Proyek lumbung pangan yang digagas pemerintah telah menyebabkan limbung pangan mulai dari Kalimantan Tengah hingga Merauke.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Anak-anak Dorce Gebze (30) di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, tengah memakan nasi tanpa lauk-pauk atau biasa mereka sebut nasi kosong, Kamis (10/11/2022).
Pembukaan hutan dan gambut demi proyek lumbung pangan telah menghancurkan hutan dan keanekaragaman hayati, menyedot sumber air kita, dan menjadi sumber emisi utama gas rumah kaca. Meski demikian, seperempat makanan yang dihasilkan terbuang sia-sia, separuh lebih penduduk atau 183,7 juta jiwa tak mampu makan makanan bergizi, 24,4 persen anak stunting atau tengkes, dan pada saat yang sama obesitas terus meningkat.
Di tengah situasi ini, pemerintah melalui Perum Bulog berencana mengimpor beras, yang kemudian menuai kontroversi. Pada saat yang sama, diam-diam impor gandum di Indonesia telah mencapai 11,2 juta ton (Index Mundi). Ini menjadikan kita sebagai negara pengimpor gandum terbesar di dunia, dengan nilai impor pada 2021 mencapai 3,5 miliar dollar AS.
Angka-angka ini akan terus memburuk saat krisis iklim menghangat, cuaca kian tak menentu, intrusi dan kenaikan air laut meluas, krisis politik dan pandemi tak kunjung usai, sementara populasi bertumbuh dan urbanisasi semakin menjadi.
Lalu, apa kabar dengan lumbung pangan kita?
Di Kalimantan Tengah, tanaman singkong yang ditanam di atas lahan bekas hutan di Kabupaten Gunung Emas belum juga bisa dipanen setelah dua tahun. Sementara itu, cetak sawah baru yang dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas tidak bisa menggantikan sistem perladangan tradisional Dayak Ngaju, yang sebelumnya telah dilarang.
Tradisi bertani yang dipraktikkan turun-temurun selama ribuan tahun oleh masyarakat Dayak Ngaju itu berakhir karena larangan membuka ladang dengan membakar. Tidak hanya melemahkan ketahanan pangan, yang dibuktikan dengan turunnya produksi pangan di Kalimantan Tengah, berhentinya peladangan menyebabkan krisis multidimensi di perdesaan, mulai dari hilangnya keragaman benih tanaman yang diwariskan turun-temurun hingga maraknya pernikahan remaja karena tingginya angka putus sekolah.
Bagi peladang Dayak Ngaju di Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kapuas, kehancuran sosial dan ekonomi yang mereka alami dari larangan berladang saat ini melebihi dampak buruk proyek Pengolahan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar pada 1996, yang kemudian memicu kebakaran lahan dan hutan hebat pada 1997/1998.
Dengan dukungan Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center, kami telahmelaporkan ambruknya sistem pangan lokal dan sengkarut proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah ini dalam seri tulisan di Kompas pada Agustus 2022.
Kini, kami kembali memotret hal serupa di Merauke, Papua, di kawasan yang menjadi awal dari segala proyek food estate yang saat ini dijalankan pemerintah di banyak daerah. Mengacu Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023, program food estate menjadi proyek prioritas strategis (major project).
Program pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan (food estate) berlokasi di tujuh wilayah, yaitu Banyuasin (Sumatera Selatan), Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), Kapuas dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Belu dan Sumba Tengah (NTT), serta Merauke (Papua Selatan).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pompa air peninggalan Belanda yang digunakan untuk mengairi areal persawahan di Kampung Wonorejo, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Selasa (8/11/2022). Wilayah di timur Indonesia itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1939-1958) pernah dikembangkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik.
Dalam perpres ini, proyek raksasa food estate dicita-citakan bisa meningkatkan ketersediaan beras secara nasional mencapai 45,4 juta ton dan produksi jagung 34,12 juta ton. Tidak hanya itu, juga bertujuan meningkatkan nilai tukar petani dan nilai tambah tenaga kerja pertanian. Pendanaan berasal dari APBN dengan anggaran program food estate selama setahun Rp 235,469 miliar.
Pada November 2022, kami melakukan reportase dan survei kuantitatif untuk memotret kondisi masyarakat dan lingkungan di Merauke, 12 tahun setelah diresmikannya proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010.
Proyek lumbung pangan yang dipromosikan dengan slogan ”beri makan Indonesia dan beri makan dunia” ini menargetkan untuk mengonversi sedikitnya 1,2 juta ha lahan dan hutan yang dulu adalah ulayat Marind-anim menjadi agroindustri, perkebunan, dan kayu. Sejak itu, masyarakat adat Marind-anim yang semula hidup dengan berburu dan meramu hasil hutan harus berhadapan dengan puluhan perusahaan raksasa yang hendak mengakuisisi ulayat mereka.
Jauh di perkampungan, yang harus ditempuh melalui jalan penuh lubang selama berjam-jam, kami juga melihat dominasi beras dan mi instan yang menggeser aneka sumber pangan tradisional, seperti sagu dan umbi-umbian.
Dalam perjalanan di kampung-kampung yang dihuni Marind-anim, kami melihat hutan-hutan yang telah dan sedang dibabat, sebagian mulai digantikan tanaman sawit. Cetak sawah baru terus dilakukan, tetapi sebagian kembali menjadi semak belukar karena tak bisa digarap.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga bersiap mencari ikan melintasi Sungai Kumbe di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Sabtu (12/11/2022). Kini, warga khawatir akan kondisi air sungai yang terus berubah. Aliran air tampak memerah dan keruh dalam beberapa tahun terakhir, utamanya saat perkebunan sawit di bagian hulu telah terbuka.
Jauh di perkampungan, yang harus ditempuh melalui jalan penuh lubang selama berjam-jam, kami juga melihat dominasi beras dan mi instan yang menggeser aneka sumber pangan tradisional, seperti sagu dan umbi-umbian. Hutan yang menipis juga memaksa pemburu dan peramu Marind-anim beralih mengonsumsi aneka pangan instan dan olahan.
Anak-anak memakan nasi kosong, tanpa lauk dan sayur, dan mengunyah mi instan mentah menjadi pemandangan yang mudah dijumpai. Berbagai produk minuman kemasan berpemanis, biskuit, dan gula-gula menjadi makanan favorit anak-anak di sana. Sementara itu, orangtua tak berhenti mengunyah pinang dan merokok.
Para pemburu-peramu yang sebelumnya berdaulat pangan dari hutan mereka kini sepenuhnya tergantung pada pangan yang harus didatangkan dari luar, dengan kualitas yang memburuk. Bagaimana dampak perubahan ini terhadap kesehatan mereka? Bagaimana pula dampaknya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat? Bagaimana masa depan Marind-anim di tengah perubahan ini? Dan, bagaimana mengisi lumbung pangan Indonesia agar tidak membuat limbung masyarakat dan lingkungan lokal?
Laporan lengkap mengenai hal ini bisa diikuti segera di harian Kompas dan Kompas.id.