JAKARTA, KOMPAS — Menjadi filantrop atau dermawan tidak perlu menunggu kaya atau tua. Siapa pun yang memiliki keinginan membantu meningkatkan kualitas hidup manusia lain bisa menjadi filantrop. Hal itu yang kemudian membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia.
Pada awal November lalu, sebuah lembaga amal asal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), merilis sebuah laporan World Giving Index 2018 yang menyebutkan bahwa untuk pertama kali Indonesia menduduki puncak klasemen negara-negara dermawan dunia.
Beberapa parameter, seperti memberikan bantuan kepada orang yang tidak dikenal, menyumbangkan uang, dan durasi kegiatan sukarelawan, digunakan dalam penilaian tersebut. Indonesia mendapatkan skor 59 persen, sama dengan Australia. Kemudian diikuti dengan Selandia Baru dan Amerika Serikat dengan skor 58. Pada peringkat kelima ada Irlandia dengan skor 56.
Kemajuan dunia filantropi Indonesia tersebut diakui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro tidak lepas dari peran milenial.
”Saat ini sudah banyak milenial yang tertarik dengan filantropi dengan cara mereka sendiri-sendiri,” ujar Bambang saat ditemui seusai membuka Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2018, di Cendrawasih Hall, Jakarta Convention Center, Kamis (15/11/2018).
Hal-hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyak milenial yang menjadi social entrepreneur atau orang yang menjalankan kegiatan bisnis dengan tujuan memperdayakan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. ”Banyak milenial yang pada akhirnya membuat perusahaan rintisan yang mampu menyerap tenaga kerja. Ini adalah bibit yang baik untuk menjadi negara maju,” tutur Bambang.
Bonus demografi yang kemungkinan akan didapatkan Indonesia pada 2030 hingga 2045 dikatakan Bambang menjadi modal yang baik bagi Indonesia. Pasalnya, pada tahun tersebut mayoritas populasi Indonesia adalah penduduk muda yang masuk dalam kategori usia produktif. Bambang menyebutkan mileniallah yang akan menjadi pilar filantropi Indonesia di masa depan.
Filantropi pendidikan
Perkembangan dunia filantropi juga sejalan dengan majunya dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, misi filantropi untuk dunia pendidikan sejajar dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang sedang diupayakan pemerintah tercapai pada 2030.
Co-Chair Badan Pengarah Perhimpunan Filantropi Indonesia Erna Witoelar mengatakan, filantropi Indonesia yang berfokus pada dunia pendidikan saat ini tergolong banyak. Hal itu didasari oleh keinginan para filantrop untuk mendukung perbaikan kualitas hidup manusia lain. Para filantrop percaya, melalui pendidikan, kualitas hidup seseorang dapat meningkat.
Erna menjelaskan, meski anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk dunia pendidikan sudah cukup besar, para filantrop ingin jangkauan bantuan bisa lebih luas dan merata. Jika perlu, sampai ke daerah-daerah pelosok.
Saat ini bantuan yang diberikan bagi dunia pendidikan Indonesia pun jenisnya sudah beragam. ”Selain bantuan untuk siswa, ada juga bantuan untuk mendukung kinerja guru, perbaikan sekolah, dan lain-lain,” ucap Erna.
Dalam upaya pemberian bantuan, para filantrop tidak sendiri. Mereka juga bekerja sama dengan pemerintah. Hal tersebut memungkinkan para filantrop tidak perlu memulai sesuatu sendiri dari nol. ”Misalnya, pemerintah sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan di daerah tertentu, nanti para filantrop akan melihat sendiri daerah mana yang menurutnya belum maksimal, di situ nanti filantrop masuk,” kata Erna menambahkan.
Salah satu perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil, Saur Marlina Manurung, mengatakan, ada dua jenis filantropi pendidikan yang membantunya, antara lain filantrop corporate social responsibility (CSR) dan filantrop perorangan. Beberapa filantrop dikatakan Marlina belum konsisten dalam memberikan bantuan. Hal itu yang masih menjadi kendala dalam dunia pendidikan alternatif masyarakat di daerah terpencil.
”Masih jarang ada filantrop yang mau datang langsung ke lokasi, mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat yang dibantu. Hal itu cenderung membuat jenis bantuan yang diberikan kadang tidak sesuai dengan kebutuhan,” kata Marlina.
Program pemberian bantuan menurut Marlina kadang tidak sesuai dengan sistem pendidikan alternatif bagi masyarakat terpencil. ”Tak jarang juga masyarakat adat dipaksa untuk belajar dengan kurikulum masyarakat perkotaan yang sebenarnya ilmunya tidak bisa mereka aplikasikan di lingkungannya,” ucap Marlina. (KRISTI DWI UTAMI)