Cegah Penyalahgunaan Dana, Regulasi dan Kode Etik Filantropi Dibutuhkan
Jumlah dana donasi yang tidak tercatat secara resmi bisa mencapai Rp 6 triliun. Karena itu, regulasi dan kode etik filantropi perlu segera disahkan.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan filantropi yang pesat di Indonesia membutuhkan regulasi dan kode etik. Hal ini bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas filantropi lantaran selama ini banyak permasalahan terkait penyalahgunaan penggunaan donasi yang merugikan masyarakat.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Badan Pengurus Filantropi Indonesia Hamid Abidin pada Kamis (17/11/2022), dalam diskusi bertajuk ”Mendorong Akuntabilitas dan Transparansi Filantropi”, di Jakarta. Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang selama ini menjadi rujukan dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman lantaran proses perizinan yang lama.
”Jika mau menggalang dana harus menentukan skalanya, tingkat lokal, regional, atau nasional. Hal ini membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bayangkan, bagaimana membantu orang kalau perizinannya lama?” kata Hamid yang sebelumnya menjadi Ketua Filantropi Indonesia.
Selain itu, UU PUB tidak mencakup kategori pengumpulan lainnya seperti pengumpulan zakat dan wakaf sehingga terkesan berjalan sendiri-sendiri. Selama ini UU PUB juga tidak mengatur ke mana aliran dana sosial yang terkumpul agar masyarakat dapat ikut memantau.
”Intinya kita (Filantropi) mendesak Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumbangan agar disahkan sehingga aturan terpusat pada satu UU. Selain itu RUU (rancangan undang undang) ini agar mencegah penyalahgunaan dana sosial,” ucap Hamid.
Sebelumnya, RUU tentang Pengelolaan Sumbangan telah diinisiasi sejak tahun 2020 oleh Filantropi Indonesia. Naskah akademik dan draf sudah disiapkan serta sosialisasi juga telah dilakukan. RUU ini sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi sampai saat ini masih dalam tahap daftar panjang.
”Sudah disampaikan juga ke Komisi VIII DPR. Kembali lagi mungkin masih dianggap tidak penting RUU ini. Maka dari itu, kita terus mendorong agar bisa dibahas di DPR. Sebab, dana masyarakat yang terkumpul untuk berdonasi sangat banyak,” ujar Hamid.
Mengenai dana masyarakat yang terkumpul untuk berdonasi, Ahmad Hambali, Deputi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI dan Ketua Badan Pengawas Perhimpunan Filantropi Indonesia mengatakan, jumlah dana donasi yang tidak tercatat secara resmi bisa mencapai Rp 6 triliun. ”Hal ini disayangkan jika tidak dimanfaatkan bagi warga yang membutuhkan,” ujar Ahmad.
Munculnya kasus penyelewengan dana oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) menunjukkan lemahnya penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) dalam kegiatan filantropi di Indonesia. Jika hal itu dibiarkan, fenomena malaadministrasi dan penyimpangan keuangan ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap keberadaan lembaga-lembaga filantropi.
Sebagaimana diberitakan di berbagai media, Aksi Cepat Tanggap merupakan salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2018 hingga 2020, lembaga ini dilaporkan mengumpulkan dana masyarakat Rp 500 miliar. Sebagai perbandingan, lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat dilaporkan media mengumpulkan dana masyarakat Rp 375 miliar dan Rp 224 miliar. Selain itu, ACT menjadi garda terdepan bantuan sosial di setiap peristiwa bencana alam di Indonesia.
Kedepankan etika
Kegiatan filantropi di Indonesia tercatat makin dinamis dan dibuktikan dengan Indonesia yang dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia selama lima kali berturut-turut sehingga membutuhkan kode etik yang mengatur dan menguatkan pengawasan terhadap aktivitas filantropi.
Menurut Rizal Algamar, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), PFI menerbitkan Kode Etik Filantropi Indonesia (KEFI) pada 2021. KEFI diperlukan karena banyak sekali pelaku filantropi berkembang. Bukan hanya kalangan kelas atas, melainkan juga masyarakat menengah ke bawah melakukan aktivitas filantropi. ”Jadi perlu ada etika bagaimana kita berfilantropi,” ungkapnya.
KEFI berguna untuk melindungi para donatur yang ingin melakukan kebaikan melalui penekanan pada tata kelola organisasi filantropi. Selain itu, etika filantropi turut mendorong lahirnya majelis etik untuk menangani berbagai persoalan yang kerap muncul di sektor filantropi.
Ketua Gugus Tugas KEFI dan Presiden Human Initiative Tomy Hendrajati mengatakan, PFI mendorong aktivitas penggalangan dana filantropi tidak sampai harus merendahkan mereka yang menjadi tujuan derma.
”Kerap kali penerima sumbangan digambarkan kesedihannya sedemikian rupa karena mungkin itu memudahkan dalam menarik perhatian orang untuk berdonasi. Pada Kode Etik Filantropi Indonesia ini kami tidak menyarankan hal seperti itu terjadi,” kata Tomy.
Dengan etika filantropi ini harapannya lebih banyak lagi orang yang mau berfilantropi karena mereka sadar bahwa terdapat aturan yang jelas. Selain itu, pemberi donasi merasa yakin memberikan kelebihan kekayaannya untuk aktivitas filantropi.
Filantropi Indonesia dalam waktu dekat akan membuat Dewan Etik Filantropi. Fungsinya akan seperti Dewan Pers untuk memproses pengelola dana bermasalah. Pengelola filantropi perlu memastikan tingkat kepercayaan, dari pihak pemberi dan penerima manfaat ataupun dari pemerintah, sesama pegiat filantropi, dan masyarakat luas.
Saat ini Filantropi Indonesia memberikan edukasi kepada para pemberi donasi untuk bersedia menuliskan nama mereka sebagai pemberi donasi demi mendorong transparansi pengelolaan dana dari sumbangan masyarakat. Selama ini pemberi donasi terbiasa tidak menulis karena tersandera stigma.