Banyak Program Dijalankan, tetapi Pendidikan Berkualitas Masih Jauh
Pendidikan berkualitas masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Banyak program dan dana dikucurkan, tetapi belum berdampak signifikan untuk mendongkrak mutu pendidikan secara bermakna.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan yang berkualitas menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan untuk menghasilkan generasi muda bangsa yang cerdas dan berkarakter. Banyak program pendidikan yang sudah dirancang pemerintah pusat dan daerah serta diimplementasikan, tetapi belum juga mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan.
Pendidikan berkualitas tidak sekadar dimaknai sebagai akses pada sekolah. Kompleksitas untuk menghadirkan pendidikan berkualitas mesti diurai dengan komitmen eksosistem pendidikan secara berkelanjutan.
Di acara diskusi kelompok terpumpun bertajuk ”Meningkatkan Sebaran Pendidikan Berkualitas di Indonesia” di Jakarta, Senin (21/11/2022), Direktur Eksekutif Synergy Policies Dinna Prapto Rahardja mengatakan, sebenarnya sudah banyak program pendidikan yang didesain untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ada kurikulum, dana bantuan operasional sekolah (BOS), wajib belajar, larangan pungutan liar, pengawas sekolah, hingga rapor pendidikan. Namun, semua ini belum linier dengan kualitas pendidikan.
”Kami sedang meneliti dampak dari program-program pendidikan yang selama ini dilakukan di daerah, termasuk dari mitra pendidikan, seperti yang dilakukan Tanoto Foundation, untuk bisa melihat bagaimana pendidikan berkualitas bisa diwujudkan dan berdampak lebih luas lagi. Kami akan melihat apa yang terjadi di daerah-daerah dan membawanya untuk bisa menjadi pelajaran bersama mencapai pendidikan berkualitas yang lebih tersebar lagi,” tutur Dinna.
Menurut Dinna, pendidikan berkualitas bisa dilihat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs. Pendidikan dihadirkan secara inklusif, merata, dan belajar sepanjang hayat. Pendidikan menopang pembangunan yang ramah kemanusiaan, lingkungan, dan bertanggung jawab pada masa mendatang.
Dinna mengatakan, menurut UNESCO, variabel pendidikan berkualitas ialah karakteristik pembelajar/siswa, seperti ketekunan dan kesiapan sekolah. Ada juga konteks yakni sumber daya publik untuk pendidikan, dukungan orangtua, standar nasional, kebutuhan pasar tenaga kerja, faktor sosiokultural, dan agama. Faktor pemungkin materi yakni materi, sarana dan prasarana, guru dan kepala sekolah. Lalu proses belajar-mengajar yang, antara lain, meliputi waktu belajar, metode pembelajaran, penilaian, serta hasil/luaran yakni keterampilan literasi dan numerasi, nilai-nilai yang diserap, dan keahlian lainnya.
Buta matematika
Secara terpisah, Ahmad Rizali, pendiri dan Ketua Bidang III NU Circle sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas, di acara peringatan ulang tahun ke-4 Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka), mengatakan, pendidikan berkualitas masih sulit tercapai karena kompetensi dasar atau fundamental dalam literasi dan numerasi siswa dan masyarakat Indonesia masih rendah.
Hasil Programme for International Student Assesment (PISA) dan The Trend in International Mathematics and Science Study (TIMMS), dan Asesmen Nasional, menunjukkan hasil yang rendah. Sebanyak 76 persen anak Indonesia tidak mencapai level 2 yang merupakan level minimal untuk keluar dari kategori low achievers. Jumlah anak yang mencapai level tertinggi (level 5 dan 6) hanya 0,3 persen.
Demikian pula hasil program RISE (Research for Improving System in Education), penelitian multinegara berskala besar untuk mendukung peningkatan pembelajaran siswa di seluruh dunia, menunjukkan hasil mencengangkan. Hanya 9 persen anak usia 18 tahun yang mampu menjawab dengan benar soal pecahan 1/3-1/6.
”Jadi, saya pikir diperlukan sebuah gerakan masyarakat secara nasional untuk memberantas kebutaan matematika pada jenjang SD/MI,” kata Rizali.
Deklarator Gernas Tastaka, Fasli Jalal, mengatakan, gerakan untuk mendukung para guru SD/MI mengajarkan matematika secara bernalar dengan kesukarelawanan merupakan perjuangan yang sunyi, tetapi riil. ”Saya merasa seperti ’berutang’ karena saat menjadi birokrat belum sempat mencerdaskan bangsa secara optimal. Semoga masalah kualitas pendidikan, yang terlihat dari literasi dan numerasi yang masih rendah ini, bisa menjadi perhatian para calon presiden,” kata Fasli.
Jadi, saya pikir diperlukan sebuah gerakan masyarakat secara nasional untuk memberantas kebutaan matematika pada jenjang SD/MI.
Selama empat tahun, Gernas Tastaka bersinergi dengan berbagai pihak untuk melatih guru agar mampu mengajarkan matematika bernalar dan kontekstual. Bahkan, dengan Program Organisasi Penggerak, pelatihan terus diperluas di tujuh kabupaten dan tujuh provinsi.
”Gernas Tastaka tidak ada modal apa-apa. Kami hanya prihatin melihat kemampuan siswa Indonesia, khususnya SD dan MI, sangat rendah. Gerakan ini tumbuh dengan roh kerelawanan untuk perbaikan mutu guru mengajarkan matematika,” kata Rizali.
Emi Susanti, guru SD di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mengatakan, pelatihan matematika bernalar dan kontekstual membuat dirinya mulai memberikan keleluasaan pada siswa untuk bernalar. Cara menghitung dalam matematika tidak hanya satu cara, tetapi bisa menggunakan beberapa cara untuk satu permasalahan.
”Saya mendapatkan bahwa sangat penting bagi seorang guru untuk memberikan kesempatan kepada muridnya untuk mengembangkan ide-idenya sendiri dalam menyelesaikan soal-soal tanpa harus memaksakan kehendak guru,” kata Fitrinsngsih, guru SDN Inpres Kenanga 2, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.