Benteng Terakhir Marind Anim yang Terancam
Hasil ikan rawa dan sungai menjadi benteng terakhir bagi orang Marind-Anim untuk memenuhi gizi, setelah binatang buruan semakin langka karena hutan yang menyusut. Namun, sistem perairan mereka pun mulai tercemar.
Warga menunggu jaring ikan di rawa-rawa di pinggir Sungai Kumbe di Kampung Baad, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Sabtu (12/11/2022).
Begitu jaring diturunkan, saat itu juga air di Rawa Yakau bergolak. Timatius Ndiken (38), warga Kampung Baad, Distrik Animha, Merauke, segera mengangkat ikan mujair berukuran jumbo. Hasil ikan di sistem rawa ini menjadi benteng terakhir bagi orang Marind Anim untuk memenuhi gizi, setelah binatang buruan makin langka karena hutan yang menyusut.
Timatius berdiri kokoh di atas yafun, sampan dari batang kayu utuh, yang membelah rawa-rawa pada Sabtu (12/11/2022) sore, sambil mengulur jaring. Sesekali dia berjongkok untuk menancapkan tiang jaring ke dasar rawa. Di bagian belakang sampan, Alfonso Mahuze (38) mematikan mesin, kemudian mendayung dengan tenang.
“Sudah dapat dua ekor. Tunggu saja satu jam, sudah penuh nanti,” teriak Timatius memperlihatkan mujair yang lebih lebar telapak tangannya. jelang sore Sabtu (12/11/2022), di Kampung Baad, Distrik Animha, Merauke.
Menurut Timatius, dalam sehari minimal bisa mendapatkan ikan sebanyak 15 tusuk. Satu tusuk ini biasa berisi tiga hingga lima ekor mujair ukuran jumbo. Satu tusuk ikan mujair biasa dijual ke pengepul seharga Rp 15.000, sehingga minimal dalam sehari ia bisa mendapatkan Rp 225.000. Saat musim hujan tiba, ia bisa mengumpulkan ikan sebanyak 40 tusuk sehari, tentu saja pendapatannya akan berlipat.
Baca juga : Kegagalan Berulang Lumbung Pangan
Pengeluaran utama dalam menjaring adalah bahan bakar untuk mesin tempel. Dibutuhkan sekitar empat liter bahan bakar guna menyeberangi Kali Kumbe menuju rawa-rawa, dan kembali pulang ke kampung. Setelah dikurangi bensin, pendapatan bersih dari mencari ikan di kisaran Rp 200.000 per hari, atau Rp 6 juta dalam sebulan.
Hampir seluruh warga Marind-Anim di Kampung Baad, yang berjumlah 445 jiwa menggantungkan hidup dari mencari ikan. Tak hanya lelaki dewasa, anak-anak dan perempuan juga banyak yang mencari ikan, baik untuk dikonsumsi sendiri, dan terutama untuk dijual.
"Kalau dulu setiap hari kami makan daging, sekarang ikan. Daging sudah sangat jarang karena hutannya sudah berkurang. Kalau ikan memang masih banyak, asal mau mencari saja pasti dapat," kata Lambert Ndiken (67), tokoh adat Kampung Baad.
Hasil survei Kompas menemukan, dengan menggantungkan hidup dari menangkap ikan, warga Baad rata-rata memiliki pendapatan jauh lebih tinggi dibandingkan warga Kampung Zanegi, juga di Distrik Animha, yang menggantungkan hidup dari menjual dahan dan ranting ke perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Bahkan, pendapatan warga Kampung Baad, juga lebih tinggi dari para petani padi di kampung transmigran Wonolelo, Distrik Kurik dan Kampung Bokem.
Dari aspek pemenuhan gizi, Kampung Baad juga masih yang paling baik dibandingkan kampung lain. Data Dinas Kesehatan Merauke menunjukkan, kasus stunting atau tengkes di Baad pada Agustus 2022 ditemukan 3 dari 34 balita yang diukur atau 8,8 persen. Sementara di Kampung Zanegi sebanyak 14 dari 38 balita yang diukur atau 36,8 persen.
Kalau dulu setiap hari kami makan daging, sekarang ikan. Daging sudah sangat jarang karena hutannya sudah berkurang. Kalau ikan memang masih banyak, asal mau mencari saja pasti dapat.
Bidan di Puskesmas Pembantu Kampung Baad, La Zalika menuturkan, kasus gizi buruk dan kurang gizi memang masih ditemukan di kampung ini. Namun, hal ini terutama karena kesalahan pola makan, dalam hal ini banyaknya asupan makanan instan, seperti mi instan.
Baca juga : Survei ”Kompas”: Beras dan Mi Instan Membelenggu Keberlangsungan Pangan Papua
“Tahun ini, dari 110 bayi dan balita ada lima anak yang masuk dalam kategori gizi kurang. Karena itu tadi, lebih memilih makan jajanan, atau nasi kosong saja,” Zalika. Nasi kosong adalah sebutan nasi tanpa lauk apa pun juga.
