Gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat tidak cukup kuat menggugah pemerintah dan DPR untuk menghapus sejumlah pasal bermasalah dalam RUU KUHP. Beberapa di antaranya berpotensi mengancam kebebasan pers.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Pers berfungsi sebagai kontrol sosial dengan salah satu perannya mengkritik hal-hal terkait kepentingan umum. Lalu, bagaimana jika upaya menjalankan fungsi dan peran itu dihadapkan pada sejumlah pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers?
Sejak digulirkan beberapa tahun lalu, pembahasan Rancangan KUHP telah memantik perhatian publik, termasuk komunitas pers. Gelombang demonstrasi penolakan pun dilakukan di sejumlah daerah. Namun, RKUHP itu tetap disetujui disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, Selasa (6/12/2022). Terdapat tenggat tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan.
Hal ini menimbulkan kecemasan dan keresahan, tidak terkecuali bagi kalangan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Muncul kekhawatiran kebebasan pers yang diperjuangkan pasca-Orde Baru itu akan tergerus.
”Setiap pekerjaan jurnalistik memang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, di sisi lain, kita juga punya banyak undang-undang yang bisa mencekam, seperti KUHP yang baru dan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin dalam seminar ”Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital”, di Jakarta, Jumat (9/12/2022). Seminar digelar dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kebebasan Pers.
Tidak jarang wartawan dipidana karena menjalankan kerja jurnalistik. Padahal, mekanisme penyelesaian masalah pemberitaan diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers.
”Banyak jurnalis dikriminalisasi menggunakan pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan ujaran kebencian,” ucapnya.
Di sisi lain, jurnalis juga rentan mengalami serangan siber atau peretasan. September lalu, misalnya, puluhan awak redaksi dan eks karyawan Narasi TV mengalami percobaan peretasan akun media sosialnya.
Akibat serangan DDos (distributed denial of service) atau penolakan layanan secara terdistribusi itu, situs web Narasi sempat down sehingga mengganggu kerja redaksinya. Serangan serupa dialami situs web Konde.co pada 24 Oktober 2022. Hal ini terjadi sekitar empat jam setelah portal itu menerbitkan berita kasus dugaan perkosaan yang terjadi di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Serangan digital dan peretasan terhadap media dan wartawan di Indonesia bukanlah pertama kali terjadi. Pada Februari 2022, akun Whatsapp, Instagram, Facebook, dan nomor ponsel pribadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas.
Pada Oktober 2021, situs media daring Project Multatuli terkena serangan DDoS yang menyebabkan situsnya tidak dapat dibuka. Setahun sebelumnya, situs Tirto, Tempo, dan Magdalene mengalami serangan serupa.
Beberapa kasus tersebut telah dilaporkan ke aparat penegak hukum. ”Sampai saat ini, progresnya (pengusutan kasus) masih kami tunggu. Dalam kasus serangan digital seperti ini, sangat penting agar wartawan dan media mendapatkan keadilan dalam melaksanakan kerja-kerja jurnalistik,” tuturnya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, jurnalis merupakan profesi yang mendapatkan banyak ancaman dan tantangan dalam bertugas. Jurnalis bekerja mencari dan menyebarkan informasi yang menjadi kepentingan publik.
Tidak jarang wartawan dipidana karena menjalankan kerja jurnalistik. Padahal, mekanisme penyelesaian masalah pemberitaan diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers.
”Oleh karena itu, profesi jurnalis masuk kategori pembela HAM. Memberikan masyarakat akses terhadap informasi serta mengkritik otoritas, pemerintah, penguasa, dan pihak lainnya yang berpotensi menghambat terpenuhinya HAM,” ujarnya.
Pasal defamasi
Menurut Atnike, masih terdapat sejumlah regulasi yang membuka ruang untuk mengkriminalisasi jurnalis atau individu dalam mengutarakan pandangannya, apalagi jika mengkritik otoritas atau penguasa.
Ia menyoroti pasal defamasi di KUHP, terutama mengenai pencemaran nama baik terhadap pejabat publik. Padahal, salah satu tugas utama jurnalis adalah mencari informasi dan mengkritik kinerja serta kebijakan pejabat publik.
”Jika tidak ada perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan fungsi kritik dan pengawasan itu, jurnalis akan terancam, begitu juga dengan kebebasan berekspresi,” katanya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengatakan, KUHP tidak spesifik mengatur pers. Oleh karena itu, pers tetap diatur menggunakan UU No 40/1999.
Sementara itu, terkait pasal penghinaan, menurut dia, hal itu berbeda dengan mengkritik. ”Saya sering contohkan begini. Kalau kita mengatakan pejabat A lambat, itu kritik. Namun, kalau dikatakan pejabat itu lambat seperti kerbau, bisa dikategorikan menghina,” katanya.
Pasal penghinaan dalam KUHP, termasuk terhadap presiden dan wakil presiden, merupakan delik aduan. Artinya, orang bersangkutan yang merasa dihina yang melaporkan atas pasal tersebut.
Peneliti Center of Digital Society Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Kurnia, menuturkan, persoalan dalam pasal defamasi adalah mendefinisikan konteks pencemaran nama baik. Sebab, hal ini sangat mungkin menimbulkan penafsiran berbeda dari berbagai pihak.
”Ini juga sering sekali menjadi pasal karet. Penafsiran di penegak hukum penting untuk didiskusikan,” ucapnya.
Serangan siber meningkat
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyebutkan, serangan daring atau siber tidak hanya dialami oleh jurnalis, tetapi juga aktivis dan pembela HAM. Serangan siber terhadap kelompok ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2020 jumlahnya 147 kasus. Setahun berselang bertambah menjadi 193 kasus. ”Hingga kuartal 2022, angkanya sudah sampai 200 kasus. Artinya, serangan itu terus terjadi terhadap kelompok berisiko, termasuk jurnalis,” ucapnya.
Menurut Damar, gempuran serangan siber itu tak boleh dibiarkan. Jika tidak segera diatasi, intensitasnya diprediksi akan terus bertambah mendekati tahun politik pada 2024.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, pihaknya siap menerima laporan jika ada kasus kekerasan, pelecehan, atau serangan daring terhadap jurnalis yang mandek. ”Barangkali sebagai masukan dan kritik kepada kami ketika ada kasus-kasus yang penegakan hukumnya atau progresnya tidak berjalan, kami siap menjembatani laporan dari rekan-rekan jurnalis,” katanya.