Buka Ruang Partisipasi untuk Mengubah Pasal Ancaman Kemerdekaan Pers
Sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Pemerintah dan DPR didorong membuka ruang untuk mengubah pasal-pasal bermasalah pada tenggat waktu tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun diwarnai sejumlah protes, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP tetap disetujui disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Dewan Pers mencatat sejumlah pasal berpotensi mengkriminalisasi wartawan serta mengancam kemerdekaan pers, berpendapat, dan berekspresi. Pemerintah dan DPR didorong membuka ruang partisipasi untuk mengubah pasal-pasal bermasalah pada tenggat waktu tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan.
Sebelum disahkan menjadi undang-undang (UU), Dewan Pers telah menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Beberapa di antaranya, pasal 188 yang mengatur tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, serta pasal 218, 219, dan 220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil Presiden.
Ada juga pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Akan tetapi, masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR itu tidak memperoleh tanggapan balik atau feedback. Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, jika pasal-pasal bermasalah itu dipertahankan, sangat potensial mengkriminalisasi kerja-kerja jurnalistik.
“Masih ada jeda waktu tiga tahun sebelum pemberlakuan (UU KUHP). Buka ruang partisipasi untuk melakukan perubahan atas beberapa pasal yang krusial,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Menurut Ninik, pembukaan ruang partisipasi itu bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik. Sebab, proses legislasi memerlukan partisipasi bermakna dari masyarakat.
“Buka ruang itu dahulu sebelum dibawa (uji materi) ke MK (Mahkamah Konstitusi). Jangan langsung dilemparkan ke publik yang masih syok dengan putusan ini (pengesahan UU KUHP),” katanya.
Ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU 40/1999. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers
Ninik menuturkan, pihaknya juga telah menyarankan agar simulasi kasus atas beberapa ketentuan yang akan dirumuskan dalam RKUHP dilakukan. Hal ini penting untuk melihat potensi kriminalisasi terhadap jurnalis jika dihadapkan pada pasal-pasal bermasalah tersebut.
“Kalau Dewan Pers, akademisi, dan publik menilai masih ada pasal yang rentan mengkriminalisasi kerja-kerja jurnalistik, lalu bagaimana yang akan dihadapi para penegak hukum? Padahal, hukum pidana itu lex scripta (sesuai apa yang tertulis) agar tidak multitafsir,” jelasnya.
Ninik menambahkan, Dewan Pers dan Polri mempunyai nota kesepahaman (MoU) terkait koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers. MoU ini memberikan ruang agar kasus-kasus pers diselesaikan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Ini sebenarnya langkah maju karena dengan begitu ada kesamaan pandangan. Namun, dengan adanya KUHP (baru) ini, sama saja mematikan UU 40/1999,” katanya.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Arif Zulkifli menyampaikan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU 40/1999. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, pemerintah menghormati perbedaan pendapat terkait RKUHP dan mempersilakan jika ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pemerintah juga akan menyosialisasikan KUHP baru secara intensif selama tiga tahun ke depan.
Tidak berlaku
Menurut pakar hukum pers dan kode etik jurnalistik, Wina Armada, KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers. Sebab, UU Pers bersifat undang-undang yang diutamakan sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan sesuai dengan UU tersebut.
“Bukan UU dan peraturan lain, termasuk dalam hal ini bukan pula diatur oleh KUHP yang baru disahkan,” ujarnya lewat keterangan tertulis.
Selain itu, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri. Artinya, segala urusan terkait pers telah dan akan diatur sendiri berdasarkan ketentuan yang disepakati oleh masyarakat pers.
Wina menambahkan, salah satu peran utama pers adalah mengkritik hal-hal terkait kepentingan umum. Untuk mendukung peran itu, UU Pers sudah menegaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan.
Menurut dia, hak mengkritik itu tetap melekat pada pers dan tidak dapat dibungkam, termasuk melalui KUHP. Ia khawatir, pelaksanaan pasal-pasal yang terkait penghinaan dalam KUHP kelak dapat menimbulkan kerancuan antara tafsir kritik dengan penghinaan dan fitnah terhadap penguasa.