Serangan Digital terhadap Media dan Jurnalis Ancam Kebebasan Pers
Sedikitnya tiga media, yaitu Narasi, Konde.co, dan Batamnews.co.id, menjadi korban kekerasan digital dalam sebulan terakhir. Hal ini mendesak untuk diungkap karena mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan digital terhadap media dan wartawan di Indonesia terus terjadi. Hal ini mengganggu kerja jurnalistik sekaligus menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers sehingga mendesak untuk diungkap.
Sedikitnya, tiga media, yaitu Narasi, Konde.co, dan Batamnews.co.id, menjadi korban kekerasan digital dalam sebulan terakhir. Laman ketiga media itu mengalami serangan distributed denial of service (DDos) atau penolakan layanan secara terdistribusi.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, kekerasan digital terhadap media dan jurnalis tidak boleh dibiarkan. Sebab, hal itu telah membungkam kebebasan pers di Tanah Air.
”Tujuannya (serangan digital) untuk meneror supaya media dan jurnalis tidak menulis atau memberitakan lagi. Ini mengancam kebebasan pers,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Teror itu berusaha menakut-nakuti jurnalis. Menurut Arif, serangan digital berkorelasi dengan liputan tertentu yang ditayangkan media atau dikerjakan wartawan.
”Tentu, sifatnya masih dugaan. Namun, jika melihat polanya, sulit untuk mengatakan tidak ada kaitannya,” ucapnya.
Dewan Pers telah menggelar rapat klarifikasi terkait serangan DDoS tersebut, Rabu (26/10/2022). Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan ketiga media yang menjadi korban kekerasan digital.
Narasi TV mengalami serangkaian kekerasan digital pada 23-26 September 2022. Sebanyak 37 awak redaksi, termasuk eks karyawan, mengalami percobaan peretasan pada akun media sosialnya.
Selain itu, akibat serangan DDoS, laman Narasi juga sempat down sehingga mengganggu kerja redaksinya. Kasus ini telah dilaporkan ke Bareskrim Polri agar diproses secara hukum.
Serangan serupa dialami situs web Konde.co pada 24 Oktober 2022. Hal ini terjadi sekitar empat jam setelah menerbitkan berita kasus dugaan perkosaan yang terjadi di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Situs ini tidak bisa diakses setelah pemberitaan tersebut ramai dibahas, termasuk di media sosial.
Sementara laman Batamnews.co.id juga mengalami serangan DDoS sejak pertengahan Oktober 2022. Hal ini terjadi setelah portal media tersebut menayangkan berita kasus penyelundupan di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Berulang
Serangan digital dan peretasan terhadap media dan wartawan di Indonesia bukanlah pertama kali terjadi. Pada Februari 2022, akun WhatsApp, Instagram, Facebook, dan nomor ponsel pribadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas.
Pembiaran kekerasan digital berdampak buruk kepada pers. Jurnalis dan media akan berpikir berkali-kali untuk menulis berita kritis.
Pada Oktober 2021, situs media daring Project Multatuli terkena serangan DDoS yang menyebabkan situsnya tidak dapat dibuka. Setahun sebelumnya, situs Tirto, Tempo, dan Magdalene juga mengalami serangan serupa.
Serangan digital yang terus berulang menjadi catatan penting untuk mengungkap kasusnya. ”Jika terus dibiarkan dan tidak ada kemajuan penanganan kasus oleh penegak hukum, pelakunya merasa menang dan berpotensi melakukannya lagi,” ujar Arif.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil mengecam serangan digital tersebut. Serangan itu menghambat kerja-kerja jurnalistik dan merupakan upaya pembungkaman kebebasan pers.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, menuturkan, serangan digital terhadap media perlu mendapatkan perhatian serius dari aparat penegak hukum. Sebab, jejak-jejak kekerasan digital di internet mudah dihapus sehingga menyulitkan untuk ditelusuri.
“Semakin lama diproses, semakin rumit pula untuk diungkap. Selain itu, tidak memberikan efek jera pada pelakunya,” ujarnya.
Ade menambahkan, perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik merupakan salah satu indikator kebebasan dalam negara demokrasi. Namun, jurnalis di Indonesia masih rentan mengalami kekerasan, termasuk dari aparatur pemerintah.
“Ini jadi tanda tanya besar. Sejauh mana mereka memahami Undang-Undang Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999). Jika ada keberatan (pemberitaan), ada mekanisme hak jawab,” jelasnya.
Perkuat sistem digital
Arif mengatakan, di era sekarang, media dan jurnalis tidak hanya menghadapi ancaman kekerasan fisik, tetapi juga digital. Serangan digital yang terus terjadi menjadi peringatan bagi lembaga pers untuk memperkuat sistem digitalnya.
”Hal ini penting karena serangan digital juga tidak kalah berbahaya. Teror itu bertujuan agar media menyensor beritanya sendiri. Padahal, pemberitaan itu dibutuhkan masyarakat,” katanya.
Pembiaran kekerasan digital berdampak buruk kepada pers. Jurnalis dan media akan berpikir berkali-kali untuk menulis berita kritis. Ini membuat publik dirugikan karena berkurangnya akses untuk mendapatkan informasi yang transparan dan penting.