kepentingan penduduk lokal.
Kedatangan transmigran
Setelah beralih ke Indonesia, cetak sawah di Kurik dilanjutkan bertahap melalui transmigrasi. "Bapak saya datang tahun ke Kurik tahun 1966," kata Sofani (53), anak transmigran awal dari Semarang, Jawa Tengah, yang ditemui di Desa Wonorejo.
Sofani mengatakan, saat baru datang para transmigran hanya dibekali lembaran seng untuk atap. "Harus bikin rumah sendiri. Pokoknya sengsara sekali kalau dengar cerita bapak," kata dia.
Baca juga: Limbung Pangan di Merauke
Para petani juga harus membuka lahan sendiri secara manual. "Padahal, dulu peninggalan Belanda ada mesin-mesin, termasuk juga penggiling dan pengering, tapi itu tidak bisa dipakai transmigran," kata dia.
Hingga sepuluh tahun pertama, menurut Sofani, hasil tanam padi sangat sedikit dan tidak memadai untuk menopang kebutuhan pangan dalam satu tahun. "Kebanyakan kami makan singkong, ubi, dan keladi. Kadang juga beli sagu dari orang lokal," kata dia,
Sofani mengatakan, kebanyakan hasil produksi padi saat itu juga dimakan sendiri dengan cara ditumbuk. Penggilangan padi baru ada akhir 1980-an. "Saluran irigasi baru mulai berjalan sejak 1990-an dan hasil panen mulai bagus dengan rata-rata bisa dapat 4 ton beras per ha. Sejak itu petani mulai bisa jual gabah atau beras," kata dia.
Secara bergelombang, para transmigran, baik dari luar pulau maupun sekitar Papua terus berdatangan ke Merauke, hingga angkanya melebihi jumlah penduduk Marind Anim yang merupakan penghuni awal Merauke. Hingga kini, dari 231.696 penduduk Merauke, jumlah populasi Marind Anim hanya 60.000-an jiwa.
Program transmigasi di Merauke, termasuk di Papua secara keseluruhan, baru berhenti pada 2001 setelah adanya Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua. Namun, kedatangan penduduk secara mandiri dari berbagai daerah ke Merauke masih terjadi hingga saat ini.
Baca juga: Limbung Pangan dari Kalimantan hingga Papua
Membesarnya jumlah pendatang di Merauke telah mengubah pola pangan di wilayah ini secara perlahan. Apalagi, pendatang yang masuk ke Merauke, sejak zaman Belanda hingga transmigrasi juga datang dengan membawa pola produksi pangan sendiri, dalam hal ini cetak sawah.
Sedari awal, sumber pangan lokal di Merauke, dalam hal ini sagu dan umbi-umbian cenderung dipandang lebih rendah derajatnya oleh para pendatang. Apalagi, sejak era Orde Baru, kebijakan nasional cenderung meminggirkan pangan lokal dengan menjadikan beras menjadi ukuran kesejahteraan nasional. Upaya pemenuhan pangan nasional juga identik dengan pemenuhan beras dan kekurangan pangan identik dengan kekurangan beras.
Namun pengaruh mereka pada perubahan pola makan masyarakat lokal di Merauke baru terjadi sejak 1990-an, ketika produksi beras di sentra transmigrasi mulai stabil. Hal ini dikisahkan Paijan (45), transmigran dari Jawa yang kini membuka kios di Kampung Baad, Distrik Animha.
"Dulu saya masuk ke kampung-kampung Marind dengan sepeda motor bawa nasi bungkus dan pisang goreng. Pulangnya membeli hasil hutan di kampung untuk dijual ke kota," kata dia.
Para pedagang dari luar yang datang ke kampung-kampung Marind Anim umumnya mencari beragam hasil hutan, mulai dari tanduk rusa, aneka jenis burung, kulit buaya, dan belakangan ikan air tawar. Para pedagang ini biasanya akan memberi modal berupa bahan makanan atau kerap disingkat bama sebagai bekal masyarakat lokal ini untuk mengumpulkan hasil hutan.
"Beras dan mi instan, rokok, gula, sirih, dan tembakau menjadi yang utama. Hasil dari hutan ini kemudian dipotong biaya bama," kata Paijan.
Belakangan, sejak 2000-an, sudah banyak pendatang yang membuka kios-kios di perkampungan Marind Anim, yang mempercepat perubahan pola makan. Beras dan mi instan semakin mendominasi, menggeser sagu dan umbi-umbian. Namun, hingga saat itu, masyarakat lokal Merauke masih bisa memenuhi protein dari binatang liar dan ikan yang berlimpah.
Pengaruh korporasi
Perubahan besar-besaran di Merauke, terutama terjadi sejak 2010, seiring dengan masuknya proyek raksasa Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan target awal konversi lahan hingga 2,5 juta ha. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua sebenarnya hanya mengalokasikan lahan untuk pengembangan MIFEE di Kabupaten Merauke seluas 552.316 ha, namun tetap saja proyek ini memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran di Merauke.
"Sebelum proyek MIFEE ini diresmikan pada 2010, sebelumnya lahan sudah dikapling oleh sedikitnya 37 perusahaan. MIFEE itu namanya saja yang pangan, sebagian besar investor yang masuk untuk sawit dan HTI (hutan tanaman industri). Hanya satu perusahaan yang mencoba mengembangkan padi, tapi itu pun gagal," kata Dwi Andreas, Guru Besar Bioteknologi Tanah IPB University.
Menurut Dwi, dibandingkan berupaya untuk membangun lumbung pangan, proyek MIFEE pada akhirnya lebih pada penguasaan lahan korporasi besar. Masalah keberadaan korporasi dengan konsesi lahan besar ini menyebabkan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumber pangan terpenting, yaitu protein hewani, khususnya yang bersumber binatang liar.
Baca juga: Kulit dan Tulang untuk Anak-Anak
Jika beras bisa dibeli, kebutuhan daging tidak mungkin dipasok dari luar. Hal inilah yang kemudian memicu fenomena konsumsi nasi kosong dan nasi dengan mi instan di perkampungan Marind Anim.
Ketidakberdayaan penduduk lokal untuk memenuhi asupan gizi karena kehilangan akses terhadap sumber daya alam ini diperparah dengan gelontoran aneka bahan makanan instan, termasuk juga minuman berpemanis. Hal ini melengkapi derita mereka sebagai obyek dari gastrokolonialisme atau penjajahan pangan, sebagaimana diungkapkan Sophie Chao, antropolog dan sejarawan dari Universitas Sydney dalam laporan studinya tentang Merauke di The International Journal of Human Rights pada 2021.
Istilah gastrokoloniasme sendiri awalnya dipakai Craig Santos Perez, peneliti dari komunitas adat Chamoru di Kepulauan Pasifik Guam, untuk menggambarkan erosi jalan pangan dan kesehatan masyarakat Hawaii yang dipicu oleh impor massal, dan meningkatnya ketergantungan masyarakat lokal pada komoditas olahan murah yang diproduksi oleh konglomerasi multinasional (Kenyon Review, 2013).
Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center