Sebagian masyarakat di Baad, terutama anak-anak dan anak muda, sudah terpengaruh dengan makanan instan dan olahan. Hal ini menyebabkan sebagian orang menjual semua hasil tangkapan ikan mereka dan kemudian dibelikan beras, mi instan, ataupun jajanan lain, bahkan juga minuman berpemanis.
Sungai Kumbe dan rawa-rawa di Kampung Baad, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (10/11/2022).
Ancaman ke depan
Secara geografis, Kampung Baad lebih diuntungkan dibandingkan kampung tetangga mereka Zanegi. Selain masih memiliki hutan, yang belakangan juga mulai dibuka HTI, Baad dikelilingi Sungai Kumbe dan sistem rawa-rawa besar. Maka, ketika hutan mereka juga mulai menyusut--hanya soal waktu akan seperti Zanegi, mereka masih bisa menggantungkan hidup pada rawa-rawa dan sungai.
Sekalipun demikian, ancaman terhadap keberlanjutan sistem rawa dan sungai bukannya tidak terjadi. Lambert Ndiken mengatakan, perkebunan sawit dan pabrik pengolahan sawit yang bermunculan di hulu Sungai Kumbe mulai dirasakan dampaknya bagi nelayan Baad. "Sungai Kumbe mulai tercemar dan ikan semakin kurang, jika dibandingkan dulu," kata dia.
Marius Ndiken (58), warga Baad lainnya menuturkan, ikan di Sungai Kumbe memang jauh berkurang dibandingkan akhir tahun 2000-an. Saat menjaring di sungai, ia bisa mendapatkan 30 tusuk dalam beberapa jam saja. Bahkan, ia pernah menjaring ikan hingga 60 tusuk dalam satu malam.
Baca juga : Limbung Pangan di Merauke
Sekarang, hal itu tidak mungkin lagi didapatkan. Menurut Marius, salah satu hal yang paling terlihat adalah berubahnya kondisi sungai. Air tak lagi jernih dan berubah merah. Bahkan, belakangan ia tidak lagi mandi di sungai karena sering merasa gatal. Data Pustu Baad, penyakit kulit dan gatal-gatal menempati peringkat tertinggi penyakit yang sering diderita warga.
Timatius membenarkan adanya perubahan ini. Sebelumnya dia lebih banyak menjaring di tepi sungai, namun belakangan harus semakin jauh ke rawa-rawa milik ulayat Marga Ndiken. “Ikan di sekitar sungai sudah sedikit, jadi kita memang semakin menjauh ke rawa-rawa,” tuturnya.
Menurut Timatius, kondisi air sungai memang telah berubah. "Airnya sering tampak memerah, dan keruh. Kondisi ini baru beberapa tahun terakhir, utamanya saat perkebunan sawit di bagian hulu telah terbuka," ujarnya.
Dia juga mulai merasakan perubahan ikan yang ditangkapnya, khususnya gastor atau gabus toraja. “Ikan gastor itu kepalanya besar saja. Kulit sudah keras sekali. Tidak tahu apa sebabnya," ujarnya.
Kemunculan perkebunan sawit di Merauke tidak bisa dilepaskan dari konsesi yang diberikan pemerintah dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program nasional ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu, yang kemudian memicu konsesi lahan besar-besaran untuk perkebunan HTI dan sawit.
Di bagian hulu Sungai Kumbe, di sekitar Distrik Muting, perkebunan sawit telah mendominasi, menggantikan hutan rimba. Aam (51), warga Kampung Andaito, Distrik Muting, mengatakan, Kali Kumbe atau disebut Kali Kum sudah tercemar. "Kalau cari ikan di Kali Kum semakin sulit. Kalau dulu, pulang mancing karung penuh. Sekarang cari satu dua ekor saja sulit," kata dia.
Aam kemudian mengajak untuk menelusuri saluran pipa pembuangan dari pabrik yang mengarah ke arah sungai. "Dari situ sumbernya," kata dia.
Tak hanya sungai yang tercemar, dari ujung Kampung Andaito itu, bau busuk dari limbah pabrik sawit tercium tajam. Bersama tiupan angin, bau busuk bertahan dan memenuhi seisi udara di kampung yang dihuni banyak transmigran dan pendatang tersebut.
Baca juga : Gastrokolonialisme di Merauke, Dari Transmigrasi Hingga Korporasi
Agustinus Mahuze (39), Ketua Marga Mahuze Besar di Distrik Muting, mengungkapkan hal senada, air sungai berubah memerah. “Karena itulah kami tidak mau kalau hutan kami yang tersisa ini dibuka untuk sawit lagi. Hutan itu tempat kami cari makan dan warisan untuk anak cucu kami. Kalau hutan habis mereka nanti mau makan apa?” jelasnya.
Di Muting, hanya Marga Mahuze Besar, yang masih bertahan untuk tidak menyerahkan hutannya kepada perusahaan sawit. Padahal kehancuran hutan di hulu juga bakal berdampak pada sistem sungai dan rawa-rawa di daerah hilir seperti Kampung Baad, yang kini hanya tinggal mengandalkan ikan untuk bertahan....