Pendidikan Inklusif Menjadi Kebutuhan Daerah dan Penyandang Disabilitas
Pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada sistem pendidikan di Indonesia, khususnya bagi penyandang disabilitas, warga daerah terpencil dan tertinggal. Penguatan kapasitas guru dan teknologi agar menjadi fokus utama.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan tenaga pendidik dan teknologi berperan penting untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif di Indonesia. Hal ini khususnya bagi daerah terpencil dan tertinggal serta penyandang disabilitas yang masih terabaikan oleh sistem pendidikan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) I Nyoman Rudi Kurniawan mengutarakan, masa pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada sistem pendidikan di Indonesia.
”Pandemi (Covid-19) mengakibatkan terjadinya krisis pendidikan dan learning loss (kehilangan pembelajaran), terutama pada wilayah Indonesia terpencil dan tertinggal serta bagi penyandang disabilitas. Oleh karena itu, program strategis perlu lebih fleksibel dan mampu meningkatkan sarana pembelajaran dari guru sesuai dengan siswa,” tuturnya dalam Simposium Nasional Pembelajaran Digital Berkualitas untuk Semua secara daring, Rabu (23/11/2022).
Aplikasi sangat membantu proses belajar mengajar. Siswa dapat belajar secara kelompok untuk memecahkan masalah yang diberikan guru. Satu gawai dapat digunakan untuk empat siswa.
Akses pada berbagai konten digital untuk pengembangan karakter dan kompetensi siswa, menurut Rudi, menjadi penting. Untuk sekolah yang tidak mendapat akses internet, dapat diberikan materi dalam bentuk flashdisk. Ini semua menjadi krusial untuk mewujudkan sekolah yang aman, nyaman, inklusif, dan sesuai dengan kompetensi serta minat siswa.
Yoki Ariyana dari Balai Besar Guru Penggerak Jawa Barat mengatakan, peningkatan kompetensi guru sebagai pengajar akan mendorong pertumbuhan siswa secara holistik atau keseluruhan. Guru penggerak berperan sebagai agen transformasi pendidikan yang menjadi teladan bagi rekan guru lainnya serta siswa yang diajar.
”Seluruh aktivitas guru penggerak akan terintegrasi dengan program Kemendikbudristek lainnya sehingga daerah lain dapat memantau progres setiap daerah,” ujarnya.
Yoki menambahkan, meningkatkan kualitas siswa tidak melulu bergantung pada teknologi. Guru dapat memanfaatkan karakteristik yang dimiliki oleh daerah sebagai sumber informasi pembelajaran. Dengan begitu, guru perlu kreatif untuk mengembangkan cara mendidik dan menganalisis karakteristik setiap siswa yang diajar.
Oleh karena itu, Kepala Bidang Pendidikan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia Katheryn Bennet menekankan pentingnya kolaborasi dalam penyelenggaraan pembelajaran digital. Aplikasi yang disediakan swasta atau pemerintah perlu saling kolaborasi untuk memenuhi kebutuhan siswa setiap daerah.
Disabilitas
Merujuk data Bank Dunia 2021, terdapat 99.467 anak penyandang disabilitas yang menuntut ilmu di sekolah inklusif pada 2020. Namun, hanya 54 persen di antaranya yang lulus sekolah dasar (SD). Masih ada 30 persen anak disabilitas yang tidak mendapatkan pendidikan.
Ekonom senior Bank Dunia, Shinsaku Nomura, menyebutkan, hanya sebanyak 13 persen guru di sekolah inklusif yang mendapatkan pelatihan pendidikan inklusif. Guru dan orangtua anak penyandang disabilitas masih belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan anak disabilitas.
”Untuk anak penyandang disabilitas, dibutuhkan perlakuan khusus, seperti gabungan multidisiplin ilmu antara guru, orangtua, dan tenaga kesehatan. Akan semakin baik ketika memanfaatkan potensi teknologi yang sedang berkembang,” ujarnya.
Hal ini merupakan terobosan baru yang dapat diterapkan pada berbagai tipe anak penyandang disabilitas. Guru dan orangtua di daerah terpencil dan tertinggal akan terbantu dalam pengambilan keputusan serta menguatkan informasi data terkait penyandang disabilitas.
Peran teknologi
Dalam diskusi itu juga hadir perwakilan guru dari daerah terpencil dan tertinggal serta pelajar penyandang disabilitas. Salah satunya adalah Jamaluddin Jahuddin, guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 28 Makassar, yang berada di Pulau Barrang Lompo atau 11 mil (sekitar 17,7 kilometer) dari daratan Sulawesi Selatan.
Jamaluddin mengatakan, menjadi guru di daerah terpencil dan dikelilingi laut punya tantangan tersendiri, yakni akses listrik hanya pukul 18.00 hingga 06.00 dan jaringan internet yang masih dipengaruhi cuaca. Aplikasi yang dapat diakses tanpa menggunakan internet menjadi kebutuhan utama untuk mengajar, terutama pada masa pandemi Covid-19.
”Aplikasi sangat membantu proses belajar mengajar. Siswa dapat belajar secara kelompok untuk memecahkan masalah yang diberikan guru. Satu gawai dapat digunakan untuk empat siswa,” ujarnya.